Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan dalam Menentukan Standar Pasangan, Sudah Tahu?

ilustrasi wanita cantik (freepik.com/lookstudio)
Intinya sih...
  • Menentukan standar pasangan sebagai bentuk self-respect dan kompromi dalam hubungan.
  • Fokus pada penampilan fisik bisa menghalangi koneksi emosional yang kuat dan karakter yang sesuai.
  • Standar pasangan harus realistis, mempertimbangkan nilai hidup, visi masa depan, dan tekanan sosial.

Menentukan standar pasangan bukanlah hal yang salah. Justru, punya kriteria bisa jadi bentuk self-respect, tanda bahwa seseorang tahu apa yang diinginkan dan gak mau asal dalam menjalin hubungan. Tapi sayangnya, banyak yang tanpa sadar menetapkan standar yang justru menjauhkan diri dari kebahagiaan itu sendiri. Standar yang kelewat tinggi atau gak realistis malah bisa bikin peluang cinta datang jadi makin sempit.

Dalam mencari pasangan, perlu keseimbangan antara idealisme dan realita. Kadang, ekspektasi yang terlalu dipoles bikin lupa bahwa hubungan itu soal kompromi, bukan katalog pesanan. Jangan sampai standar yang dibuat justru jadi jerat yang bikin stuck sendiri, merasa sepi, dan menyalahkan nasib. Yuk, coba lihat lima kesalahan umum yang sering dilakukan saat menetapkan standar pasangan, siapa tahu, selama ini tanpa sadar juga pernah terjebak dalam salah satunya.

1.Terlalu fokus pada fisik

ilustrasi wanita cantik (freepik.com/lookstudio)

Banyak orang menempatkan penampilan fisik di urutan teratas saat menentukan pasangan ideal. Padahal, wajah rupawan atau tubuh ideal cuma bisa bertahan di permukaan, sementara dalam jangka panjang, karakter dan chemistry jauh lebih menentukan. Gak sedikit yang akhirnya kecewa karena ternyata hubungan yang dibangun di atas daya tarik visual doang cepat terasa hambar. Apalagi, standar kecantikan atau ketampanan itu relatif dan bisa berubah seiring waktu.

Masalahnya, ketika terlalu terpaku pada fisik, bisa jadi malah menutup peluang dari orang-orang dengan kepribadian luar biasa. Mungkin aja ada seseorang yang klik secara emosi dan intelektual, tapi karena gak sesuai tipe secara fisik, langsung disingkirkan. Padahal, daya tarik sebenarnya bisa tumbuh dari interaksi yang tulus dan koneksi emosional yang kuat. Jangan sampai kehilangan yang baik cuma karena terlalu sibuk mengejar visual.

2.Menuntut kesempurnaan

ilustrasi orang sukses (freepik.com/freepik)

Banyak yang gak sadar, standar yang ditetapkan bukan lagi realistis, tapi sudah mengarah ke tuntutan kesempurnaan. Maunya pasangan yang mapan, romantis, perhatian, ganteng, lucu, religius, suka baca buku, suka traveling, gak merokok, dan harus cocok dengan keluarga, semuanya dalam satu paket. Padahal, manusia itu punya kelebihan dan kekurangan, dan ekspektasi tanpa cela justru bikin sulit menemukan pasangan yang nyata.

Kesempurnaan itu hanya ilusi, dan ketika seseorang menuntutnya, bisa jadi justru menghindari komitmen dengan dalih "Gak ada yang cocok". Di balik tuntutan sempurna itu, mungkin ada rasa takut untuk membuka diri atau luka masa lalu yang belum pulih. Belajar menerima bahwa pasangan yang baik bukan yang sempurna, tapi yang mau tumbuh bersama, bisa bikin proses mencari cinta jauh lebih menyenangkan dan realistis.

3.Mengabaikan nilai dan visi hidup

ilustrasi konflik pasangan (freepik.com/freepik)

Seringkali orang terlalu fokus pada hal-hal eksternal seperti pekerjaan, status sosial, atau gaya hidup, tapi lupa mempertimbangkan nilai dan visi hidup. Padahal, perbedaan prinsip dasar seperti pandangan soal keluarga, agama, cara mengelola uang, atau rencana jangka panjang bisa jadi sumber konflik yang gak bisa diremehkan. Nilai hidup yang selaras adalah pondasi penting dalam hubungan jangka panjang.

Kalau visi hidup gak nyambung, seberapa cocok pun secara emosional atau fisik, hubungan tetap rawan goyah. Misalnya, satu pihak ingin tinggal di kota besar dan fokus karier, sementara yang lain bermimpi hidup tenang di desa. Kalau gak ada kompromi atau kesepakatan, hubungan bisa jadi medan tarik-ulur tanpa ujung. Jadi, pastikan standar yang ditetapkan juga mempertimbangkan hal-hal mendasar kayak ini.

4.Terpengaruh tekanan sosial

ilustrasi tekanan sosial (freepik.com/freepik)

Kadang, standar pasangan bukan murni dari diri sendiri, tapi terbentuk dari tekanan lingkungan. Bisa dari keluarga yang berharap pasangan harus dari latar belakang tertentu, atau teman-teman yang memuji pasangan dengan profesi tertentu seakan itu satu-satunya ukuran sukses. Akhirnya, banyak yang merasa harus memenuhi ekspektasi orang lain, padahal hati kecil sebenarnya menginginkan hal berbeda.

Tekanan sosial ini bisa bikin seseorang memaksakan hubungan yang gak sesuai nurani, cuma karena takut dikomentari atau dibilang gagal. Standar yang lahir dari pembanding sosial lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Setiap orang punya cerita dan kebutuhan yang unik, jadi penting untuk benar-benar jujur pada diri sendiri saat menentukan kriteria pasangan. Cinta sejati gak butuh validasi dari orang lain.

5.Melupakan kualitas emosional

ilustrasi emosional (freepik.com/pressfoto)

Di tengah derasnya arus standar pasangan berdasarkan status atau pencapaian, kualitas emosional sering kali terpinggirkan. Padahal, hal seperti empati, kepekaan, kemampuan mendengarkan, dan ketenangan menghadapi konflik justru jadi penentu utama kebahagiaan dalam hubungan. Gak ada gunanya punya pasangan yang sukses dan menarik, tapi gak mampu hadir secara emosional.

Kualitas emosional ini memang gak selalu terlihat di awal, tapi sangat terasa dalam keseharian. Pasangan yang suportif, tahu cara membuat tenang saat kacau, dan bisa diajak ngobrol terbuka, adalah aset langka. Kalau hanya mengejar CV atau checklist kualifikasi duniawi, bisa-bisa malah kehilangan sosok yang bisa jadi pelabuhan hati paling hangat. Jadi, jangan remehkan kekuatan koneksi emosional yang tulus.

Standar pasangan itu penting, tapi harus dilandasi kesadaran dan kedewasaan, bukan sekadar ego atau tekanan luar. Hubungan yang sehat dibangun dari kompromi, empati, dan komunikasi yang kuat. Jangan sampai standar tinggi justru jadi penghalang untuk bertemu orang yang bisa jadi rumah dalam segala badai. Yang terbaik bukan yang sempurna, tapi yang saling cocok dan bertumbuh bersama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us