Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Di Atas Sungai Membeku

jeffshome.halton.ca

 

Di atas jalan kerikil ini, aku menghentikan laju mobilku. *tak tak tak* suara tetesan hujan yang jatuh di kap mobilku. Aku tidak begitu jelas melihat melalui kaca mobil, tapi aku yakin telah sampai di tempat tujuan. Sekitar 100 meter di depanku ada sebuah rumah tua menyedihkan, kayunya lapuk dan hampir roboh, serta sebagian atapnya hilang terbawa angin.

 

Ini adalah tempat tersunyi yang pernah ada, karena letaknya di pedesaan-hampir dekat hutan-dan agak jauh dari rumah warga. Aku sudah lupa berapa lama tak mengunjungi rumah itu. Aku tak mengingatnya.

Rasanya ada sesuatu yang berdeda di sini, sesuatu yang tidak tepat, just doesn’t feel right. Kenapa ada banyak gundukan tanah dan nisan yang mengelilingi rumah tua itu? Aku pun tidak pernah tahu sejak kapan area ini ada pemakaman. Atau memang rumah itu yang dibangun di atas tanah pemakaman? Aku tidak mengingatnya!

 

Dengan jas hujan abu-abu aku keluar dari mobil. Hujan masih terus mengguyur Desa Dievorlo sejak 3 minggu ini. Aku bisa mendengar derasnya aliran sungai yang hampir meluap. Aku rasa sungainya tidak jauh dari sini.

Aku menghampiri salah satu gundukan yang ada di dalam pagar, di halaman rumah tersebut. Mungkin itu adalah makam si pemilik rumah. Tapi sayangnya, nisannya sudah tak terbaca dimakan usia. Yang terlihat sedikit jelas hanya tulisan tahun 1979.

 

Aku menapaki tiga anak tangga balkon rumah dan berdiri di depan pintu. Ternyata ada sebuah kunci yang menggantung di paku, ada di atas sana, tepat saatku mendongakkan kepalaku. Aku berjinjit dan meraih kunci, dan mencoba memasukkannya ke lubang kunci pintu rumah ini. *ceklek* Astaga! aku berhasil? *kriiiiiet* aku mendorong pelan pintu lapuk ini, agak berat, mungkin karena terlalu berkarat engsel pintunya.

Wow adalah kata pertama yang aku ucapkan saat memasukinya. Dingin dan lembap mendominasi ruangan, ditambah sedikitnya sinar matahari yang masuk, membuat kesannya jadi menyeramkan. Namun ini adalah rumah yang indah walau semua barang-barangnya diselimuti debu 2cm.

 

Ternyata di dalam rumah pun aku masih mendengar jelas suara deras aliran sungai. Aku berjalan ke bagian belakang rumah, mengintip melalui jendela dapur, dan benar, ada sungai lumayan besar di belakang rumah, jaraknya sekitar 50 meter dari rumah ini. Aku memandangi terus sungai itu. Rasanya aku pernah berada di sana. Namun aku tak bisa mengingatnya lebih. Jika aku memaksa keras mengingat hal, maka kepalaku akan pusing.

 

Dan benar, aku mulai pusing. Aku memejamkan mata saking pusingnya. Namun kemudian aku malah merasa seperti terhisap oleh dimensi lain, melintasi ruang dan waktu. Ruangan semuanya berputar, menciptakan sensasi vertigo luar biasa. Aku tidak bisa melihat apapun, kepalaku terlalu pusing, rasanya seperti di jungkir-balikan.

10 detik dan aku merasa keadaan kembali normal. Dengan sempoyongan aku membuka mata sambil memegangi kepala.

 

Aku kaget ketika membuka mata, aku bukan berada di rumah tua itu. Melainkan berada di tengah sungai yang membeku, dengan pakaian musin dingin. Bermain dan menari indah di atas sepatu ice-skating sambil menggenggam tangan seorang wanita.

Aku merasa bugar dan sehat. Ini adalah tubuhku saat muda, usia 27 tahun. Dan wanita itu? siapa dia? Tapi dia sangat cantik. Mengapa aku sulit mengingat ini, ya Tuhan?

 

“suamiku, jangan melamun, nanti kamu terpleset!” ucapnya dan aku tersadar dari lamunanku. Aku bergeming sambil memandangi wajahnya, apa benar dia adalah istriku terdahulu? Kemudian dia menghentikan gerakan kami, dia mengalungkan lengannya di bahuku, dan hidung kami saling bersentuhan. Dia hangat, tubuhnya sangat hangat.

Ya! Dia adalah istriku. Aku ingat semuanya sekarang. Dan yang di sana itu adalah rumah tercinta kami. Kami sengaja membangunnya di pedesaan, yang dekat sungai, karena kami mencintai sungai. “Berjanjilah kau akan menjaga rumah itu bersamaku!” ucap Rose. “Aku janji!” balasku dan menciumnya.

 

Namun sekejap semua hilang. Putaran memori itu telah berganti. Ingatanku dengan mudahnya berpindah bagai memindah chanel di tv.

 

Kali ini kenangan yang berputar adalah kenangan buruk. Sebuah bencana! Sungai itu meluap dan menghanyutkan kami. Banjir bandang juga menghancurkan rumah kami. Dimana istriku? Dimana istriku? DIMANA..??!!

“Tolong aku, Phill! Tolong aku!!”

“Rose dimana kau?” Aku berteriak dan berenang dengan seluruh tenaga yang tersisa. Arusnya begitu kuat, aku melihat istriku jauh di depan sana terseret arus. Aku harus menolongnya, tapi menolong nyawaku sendiri pun aku tidak mampu. Aku mulai kelelahan berenang, dan juga pandangan istriku turut hilang.

 

Semuanya kembali hilang, ingatanku mudahnya berpindah seperti memindah chanel satu ke chanel lain di tv.

Dan sekarang, adalah kenangan pahit lainnya yang berputar. Pemakaman istriku, dia ditemukan tak bernyawa di hilir sungai oleh masyarakat desa Dievorlo. Pemakaman istriku berlangsung di halaman rumah kami. Aku tak ingin dia dimakamkan jauh di pemakaman luar desa ini. Aku ingin dekat dengannya, karena aku telah berjanji untuk menjaga rumah ini bersamanya.

*

Sebulan setelah kepergian istriku, aku berkendara ke kota sejauh 150 Km untuk membeli bahan material, memperbaiki rumah yang rusak karena banjir. Namun di jalan aku mengalami kecelakaan, dan ingatanku hilang. Berpuluh-puluh tahun aku tak kembali ke Dievorlo karena amnesiaku. Aku malah menjalani kehidupan baru di kota North Styx.

Aku memulai hidup baru dengan menikahi wanita lain selama 45 tahun di Kota, dan memiliki 3 anak. Namun seiring waktu, aku menemukan identitas-identitas lamaku. Semua data mengenai diriku, dan namaku bukan Perry Madden, melainkan Phillip Knightley. Dari situlah aku merasa perlu untuk mencari tahu siapa diriku yang dulu. Aku perlu tau!

 

Suasana kembali berputar, sensasi vertigo terjadi lagi. Membuatku menggenggam erat kepalaku yang super pening. Di saat itu pula suara istriku, Rose, bergema dan mengiang di kepalaku, mengucapkan “Aku Mencintaimu, Phill!

Ketika aku membuka mata, aku telah kembali di rumah tua ini, dan masih berdiri dekat jendela menatap sungai.

 

Aku terhenyak sesaat oleh putaran memori tadi, semua kenangan lama itu. Memori yang tertutup amnesia. Aku berlari keluar rumah menuju makam di halaman. Keadaannya sangat tak terurus. Rumput liar tinggi tumbuh mengelilinginya.

Aku menitikkan air mata. Aku ingat semuanya sekarang. Aku mencabuti rumput-rumput itu dan membersihkannya sambil menangis. Aku dulu pernah berjanji padamu untuk menjaga rumah ini, juga menjaga makammu, Rose. Namun aku justru pergi dan lama tak kembali, meninggalkanmu. Maafkan aku, Rose, maafkan aku tak menjaga rumah ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Yogie Fadila
EditorYogie Fadila
Follow Us