Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tips Meningkatkan Motivasi Belajar Anak di Tahun Ajaran Baru, Semangat!

ilustrasi ibu dua putri (pexels.com/Ron Lach)
Intinya sih...
  • Anak perlu didorong untuk tidak terlalu memikirkan kegagalan dalam proses belajar
  • Buat tantangan kecil dan berikan reward sebagai motivasi tambahan
  • Menyeimbangkan sekolah, les, dan waktu bebas anak agar tetap penting dalam meningkatkan motivasi belajar

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Orangtua tidak hanya wajib memberikan perhatian lebih pada anak yang tahun ini baru masuk sekolah. Anak yang naik kelas pun tak boleh luput dari dukungan penuh kedua orangtua.

Sekalipun dia sudah terbiasa bersekolah, di tingkat yang lebih tinggi pasti lebih menantang. Anak juga bisa masih membawa masalah dari proses belajar sebelumnya. Terutama bila tahun ajaran lalu ia mengalami beberapa kesulitan.

Sekalipun anak tetap naik kelas, persoalan yang tak diatasi dapat berlanjut ke kelas berikutnya. Andai pun gak ada masalah berarti, penurunan semangat bisa terjadi karena rasa bosan. Apalagi sekolah dasar paling lama di antara jenjang pendidikan di atasnya. Pompa lagi semangat anak dengan lima cara ini.

1. Minta anak tidak lagi terlalu memikirkan kegagalannya

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/RDNE Stock project)

Meski masih kecil, anak bertipe pemikir paling susah menoleransi apalagi melupakan kegagalannya. Sekalipun itu biasa terjadi dalam proses pendidikan dan kamu tidak mempersoalkannya, anak tetap merasa terbebani. Contohnya, semester terakhir banyak nilainya turun.

Atau, dia gagal dalam beberapa lomba yang diikuti. Sekalipun perlombaannya telah berlalu cukup lama, tampaknya anak masih susah move on. Orangtua perlu turun tangan dan membantu anak memahami serta menerima kegagalan tersebut.

Sampaikan bahwa apa yang terjadi tidak bisa diubah, tetapi dapat dipelajari. Pun bila anak mau, ia bisa mencobanya kembali. Masih dengan contoh penurunan nilai di semester kedua. Ajak anak bersama-sama menganalisis penyebabnya. Lalu jadikan temuan itu sebagai perbaikan dalam cara belajarnya di semester satu tahun ini.

2. Bikin tantangan kecil-kecilan dan reward jika berhasil

ilustrasi ayah dan putranya (pexels.com/Timur Weber)

Tantangan asal tidak berlebihan gak akan menjadi beban mental buat anak. Malah tantangan itu memacu semangatnya dalam berjuang. Contoh tantangan yang tak terlalu sulit adalah nilai ulangan pertama untuk pelajaran yang paling disukainya.

Misal, anak paling senang matematika. Ia sudah biasa mendapatkan nilai bagus di pelajaran itu. Tapi karena ini kelas yang lebih tinggi, tentu materinya juga lebih sulit. Tantang anak untuk mengejar nilai ulangan pertama yang sama dengan biasanya, seperti 8 atau 9.

Pasti anak menyambut tantangan itu sekalipun dia belum tahu tingkat kerumitan matematika di kelasnya nanti. Sebagai penambah motivasi, sepakati hadiah yang bakal diterimanya kalau anak mampu menjawab tantangan dengan baik. Walau anak amat percaya diri mampu melakukannya, dia akan tetap belajar lebih keras.

Ia tentu tidak mau gagal begitu saja di pelajaran yang menjadi minat terbesarnya. Tantangan serupa dapat diterapkan di mata pelajaran lain. Hanya target nilainya agak diturunkan dari target nilai pelajaran favoritnya. Anak bakal terdorong buat memaksimalkan usahanya.

3. Menyeimbangkan sekolah, les, dan waktu bebasnya

ilustrasi les gitar (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Saat anak naik kelas, orangtua kadang bukannya lega malah cemas. Kekhawatiran orangtua biasanya terkait materi pelajaran yang pasti bakal lebih susah. Apalagi jika anak tahun ini duduk di kelas 6. Ia mesti melewati serangkaian ujian untuk lulus dan mendaftar di SMP.

Akibatnya, tidak sedikit orangtua yang terlalu menekan anak dalam hal belajar. Anak juga diikutkan sebanyak mungkin les. Seakan-akan bila tidak begitu, anak pasti gak bakal lulus SD serta diterima di SMP yang bagus.

Namun, malah sikap orangtua yang seperti ini bikin semangat anak drop di awal. Dia gak akan menikmati proses belajarnya. Anak sekarang duduk di kelas berapa pun; keseimbangan antara sekolah, les, serta waktu bebasnya tetap penting. Anak juga butuh mengistirahatkan pikirannya.

4. Membahas cita-citanya dengan cara yang menarik

ilustrasi ayah dan putranya (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Sejak kecil, anak biasanya sudah punya cita-cita. Paling sering anak ingin menjadi dokter. Ini dapat dipengaruhi oleh tayangan yang kerap disaksikannya, profesi orangtua, atau kesan kuat saat anak melihat langsung seorang dokter memeriksa pasien.

Apa pun cita-cita anak, orangtua kudu bisa menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Melalui obrolan ini, motivasi belajar dapat dibangkitkan. Caranya bukan dengan sekadar anak disuruh belajar terus.

Akan tetapi, berikan pula gambaran pada anak tentang apa saja yang dipelajari seseorang untuk menjadi dokter. Tidak apa-apa dirimu menjelaskan masa pendidikannya yang memang tak sebentar. Agar bila anak bersungguh-sungguh hendak menjadi dokter kudu bisa menjaga semangat belajarnya dalam jangka panjang.

Kamu juga dapat bermain tebak-tebakan dengan anak seputar bidang kedokteran. Contohnya, siapa dokter perempuan pertama di Indonesia? Tentu anak kemungkinan besar tidak tahu. Inilah waktumu buat memberinya pengetahuan baru yang menginspirasi anak.

5. Mengajaknya fokus dan tak usah membandingkan diri

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Kampus Production)

Anak dengan jiwa kompetitif tinggi juga tidak selalu positif. Sisi baiknya, ia bersemangat buat maju dan menorehkan berbagai prestasi. Sisi negatifnya, anak malah gampang kehilangan fokus. Ia terlalu sering melihat ke kanan dan kiri untuk mengukur diri serta kawan-kawan.

Mereka selalu dianggap sebagai saingan. Dalam pikiran anakmu, pilihan untuknya hanyalah mengalahkan atau dikalahkan. Batinnya tidak tenang sehingga ia justru kesulitan buat belajar.

Jiwa kompetitifnya bukan buat dihilangkan. Namun, orangtua perlu mengarahkan anak terkait cara bersaing yang sehat baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Katakan bahwa anak perlu lebih berkonsentrasi pada proses belajarnya. Dengan begitu, otomatis hasilnya juga bakal baik. Ia tak perlu terlalu mengkhawatirkan teman-temannya.

Anak butuh senantiasa dibimbing oleh orangtua dalam masa pendidikannya. Ini akan membuat fondasinya kuat. Di usia anak yang masih amat belia, ia mesti belajar dengan giat. Sekaligus anak tidak boleh sampai stres sebab proses belajarnya masih sangat panjang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us