Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?

Single menyenangkan, tapi berpasangan bikin hidup berwarna

Urusan cinta tentu bukan persoalan yang bisa dikesampingkan bagi kehidupan Gen Z dan Millennial. Kisah asmara selalu menjadi topik hangat dan menarik untuk diulik lebih mendalam bagi kehidupan dua generasi tersebut. 

Banyak orang bertanya-tanya mana yang lebih enak, punya pasangan atau hidup single tanpa pasangan? Tak ada habisnya bila terus membandingkan dua hal yang bertolak belakang itu. Sebab, sejatinya masing-masing status punya pengalaman yang berbeda.

Melalui survei yang dihimpun sejak Januari-Maret 2023, IDN Times berusaha memaparkan pandangan kedua sisi tersebut bagi Gen Z dan Millennial. Survei dengan responden sebanyak 457 orang ini akan membantumu mengetahui pandangan berbeda dari status hubungan lajang atau berpasangan. 

1. Demografi responden

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis (IDNTimes/Esti Suryani)

IDN Times berhasil menghimpun 457 responden yang didominasi oleh perempuan (71,8 persen) dan laki-laki menduduki posisi kedua (28,2 persen). Mayoritas responden yang berpartisipasi dalam survei IDN Times berdomisili di DKI Jakarta (20,4 persen), diikuti Jawa Barat (18,8 persen) dan posisi ketiga ditempati Jawa Timur (16 persen). 

Survei ini mayoritas diisi oleh generasi Millennial dengan rentang usia 21-30 tahun (68,2 persen) serta generasi Z dengan rentang usia 15-20 tahun (11,2 persen). Sementara untuk latar belakang pendidikan, mayoritas responden telah menamatkan jenjang Strata-1 (S1) yakni sebanyak 64,1 persen, jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 25,4 persen dan terakhir jenjang Strata-2 (S2) sebanyak 6,8 persen. 

Profesi yang ditekuni oleh orang-orang yang menjawab survei IDN Times juga sangatlah beragam. Mayoritas pekerjaan responden adalah pegawai negeri atau karyawan swasta sebanyak 58 persen dan pelajar sejumlah 28,8 persen. 

2. Adakah pengaruh status hubungan dengan penghasilan yang didapatkan?

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis (IDNTimes/Esti Suryani)

Dalam hal keputusan untuk menjalin hubungan dengan orang terkasih atau memilih hidup melajang tanpa pasangan, tampaknya terdapat sedikit perbedaan dalam survei di tahun 2023 ini. Sebanyak 56,7 persen responden mengaku masih single baik karena belum memiliki pasangan atau bercerai, sementara 43,3 persen lainnya telah memiliki hubungan baik dengan status pacaran, tunangan ataupun menikah. 

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, mayoritas laki-laki telah memiliki pasangan yakni sejumlah 55 persen. Sementara perempuan lebih banyak yang masih single yakni sebanyak 61,3 persen. 

Kami juga mencari tahu hubungan antara pendapatan atau gaji terhadap status hubungan seseorang. Mereka yang masih lajang mayoritas memiliki penghasilan Rp1-5 juta (51,7 persen), sementara orang yang hidup berpasangan juga didominasi dengan orang-orang berpendapatan Rp1-5 juta per bulan (44,4 persen).

Data survei "Karier atau Cinta, Manakah Prioritas Millennials?" oleh IDN Times pada tahun 2020, menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka millennial merasa puas dan seimbang akan kehidupan karier dan cintanya. Data di atas juga menyatakan hasil yang senada. Sebagian besar responden single didominasi oleh orang-orang yang penghasilannya yang cukup hingga tinggi. Itulah mengapa porsi kehidupan karier responden single jauh lebih banyak daripada yang berpasangan.

3. Karier masih menjadi prioritas utama Gen Z dan Millennial

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?ilustrasi orang sibuk bekerja (pexels.com/olia danilevich)

Jika ditanya mengenai karier dan cinta, tampaknya generasi Z dan Milennial ini sama-sama menjadikan dua hal tersebut sebagai prioritas. Kedua generasi ini memilih karier (65 persen) dibanding cinta (9 persen) ataupun hal-hal lainnya. 

Fenomena yang sama ditemukan dalam data Indonesia Millennial and Gen Z Report oleh IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix pada 2022, yang menunjukkan prioritas teratas kedua generasi ini bukanlah menikah dan memiliki keluarga, melainkan mengembangkan karier dan pekerjaan. Melalui riset tersebut, Gen Z (76 persen) dan Millennial (79 persen) memprioritaskan memiliki pendapatan tinggi daripada menikah dan membangun keluarga. Generasi muda ingin memiliki penghasilan yang lebih baik sehingga menganggap hal tersebut lebih esensial daripada urusan cinta. 

Pemaparan di atas tak banyak berbeda bila ditelaah berdasarkan status hubungan yang tengah dijalani oleh Gen Z dan Millennial. Baik mereka yang telah berpasangan atau masih single, saat ditanya prioritasnya dalam hidup masih memilih karier sebagai pilihan teratas. 

Angkanya pun cukup signifikan, yakni 74,1 persen responden single mendahulukan urusan karier sementara 15,4 persen responden mengutamakan hal lain seperti keluarga dan pendidikan. Mayoritas orang yang berpasangan juga lebih memilih karier (52 persen) di atas urusan lainnya. 

Saat ditanya lebih bahagia single atau punya pasangan, responden berinsial BM yang berdomisili di Kalimantan Timur mengaku, “Tergantung sih. Di masa-masa produktif kayak kuliah atau baru masuk dunia kerja, mending fokus ke karier aja dulu, soalnya kalo punya pasangan di usia produktif bakalan susah menentukan prioritas dan menghambat produktivitas. Kadang bikin pusing sendiri. Tapi kalo udah punya pasangan di usia segitu ya nikmatin aja.”

Tanggapan serupa juga disampaikan oleh responden perempuan berinisial A yang berstatus sebagai single, “Untuk saat ini, yang lebih baik hidup single karena fokus saya saat ini sedang meniti karier.” 

Karier memiliki porsi yang dianggap penting bagi kedua generasi ini namun urusan cinta juga tidak dikesampingkan, sebagaimana dijelaskan oleh Hoshael Waluyo Erlan, sebagai Mental Health Counselor IDN Media, “Pada intinya Millennial dan Gen Z, dua-duanya punya aspirasi untuk berpasangan, hanya saja jangan-jangan karena perkembangan situasi dan dinamika yang terjadi saat ini, Gen Z jadi terlihat lebih pragmatis dalam urusan berpasangan.”

Sebagai Psikolog Klinis Dewasa, Hoshael memandang bahwa Gen Z memiliki banyak pertimbangan. Gen Z menyadari betapa mahalnya hidup dan tingginya cost sehingga hal itu perlu dipersiapkan secara finansial ketika nantinya menikah dan berkeluarga.

4. Pengalaman traumatis di masa lalu membuat para single takut menjalani hubungan baru

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis 'Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?' (IDNTimes/Esti Suryani)

Keputusan untuk menjalani hidup tanpa pasangan dapat didorong oleh beragam alasan. Dalam survei yang terhimpun, tiga alasan teratas mengapa seseorang masih melajang adalah belum menemukan orang yang sesuai (33,6 persen), ingin fokus berkarier (22,8 persen), serta merasa menikmati pilihan tersebut (18,1). 

Hoshael Waluyo Erlan memberikan pemahaman bahwa banyak penyebab yang membuat seseorang lebih nyaman sendiri, “Tentunya dasar dari pilihan untuk single atau melajang ini bisa dipengaruhi beberapa hal, umpamanya keinginan untuk bebas, keinginan untuk punya kendali sama kehidupan sendiri, tidak ingin terikat, bisa juga orang memilih single karena merasa tidak pernah menemukan orang yang cocok atau sulit menemukan orang yang cocok.”

Menariknya, pengalaman kurang menyenangkan di masa lalu ternyata turut memengaruhi keputusan seseorang terhadap hubungannya saat ini. Melihat persentasenya, sebanyak 66,8 persen responden mengaku lebih menyukai hidup single karena pernah mengalami trauma dalam hubungan, sementara 33,2 persen merasa hal tersebut tak berkaitan dengan pilihannya saat ini. 

Pengalaman kurang menyenangkan juga pernah dialami oleh responden berinisial F yang berasal dari Jawa Timur. Sekarang, F lebih memilih single saat ditanya lebih enak hidup melajang atau punya pasangan.

“Lebih enak single, enggak bakal bisa tenang kalo punya pasangan, dulu punya mantan posesif parah sampai berangkat ke stadion buat jadi suporter saja ribut terus,” katanya.

Secara psikologis, Hoshael membenarkan bahwa pengalaman kurang menyenangkan di masa lalu dapat membentuk keputusan untuk hidup melajang. Orang yang pernah mengalami trauma dalam hubungan, cenderung enggan untuk memulai hubungan baru.

“Akan ada mekanisme pertahanan di dalam diri kita untuk menghindarkan diri kita dari any kind of pains termasuk negative emotions, jadi tentunya apalagi kalau bicara pengalaman traumatik, pengalaman negatif, memang bisa bikin khawatir untuk menjalin hubungan lagi dan cenderung menghindar,” jelasnya. 

Trust issue atau hilangnya kepercayaan terhadap orang lain menjadi alasan utama seseorang khawatir untuk memulai hubungan baru (34,7 persen). Disusul alasan patah hati (23,1 persen) yang membuat orang lebih nyaman hidup single. 

Walau demikian, responden merasa hidup melajang membuatnya lebih fokus pada diri sendiri (86,5 persen), lebih bebas menjalani hidup (78 persen) dan lebih mandiri (70,3 persen). Serupa dengan penjelasan Hoshael yang mengatakan hidup single memberi lebih banyak ruang untuk mengembangkan diri, fokus terhadap minat pribadi, serta risiko emosional dari orang lain lebih minim. 

“Ketika kita single, ada begitu banyak ruang, ada begitu banyak peluang untuk manage our freedom dan kita bisa punya lebih banyak pilihan, tidak harus bertanggung jawab akan sesuatu, kita bisa pakai semua waktu, tenaga, untuk simply doing what we want,” terang Hoshael.

5. Meski kesepian, Gen Z dan Millennial merasa puas dengan statusnya sebagai single

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis (IDNTimes/Esti Suryani)

Rasa kesepian kerap kali menjadi musuh bagi banyak orang. Secara psikologis, kekhawatiran terbesar yang mungkin dialami oleh orang yang hidup sendiri adalah kesepian, hampa, dan merasa tak punya support system.

Data yang berhasil terhimpun juga menunjukkan tren yang serupa. Dari 259 responden berstatus single, setidaknya 135 responden mengaku lebih bahagia ketika single. Tetapi, 193 responden atau 74,5 persen di antaranya masih merasa kesepian. Artinya, masa-masa single mendatangkan kebahagiaan, walau terkadang muncul perasaan kesepian. 

dm-player

Dijelaskan oleh Hoshael, “Kadang-kadang rasa kesepian itu terjadi karena kita tidak punya hubungan yang cukup baik dengan diri kita sendiri. Jadi, one of the best way untuk mengelola perasaan kesepian adalah reconnect to yourself.

Meski terdapat angka yang cukup tinggi terkait perasaan kesepian, namun sebanyak 69,5 persen mengaku puas dengan status yang dijalaninya saat ini. Adanya manfaat yang bisa dirasakan membuat angka ketidakpuasan menjadi single lebih rendah, yakni 30,5 persen saja.

Saat ditanya lebih bahagia memiliki pasangan atau tidak, responden berinisial LW  menjawab lebih nyaman dengan statusnya sekarang, yakni single. Perempuan yang berdomisili di Bali ini, memiliki beberapa alasan terkait pilihannya tersebut. “Single. Saya punya beberapa alasan di antaranya: 1) Sudah merasa nyaman single dan menemukan kebebasan di sana; 2) Punya trauma masa lalu yang diatasi bukan dengan punya pasangan; 3) Sulit menemukan teman hidup sefrekuensi yang sesuai kriteria saya dan bisa menerima latar belakang saya; 4) Secara tradisional, orang berpasangan diharapkan punya keturunan. Namun, saya tahu saat ini sudah terjadi over populasi manusia sehingga tidak mau menambah beban pada lingkungan,” bebernya.

Hidup sebagai seorang single bukan berarti terlepas dari masalah. Dalam survei yang dilakukan selama tiga bulan, ditemukan setidaknya 58,7 persen orang pernah mendapat komentar negatif mengenai kondisinya sebagai single, sementara 41,3 persen lainnya tak memiliki pengalaman tersebut. Untuk orientasi di masa depan, sebanyak 59,9 persen responden berharap akan mendapatkan pasangan nantinya.

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?

6. Memiliki pasangan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan hidup bagi Gen Z dan Millennial

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis 'Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?' (IDNTimes/Esti Suryani)

Orang-orang yang memiliki pasangan juga mengemukakan pandangan yang beragam terkait status dan pengalamannya saat ini. Responden mengaku memilih untuk menjalin komitmen dengan orang lain karena dirasa pasangannya sudah sesuai (60,6 persen). 

Hal tersebut juga disampaikan oleh responden perempuan berinisial YNA yang berdomisili di Jawa Timur yang telah memiliki pasangan, “Menurut saya punya pasangan membuat hidup saya lebih baik. Hal itu karena membangkitkan potensi dalam diri saya untuk mengejar impian karena memiliki support system yang juga memiliki visi dan misi yang sama. Selain itu, saya memilih punya pasangan karena melihat bahwa dengan adanya pasangan, saya jadi lebih memiliki pemikiran yang open minded dan memiliki teman untuk mewujudkan impian bersama."

Kehadiran orang terkasih menjadi support system hidup (82,3 persen), dapat menjadi motivasi hidup (52 persen), dan mengatasi kesepian (45 persen) diakui sebagai manfaat utama yang dirasakan orang berpasangan. Alasannya sangat beragam dan bisa sangat personal untuk beberapa orang. 

Hoshael memaparkan pandangannya sebagai psikolog,

 “Kalau bicara faktor yang memengaruhi (keputusan untuk berpasangan), ada banyak. Ada kepribadian, ada faktor personal value, bagaimana memandang hubungan itu sendiri, bagaimana memandang urgensi untuk punya pasangan, juga faktor eksternal bisa dari faktor keluarga, bisa dari faktor lingkungan sosial dan juga faktor-faktor lain yang memang unik atau khas.”

“Punya pasangan bikin gua lebih percaya diri. Gua sekarang lebih punya tujuan diri dan tujuan bersama sama pasangan gua. Selain itu, gua jadi punya tempat cerita yang mengerti gua dan sebaliknya, ada yang memperhatikan. Kekosongan yang gua rasakan dari dulu, udah keisi aja gitu, jadi bikin gua lebih semangat aja untuk melakukan hal baru,” pendapat AD (23), laki-laki yang berdomisili di Jakarta dan sudah memiliki pasangan. 

Menariknya, separuh responden atau 53,5 persen setuju memiliki pasangan mendatangkan kebahagiaan untuk dirinya. Sementara 40,9 persen lainnya percaya bahwa fase hidup single atau berpasangan sama-sama memberikan kebahagiaan. 

Kondisi di atas berbanding lurus dengan kepuasan orang terhadap statusnya saat ini. Angkanya cukup berbeda jauh, 80,8 persen merasa puas dengan statusnya saat ini, sementara 19,2 persen lainnya tidak.

Meskipun kini sudah berpasangan, mayoritas responden tetap merasa ada yang dirindukan dari masa single. Mayoritas didominasi oleh keinginan untuk bebas mengaktualisasikan diri dan rindu punya waktu yang lebih banyak untuk diri sendiri. Meski begitu, 92,4 persen responden tidak menyesal melepaskan masa lajang dengan berpacaran atau menikah.

7. Jadi, lebih enak hidup single atau memiliki pasangan, ya?

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis 'Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?' (IDNTimes/Esti Suryani)

Dalam survei ini, kami menanyakan pandangan responden terkait pengalamannya menjalani kehidupan single atau berpasangan. Hasilnya responden bersifat netral terhadap pandangan bahwa hidup single lebih bahagia daripada punya pasangan. Artinya, tak ada perbedaan yang signifikan antara kedua status tersebut. 

Jika melihat hasil yang tak mencolok, dapat dipahami melalui sudut pandang psikologi bahwa dengan memiliki pasangan tak serta-merta membuat seseorang bahagia namun juga tak berarti sepenuhnya membawa derita. Keduanya dapat berbeda bagi setiap orang. 

“Tergantung bagaimana pasangannya, bagaimana proses memiliki pasangannya dan bagaimana fungsi dan rangkaian action yang dilakukan sebagai pasangan dan dalam kehidupan berpasangan ini. Jadi tidak ada indikasi bahwa kalau berpasangan membuat orang lain bahagia, atau tidak,” kata Hoshael. 

Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda dari hidup melajang maupun berpasangan. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai pandangan dan pola pikir masing-masing pribadi. 

Namun, perlu diketahui tak ada tolak ukur status mana yang lebih mendatangkan kebahagiaan daripada lainnya, sebagaimana keterangan Hoshael,

“Kebahagiaan itu pengalaman emosional yang subjektif, jadi level interpretasinya bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Dan satu hal yang bikin orang bahagia, belum tentu bikin orang lain bahagia juga.”

Walau demikian, dalam survei ini, responden mengaku menjalin komitmen bukanlah hal yang sulit, namun juga tidak mudah alias netral. Hoshael menjelaskan, alasan utama mengapa seseorang enggan berkomitmen adalah pandangan orang tersebut terhadap komitmen itu sendiri. Ada orang yang menganggap komitmen bukanlah dasar utama dalam hubungan, namun ada juga yang beranggapan komitmen merupakan hal yang sangat penting. 

Responden berinisial TM (24) yang berstatus lajang dan berdomisili di Jakarta berpendapat, “Saya merasa belum siap berkomitmen. Kalau punya pacar, kita harus berkompromi karena pasti ada perbedaan, dan jadi harus mengalah dengan keinginan pasangan nantinya.”

Alasan mengapa seseorang sulit berkomitmen pun dapat beragam, bisa jadi karena contoh buruk yang dialami di lingkungannya, belum menemukan pasangan yang layak untuk diajak berkomitmen, hingga nilai diri yang rendah. 

Hoshael menggarisbawahi, hidup berpasangan tak lantas membuat orang merasa bahagia, apalagi bila belum merasa cukup dengan diri sendiri.

“Karena ketika kita gak bisa merasa cukup dengan diri sendiri, kayaknya kecil kemungkinan orang lain bisa membuat kita merasa cukup. So, what you actually need to do adalah membuat dirimu sendiri merasa cukup dan enjoying your own companion, menikmati kebersamaan bersama diri sendiri.”

8. Gen Z dan Millennial: Masa single menyenangkan, namun memiliki pasangan membuat hidup lebih berwarna

Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis 'Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?' (IDNTimes/Esti Suryani)
Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?Infografis 'Gen Z dan Millennial: Lebih Bahagia Single atau Punya Pasangan?' (IDNTimes/Esti Suryani)

Data di atas menunjukkan bahwa Gen Z dan Millennial memiliki prioritas yang tinggi terhadap karier, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa untuk memiliki pasangan nantinya. Pada fase hidup mereka saat ini, kedua generasi tersebut memiliki porsi kebahagiaan tersendiri serta sumber kebahagiaan yang berbeda tak hanya dari satu stimulus saja. 

Responden berinisial EK asal Jawa Timur yang berstatus single mengaku, “Menurut saya, kebahagiaan adalah hal utama dalam hidup. Memiliki pasangan bukanlah jaminan hidup kita jadi lebih baik, jadi kembali ke diri sendiri. Dan menjadi single atau punya pasangan itu adalah sebuah pilihan yang seharusnya bukan jadi tolok ukur hidup lebih baik.”

“Tetap penting buat Gen Z dan Millennial untuk bisa punya sense of mastery in life, bisa menjalani hidup dengan baik dengan sense of purpose yang juga memadai, ada tujuan, dan ada rasa cukup itu,” tutup Hoshael.

Gen Z dan Millennial sepakat bahwa masa single terasa menyenangkan karena memiliki kebebasan dan fleksibilitas waktu untuk diri sendiri. Di sisi lain, Gen Z dan Millennial setuju bahwa memiliki pasangan bisa membuat hidup lebih berwarna. 

Penulis:

Dina Fadillah Salma

Adyaning Rara Anggita Kumara

Editor:

Pinka Tsarina Wima

Febriyanti Revitasari

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Pinka Wima
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya