Victim of A Broken Marriage

Pernahkah kau merasa tidak yakin dengan sebuah pernikahan? Melihat dari orangtuamu yang tidak harmonis membuatmu merasa enggan untuk menikah? Berbagai macam ketakutan memenuhi kepalamu, takut jika salah memilih pasangan, takut hal yang sama akan terjadi seperti orang tuamu. Kau sadar betul berumah tangga memang selalu ada lika-likunya. Namun untuk apa berumah tangga jika membuatmu tidak bahagia?
Pernah suatu hari ibuku berandai jika dia dahulu menikahi orang lain, bukan ayahku, mungkin ibu takkan sengsara seperti ini, MUNGKIN. Ibu sewaktu muda memiliki pacar yang tampan dan baik hati, tapi entah ibu malah menikah dengan ayahku. Aku juga beranggapan sama dengan ibu. Andai dulu ibu menikah dengan pria itu, mungkin semua cerita tentang pertengkaran orangtua takkan terjadi, MUNGKIN. Andai ibu menikah dengan pacarnya, mungkin ibu akan bahagia, MUNGKIN.
Aku merasa semua ini seperti salah ayahku, dia keras kepala, egois, pemarah, cuek, dingin, dan tidak toleran. Aku juga berperingai sama sepertinya, ditambah fisikku berwajah jelek, dan tubuh bantet. Aku seperti menuruni semua kejelekan darinya. Jujur, aku membenci diriku karena hal itu. Aku ingin berubah menjadi orang yang lebih baik, namun sulit ketika lingkungan terdekatku memberikan contoh demikian.
Aku berandai lagi jika ibu dulu menikah dengan pacarnya yang tampan dan baik hati. Mungkin aku akan terlahir cakep dan baik hati menuruni genetiknya, ibuku juga seorang yang manis dan baik hati. Aku tau ini semua salah, aku tidak boleh membenci keadaan, dan aku tidak boleh marah kepada Tuhan terhadap semua ini. Namun emosiku masih terlalu labil untuk mengalami hal ini, umurku masih dibawah 15 tahun.
Aku benci ketika teman-teman kelasku membullyku karena aku jelek, bantet, dan juga berkulit gelap. Aku berlari ke kamar mandi dan bercermin. Aku pun ikut membenci melihat pantulan diriku di cermin. Andai aku cakep, semampai, dan berkulit cerah mungkin aku tidak akan diperlakukan buruk oleh mereka. Dan untuk kesekian kalinya aku menyalahkan ayahku atas semua ini, semua gen buruknya tersalin di diriku.
Ah tidak, aku tidak bisa menyalahkan orang lain, ini semua ketetapan Tuhan. Sama saja aku membenci pemberian Tuhan. Dan setiap kali aku merasa benci dengan ayahku, aku merasa berdosa. Maafkan aku Tuhan, bukan maksduku membenci pemberianmu. Aku hanya belum bisa membuka hatiku untuk menerima semua kenyataan ini. Maafkan aku Tuhan.
Apa kelak nanti aku akan menikahi orang baik atau buruk? Orang bilang perempuan baik untuk laki-laki baik begitu pun sebaliknya. Ibuku orang baik, mengapa menikah dengan seseorang yang buruk? Aku tidak mengerti semua ini.
Tahukah mereka akibat dari pernikahan yang buruk? Ya..ke anak! Orang bilang anak adalah kaset kosong yang akan merekam apapun yang dilihat dan didengarnya. Orang juga bilang anak adalah peniru ulung yang akan meniru apapun yang diperlihatkan oleh orangtuanya. Aku telah merekam semuanya, aku pun turut meniru apa yang telah diperlihatkan kepadaku. Sadarkah mereka siapa korban dari pernikahan yang buruk? Anak! Yap tepat sekali!
Salahkah jika aku (sebagai anak) lebih suka berada di luar? Mencari kebahagiaanku di luar sana? Aku benci pulang ke rumah. Karena ketika pulang, aura gelap menyambut. Aku benci melihat mata ibuku sembab karena terlalu banyak menangis. Aku sakit melihatnya, hatiku semakin teriris seiring tetesan air mata mengalir darinya. Bisa-bisanya seseorang melukai orang baik seperti ibu.
*
Tanpa terasa semua kejadian itu telah berlangsung belasan tahun lalu. Aku telah tumbuh dewasa jadi pribadi lebih baik ditambah karirku sukses, dan fisikku tidak lagi buruk.
Umurku sudah sangat matang untuk sebuah pernikahan, namun mentalku belum. Bayang-bayang kesengsaraan di masa lampau kadang masih mampir di mimpiku setiap kali tertidur. Aku benci pertengkaran, aku takut akan seperti orangtuaku yang tak harmonis kelak. Aku skeptis, enggan, dan tidak yakin terhadap pernikahan.
Calon? Ada!, namun aku tidak pernah yakin bersamanya. Walau calonku selalu meyakinkanku dia mencintaiku dan akan selalu membahagiakanku, rasa takut salah memilih selalu menyelimuti benakku.
Hingga saat calonku mengatakan “Jangan biarkan masa lalu menghancurkan masa depanmu. Jika kau tak menemukan kebahagiaan di diriku, pergilah cari kebahagian itu di orang lain. Tapi jika aku berhasil membuatmu selalu bahagia, berjanjilah untuk bersamaku hingga Tuhan memisahkan.”
Aku perlahan mulai melepaskan masa lalu dan meraih masa depanku. Perlahan aku mulai yakin dengan calonku. Satu hal yang membuatku yakin, Dia mengatakan jika aku tidak bahagia bersamanya, aku boleh pergi.