Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Man Marry Down? Kenapa Ramai Dibahas di Media Sosial?

ilustrasi menikah dengan pria WNA (pexels.com/David Disponett)
ilustrasi menikah dengan pria WNA (pexels.com/David Disponett)
Intinya sih...
  • Pria melihat pernikahan dari kebutuhan yang berbedaSebagian pria merasa lebih nyaman ketika mereka memegang posisi yang jelas dalam hubungan, khususnya soal peran yang sudah mereka kenal sejak kecil.
  • Lingkungan membentuk cara pria memilih pasanganBanyak pria belajar dari contoh di sekeliling mereka bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang tidak menantang posisi mereka sebagai laki-laki.
  • Media sosial mengubah standar hubungan yang orang lihatPria yang merasa tidak ingin dinilai gagal cenderung memilih pasangan yang tidak menambah beban tekanan tersebut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Istilah man marry down mulai sering muncul di media sosial karena banyak orang penasaran kenapa sebagian pria memilih pasangan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, atau ekonomi yang lebih rendah. Pembahasan ini akhirnya memicu banyak opini karena dianggap berkaitan dengan dinamika hubungan modern yang makin kompleks.

Meski istilahnya sederhana, topik ini melekat dengan banyak pengalaman hidup yang sering tidak dibicarakan secara terbuka. Berikut penjelasan yang bisa kamu pahami tanpa harus pusing menafsirkan maknanya.

1. Pria melihat pernikahan dari kebutuhan yang berbeda

ilustrasi menikah (pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)
ilustrasi menikah (pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)

Sebagian pria merasa lebih nyaman ketika mereka memegang posisi yang jelas dalam hubungan, khususnya soal peran yang sudah mereka kenal sejak kecil. Ada yang tumbuh dalam keluarga yang mengajarkan bahwa pria harus menjadi pihak yang lebih mapan, lebih siap, atau lebih dominan secara ekonomi. Pola ini membuat mereka cenderung memilih pasangan yang dianggap lebih aman bagi identitas diri yang selama ini mereka pegang. Bagi mereka, ini bukan soal merendahkan siapa pun, tapi tentang ruang yang terasa familiar.

Di sisi lain, kebutuhan tersebut tidak selalu disadari secara penuh. Ada pria yang hanya merasa lebih tenang ketika pasangannya tidak menimbulkan kompetisi internal dan tidak membuat mereka bertanya ulang soal value diri. Pola ini muncul bukan karena ego semata, melainkan karena mereka belum pernah diajak berdialog tentang rasa kurang aman yang sebenarnya wajar dimiliki manusia. Percakapan seperti ini jarang terjadi, sehingga pilihan pasangan terlihat seperti preferensi, padahal di baliknya ada kebutuhan emosional yang belum diurai.

2. Lingkungan membentuk cara pria memilih pasangan

ilustrasi pasangan (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Lingkungan tempat seseorang tumbuh memberi gambaran tentang seperti apa hubungan yang dianggap normal. Banyak pria belajar dari contoh di sekeliling mereka, mulai dari keluarga hingga pergaulan, bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang tidak menantang posisi mereka sebagai laki-laki. Gambaran ini terbawa sampai dewasa dan memengaruhi pilihan tanpa disadari. Hasilnya, pilihan pasangan sering tampak berkaitan dengan kenyamanan sosial, bukan sekadar perasaan pribadi.

Namun ketika dibahas di media sosial, preferensi seperti ini sering dinilai secara hitam-putih. Padahal dinamika hubungan setiap keluarga berbeda. Ada pria yang menghindari pasangan yang dianggap terlalu kuat, bukan karena ingin mendominasi, melainkan takut tidak memenuhi ekspektasi lingkungan. Pengaruh lingkungan sering lebih besar dari yang terlihat, dan banyak pria memilih aman daripada mempertanyakan ulang standar yang melekat bertahun-tahun.

3. Media sosial mengubah standar hubungan yang orang lihat

ilustrasi menjaga hubungan yang sudah berjalan lama (pexels.com/ Khoironi Syifa)
ilustrasi menjaga hubungan yang sudah berjalan lama (pexels.com/ Khoironi Syifa)

Media sosial membuat orang mudah membandingkan diri, termasuk dalam urusan pasangan. Pria yang merasa tidak ingin dinilai gagal atau kalah oleh publik cenderung memilih pasangan yang tidak menambah beban tekanan tersebut. Mereka ingin hubungan yang tidak memicu komentar atau penilaian yang membuat mereka merasa tidak cukup. Dari luar, ini terlihat seperti man marry down, padahal sering kali hanya bentuk perlindungan diri dari persepsi publik.

Di saat yang sama, algoritma menonjolkan kisah sukses yang tidak mewakili realitas semua orang. Standar hubungan pun terbangun dari apa yang viral, bukan dari apa yang realistis bagi kehidupan sehari-hari. Banyak pria akhirnya merasa hubungan harus terlihat stabil, meski stabilitas itu diciptakan karena menghindari pasangan yang dianggap lebih berhasil. Media sosial membuat standar ini tampak wajar, padahal tekanan untuk tampil sempurna sering tidak manusiawi.

4. Perbedaan status memengaruhi pembicaraan soal boundaries

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Александра Вишнева)
ilustrasi menikah (vecteezy.com/Александра Вишнева)

Perbedaan pendidikan atau ekonomi sering memengaruhi bagaimana pasangan menentukan boundaries dalam hubungan. Pria yang memilih pasangan dengan status lebih rendah kadang merasa keputusan akan lebih mudah karena tidak banyak perdebatan tentang arah hidup. Mereka percaya keputusan yang lebih sederhana memberi rasa aman dan kestabilan jangka panjang. Di beberapa kasus, mereka juga merasa tidak harus selalu tampil kuat ketika pasangannya masih memberi ruang bagi mereka untuk berkembang.

Namun perbedaan status juga menciptakan ruang negosiasi yang tidak selalu dibicarakan. Ada pria yang merasa bersalah karena takut pasangannya bergantung terlalu banyak pada mereka. Ada juga yang bingung menyeimbangkan dukungan dan batas sehat agar hubungan tidak berat sebelah. Perbedaan ini bukan soal siapa yang lebih atau kurang, tetapi soal bagaimana dua orang merancang peran yang terasa adil bagi keduanya.

5. Tekanan hidup membuat pria mencari hubungan yang terasa lebih stabil

ilustrasi pasangan (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Ron Lach)

Dalam kehidupan nyata, banyak pria menghadapi banyak tekanan yang tidak terlihat oleh orang lain. Mereka memikirkan masa depan, beban finansial, dan tanggung jawab yang kadang tidak dibicarakan. Ketika situasi ini terasa berat, mereka cenderung memilih pasangan yang tidak menambah kecemasan baru. Dari luar, pilihan ini sering terlihat seperti menurunkan standar, padahal lebih dekat dengan kebutuhan akan stabilitas mental.

Tak sedikit pria yang menyadari bahwa hubungan dengan pasangan yang lebih tenang atau lebih sederhana membantu mereka merasa lebih mampu menjalani hidup. Mereka mungkin belum siap berada di hubungan yang menuntut banyak penyesuaian emosional atau finansial. Pola ini membuat istilah man marry down muncul ke permukaan, meski sebenarnya motivasinya bukan tentang hierarki sosial, melainkan tentang daya tahan pribadi. Pilihan yang terlihat sederhana sering berakar pada rasa lelah yang jarang mereka sampaikan.

Fenomena man marry down menunjukkan bahwa hubungan tidak pernah sesederhana nilai sosial yang muncul di internet. Setiap orang membawa pengalaman, tekanan, dan kebutuhan yang berbeda saat memilih pasangan. Semoga penjelasan di atas bisa memberi informasi baru untuk kamu mengenai istilah man mary down yang sedang viral, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Life

See More

4 Cara Menanamkan Nilai Kesopanan Sejak Dini pada Anak

19 Nov 2025, 19:07 WIBLife