Kenapa Banyak Orang Galau setelah Nikah, padahal Dulu Buru-buru?

- Rasa cinta berubah karena terlalu fokus jadi pasangan ideal
- Cinta yang dulu menggebu kini dituntut lebih dewasa
- Tekanan sosial bikin pernikahan terasa seperti lomba
Menikah sering dianggap sebagai tanda bahwa seseorang telah sampai di titik stabil dalam hidupnya. Banyak orang menaruh harapan besar pada pernikahan, seolah semua hal akan menjadi lebih mudah begitu hidup dijalani berdua. Namun kenyataannya, setelah hari-hari manis di awal berlalu, sebagian orang justru merasa kosong, ragu, bahkan galau tanpa tahu pasti sebabnya.
Fenomena ini bukan hal baru, terutama di masa ketika standar bahagia kerap ditentukan oleh pandangan orang lain. Perasaan yang tadinya penuh semangat berubah menjadi tanya tentang diri sendiri dan hubungan yang dijalani. Berikut beberapa alasan yang jarang dibahas, tapi bisa menjelaskan kenapa muncul perasaan galau setelah nikah.
1. Rasa cinta berubah karena terlalu fokus jadi pasangan ideal

Banyak orang tanpa sadar kehilangan identitasnya setelah menikah. Dalam usaha menjadi pasangan yang baik, mereka perlahan melepaskan bagian dari diri sendiri yang dulu hidup dan penuh warna. Setiap keputusan, kebiasaan, hingga waktu luang mulai ditentukan bersama. Meski itu bagian dari komitmen, tapi di sisi lain bisa menimbulkan rasa asing terhadap diri sendiri.
Perubahan ini sering membuat seseorang bertanya-tanya, “Aku sebenarnya masih jadi diriku yang dulu, atau sudah berubah jadi orang lain?” Perasaan kehilangan arah inilah yang kadang diterjemahkan sebagai galau. Bukan karena menyesal menikah, tapi karena belum terbiasa hidup dengan identitas baru. Untuk tetap waras, seseorang perlu menemukan keseimbangan antara menjadi pasangan yang hadir dan tetap menjadi dirinya sendiri.
2. Cinta yang dulu menggebu kini dituntut lebih dewasa

Sebelum menikah, cinta terasa ringan. Ada rindu, perhatian, dan janji manis yang menghangatkan hari. Setelah menikah, cinta tidak lagi cukup hanya dengan perasaan sebab dalam pernikahan ada tanggung jawab, kesabaran, dan kedewasaan. Bagi sebagian orang, perubahan bentuk cinta ini terasa mengejutkan. Cinta yang dulu penuh warna kini berubah jadi rutinitas yang kadang terasa datar.
Masalahnya, tidak semua orang siap menghadapi perubahan ini. Banyak yang masih mengharapkan sensasi romantis seperti masa pacaran, padahal pernikahan justru menguji komitmen di tengah hal-hal yang biasa. Dari sinilah muncul rasa galau yakni ketika seseorang rindu masa lalu yang ringan, tapi harus tetap berjuang di kehidupan nyata yang lebih rumit.
3. Tekanan sosial bikin pernikahan terasa seperti lomba

Media sosial membuat banyak pasangan merasa perlu tampil bahagia agar terlihat “berhasil”. Foto liburan, rumah rapi, pasangan harmonis yang mana semuanya terlihat sempurna. Padahal, di balik layar, tidak semua berjalan seindah itu. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar kebahagiaan versi orang lain sering membuat seseorang kehilangan arah tentang apa yang benar-benar ia inginkan.
Ketika hidup dijalani untuk memenuhi pandangan luar, hubungan perlahan kehilangan maknanya. Pasangan sibuk menampilkan versi ideal daripada saling mengenal lebih dalam. Dari situ muncul rasa jenuh, lelah, bahkan kosong. Galau bukan disebabkan karena pernikahan yang dijalani itu buruk, tapi karena fokus hidup bergeser dari kebahagiaan pribadi menjadi citra di mata orang lain.
4. Ketidaksiapan emosional yang tertutup oleh euforia menikah

Banyak orang terlalu sibuk mempersiapkan pesta, tapi lupa menyiapkan diri untuk kehidupan setelahnya. Euforia menikah sering menutupi kenyataan bahwa dua orang dengan latar belakang berbeda harus belajar hidup dalam satu atap. Saat masa bulan madu selesai, hal-hal kecil mulai terasa besar seperti cara berbicara, kebiasaan harian, hingga perbedaan prinsip.
Perubahan mendadak ini bisa mengguncang emosi, terutama bagi mereka yang belum benar-benar mengenali diri sebelum menikah. Galau pun muncul bukan karena pasangan berubah, tapi karena diri sendiri baru sadar belum sepenuhnya siap untuk hidup bersama orang lain. Di titik ini, kedewasaan emosional jauh lebih penting daripada seberapa megah pesta yang pernah digelar.
5. Kehilangan ruang untuk tumbuh

Sebelum menikah, seseorang bisa mengejar hal-hal yang disukai tanpa batas. Namun setelah hidup berdua, waktu dan energi terbagi. Ada tanggung jawab yang harus diutamakan, dan perlahan mimpi pribadi tertinggal di belakang. Di sisi lain, sebagian pasangan merasa bersalah jika ingin waktu untuk diri sendiri, padahal kebutuhan itu sangat manusiawi.
Ketika seseorang tidak punya ruang untuk tumbuh, rasa jenuh mudah muncul. Ia mungkin masih mencintai pasangannya, tapi merasa seperti berhenti berkembang. Galau setelah menikah bisa jadi sinyal bahwa seseorang merindukan dirinya sendiri bukan tanda cinta berkurang, melainkan tanda bahwa hubungan perlu memberi ruang agar keduanya tetap bisa bertumbuh.
Galau setelah nikah bukan hal memalukan, justru tanda bahwa kamu sedang berproses memahami makna hidup berdua. Setiap pasangan punya perjalanan dan ritmenya masing-masing, tak perlu dibandingkan dengan siapa pun. Jadi, sudahkah kamu benar-benar mengenal dirimu sebelum berjanji untuk mengenal orang lain seumur hidup?