Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Orang Melebih-lebihkan Cerita Hidupnya, Biar Apa Coba?

ilustrasi bercerita (pexels.com/fauxels)

Sebenarnya kita tahu bahwa membumbui cerita tidaklah baik. Bahkan meski itu cerita hidup kita sendiri dan tak merugikan orang lain. Kita pun mengerti bahwa bercerita dengan apa adanya amat mudah dilakukan. Kita jadi tak perlu mereka-reka jalannya kisah agar tetap masuk akal.

Namun, pengetahuan di atas rupanya tidak mampu memastikan kita bakal lebih apa adanya dalam menceritakan kehidupan sendiri. Ini bukan sekadar kebiasaan, orang melebih-lebihkan cerita hidupnya, terbentuk oleh tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan simpati

ilustrasi pria dan perempuan (pexels.com/fauxels)

Setiap orang punya kebutuhan yang berbeda akan simpati dari teman dan saudara. Ada yang kebutuhannya rendah sehingga mudah bercerita secukupnya saja tanpa memikirkan reaksi orang lain. Baginya, lebih sederhana sebuah cerita disampaikan akan lebih baik.

Namun ada pula yang seperti kehausan atensi, dukungan, dan belas kasihan berbagai pihak. Tipe inilah yang paling suka melebih-lebihkan kisah hidupnya agar terdengar amat memilukan. Simpulan akhir yang diharapkan dari para pendengar adalah mengakui dirinya hebat sebab mampu bertahan sejauh ini.

2. Cerita teman-teman terdengar luar biasa

ilustrasi bercerita (pexels.com/cottonbro studio)

Apa yang kita dengar juga dapat memengaruhi apa yang nantinya diceritakan tentang kehidupan sendiri. Ini membuat cerita kehidupan kita tidak pernah konsisten, tergantung dari kisah orang-orang di sekitar. 

Kita tahu bahwa sulit untuk mengungguli cerita hidup orang lain. Akan tetapi, paling tidak kita gak ketinggalan jauh dari mereka. Kita seperti sedang berlomba dengan perjalanan hidup teman-teman.

Celaka, seandainya kita sampai lupa bahwa salah satu dari mereka pernah mendengar cerita yang berbeda dari kita sendiri. Ketahuan deh, bila semua yang dikatakan selama ini memang rekayasa belaka. Kita bakal malu abis jika dia sampai menyela, "Lho, bukannya waktu itu kamu bilang ...?"

3. Agar orang lain lebih percaya

ilustrasi bercerita (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Saat kita punya tujuan membuat orang lain percaya, begitu banyak bumbu yang bakal ditambahkan. Seperti seakan-akan kita sendiri menyaksikan terjadinya sesuatu. Padahal, sebenarnya kita hanya mengetahuinya dari orang lain.

Apabila pendengar masih terlihat ragu, kita mulai mengeluarkan berbagai sumpah untuk terlihat meyakinkan. Dari sesimpel, "Sumpah deh, aku gak bohong." Sampai yang lebay, "Aku bisa tersambar geledek tujuh turunan kalau sampai ngibul."

4. Mempertahankan bahkan menambah jumlah pendengar

ilustrasi bercerita (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Buku yang tidak menarik akan ditinggalkan pembacanya sebelum halamannya habis dibaca. Begitu juga kisah hidup yang biasa saja dan tidak menggugah atau punya nilai lebih. Kalau kita ingin orang-orang bertahan menjadi pendengar, cerita itu perlu dibuat lebih hidup.

Lalu mulailah kita bertindak bak sutradara handal. Konflik-konflik dalam hidup dipertajam. Masalah dibikin lebih besar dari aslinya dan ada kejutan-kejutan yang penuh keajaiban. Harapannya, tak seorang pun teman pergi selama kita bercerita dan pendengarnya malah bertambah saja.

5. Belum selesai dengan masa lalu

ilustrasi bercerita (pexels.com/RODNAE Productions)

Bukan hanya buruknya masa lalu yang membuat kita ingin mendramatisasinya. Masa lalu yang menyenangan juga bisa seolah-olah belum memuaskan kita. Separuh dari pikiran dan emosi kita masih bertaut erat dengan peristiwa-peristiwa dimasa itu.

Saat berjalannya waktu sudah mulai mengikis ingatan kita tentang detail kejadian, itu malah terasa sebagai angin segar. Lubang-lubang dalam memori dapat dengan bebas kita isi. Terpenting isinya mendukung emosi kita tentang masa lalu tersebut.

Itulah beberapa alasan dan tujuan mengapa orang melebih-lebihkan cerita hidupnya. Berlebihan dalam menceritakan hidup sendiri memang gak makan korban. Beda halnya dengan membumbui cerita yang berkaitan dengan orang lain yang dapat menimbulkan fitnah. Namun demikian, cara paling mudah menjaga konsistensi cerita hanyalah dengan menuturkannya apa adanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us