Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Long Distance Relationship: Refleksi Pasangan Suami Istri yang Terbentang Jarak

Doc. Pribadi

Menjalani Long Distance Relation (LDR) sebagai suami-istri bukanlah hal yangg mudah buat saya. Terlebih saya dan suami terhitung pengantin baru, satu bulan pasca upacara ijab-qobul pernikahan kami. Jarak ribuan kilometer Jogja (Indonesia) - Istanbul (Turki) membuat saya harus menahan kerinduan saya dengan suami. Wajah suami semakin di pelupuk mata, manakala saya bertubi-tubi harus menghadapi penatnya pekerjaan dan study yang belum terselesaikan.

Dua bulan, terhitung dari keberangkatan suami saya ke negeri seberang, demi niatan suci study, membuat rindu ini semakin menggebu. Tiada hari terlewati tanpa komunikasi dua insan yang telah disahkan oleh ikatan pernikahan, namun dipisahkan oleh jarak. Video call dan call berbasis internet menjadi penghubung hati kami. Perbedaan waktu membuat saya dan suami lebih jeli dalam mengatur quality time.

Sesekali, malam hari sebelum saya tidur menjadi, pilihan waktu kami berbagi dan bercerita tentang perjalanan hari kami, yang bagi suami adalah sore hari. Hati semakin pilu saat melihat suami dengan tubuh yang semakin kurus dan mata yang semakin cekung dengan mata pandanya. Air mata tak bisa terbendung tiap kali video call berlangsung. Saya sering tak kuasa menahan perihnya jarak yang telah memisahkan kami. 'Sabar' adalah kata penghibur yang selalu kami gunakan sebagai penguat.

Meski saya sendiri, masih mencoba untuk berpura-pura sabar dan kuat menjalani skenario yang seperti ini. Pernah suatu malam, ketika kami berjumpa via suara, saya menangis tersedu-sedu. Tak tahan menahan rindu yang saya sembunyikan selama terpisah dengan suami. Jujur, saya tak pernah berniat dan tega menangis di depan suami. Tak ingin menggoyahkan tegarnya hati suami karena mendengar atau melihat tangisan ataupun ratapan saya. Karena saya tahu, bahwa rasa ini bukan hanya saya saja yang rasa, tapi suami saya juga. Kalau boleh mengutip kata Bapak SBY, mantan presiden RI pada sebuah talkshow, "Suami mana yang tega meninggalkan isterinya?'' 

Suatu ketika, saat saya atau suami mem-post foto kami berdua, sebagi pelampiasan rasa rindu kami, beberapa komentar dan respon datang dari beberapa teman. Banyak doa yang pasti, tapi tak jarang pula joke yang datang kepada kami. Hanya terkadang joke itu bisa menjadi sensitif kala hati sedang mati, *ups.  Misalnya, ada yang bercanda dengan komentar "Sehari rasa sewindu karena LDR", "Isterinya gak diajak mas?". Dari beberapa ada yang membuat saya berkata, mungkin benar, adalah komentar seperti ini, "Katanya, sakitnya suami isteri yang berpisah/ berjauhan adalah melebihi 10 x lipat orang yang sedang patah hati."  

Terkadang, foto-foto teman bersama masing-masing pasangannya, yang muncul di beranda akun kami, menjadi hal yang sensitif bagi kami. Bukan karena apa, hanya terkadang ada sedikit kecemburuan akan kebersamaan yang mungkin belum bisa kami rasakan saat ini. Belum lagi cerita suami, setiap kali menghadiri undangan, pertanyaan yang sering muncul adalah keberadaan isteri. Terlebih undangan yang sifatnya couple, Wedding Invitation misalnya.

Cerita suami tentang keinginan untuk segera berkumpul kembali, selalu memotivasi saya untuk berusaha lebih keras untuk segera memenuhi kewajiban dan tugas yang belum saya selesaikan. Saya masih berkewajiban untuk menyelesaikan program magister saya yang belum terselesaikan dan kontrak pekerjaan yang akan berkahir pada akhir tahun ini. Sedangkan suami saya saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa program S2 beasiswa pemerintah Turki yang sekaligus sebagai penerima beasiswa Erasmus Radboud University, Netherlands.

Posisi kami berdua membuat kami tidak bisa berkumpul ntuk sementara waktu. Baik saya maupun suami, sama-sama menyadari bahwa "Berkumpul bersama' saat ini adalah barang mewah yang perlu kami perjuangkan." Tak hanya dibutuhkan kesabaran untuk berlayar dalam bahtera rumah tangga, tapi juga usaha dan doa yang tak pernah putus dari pengemudinya.

Tersadar bahwa tak ada guna jika saya hanya bersedih, mungkin lebih bijak jika saya mengambil hikmahnya. Hikmah bahwa LDR telah mengajarkan saya, betapa berharganya kebersamaan yang tidak semua pasangan menyadarinya. LDR telah membuat saya merasakan rindu yang menggebu disetiap hari yang biru. Dan LDR telah melatih saya untuk bersabar akan apa yang saya inginkan, karena memang tidak selamanya keinginan dapat diwujudkan.

Share
Topics
Editorial Team
Nita Fitri
EditorNita Fitri
Follow Us