Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Isi dari RUU PKS yang Membuat Pengesahannya Jangan Ditunda-tunda

Sekumpulan orang sedang melakukan aksi demonstrasi pada acara Women's March di Taman Bungkul, Surabaya pada Maret 2019 (IDN Times/Alvita Wibowo)

Kondisi korban kekerasan seksual di Indonesia sampai sekarang masih terus memprihatinkan. Komnas Perempuan mencatat bahwa angka kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, terdapat 259.150 kasus kemudian meningkat menjadi 348.446 kasus pada tahun 2017 hingga 406.178 kasus pada tahun 2018.

Dari kasus kekerasan seksual yang terjadi, tidak semua kasus dilaporkan ke polisi. Berdasarkan temuan Forum Pengadaan Pelayanan (FPL) hanya sekitar 40 persen kasus yang dilaporkan ke polisi. Lebih mirisnya lagi, dari 40 persen kasus yang dilaporkan tersebut hanya 10 persen yang dilanjutkan ke pengadilan. Penyebab utama dari sedikitnya kasus yang dilanjutkan ke pengadilan adalah terbatasnya pengaturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual dalam undang-undang.

1. Mengatur 9 tindak pidana kekerasan seksual

Ilustrasi kata bertuliskan 'Justice' (Pixabay/CQF-avocat)

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa masih ada keterbatasan peraturan tentang tindak pidana kekerasan seksual. Demi mengatasi keterbatasan tersebut maka dibentuklah RUU PKS. Dalam RUU PKS terdapat pengaturan mengenai 9 tindak pidana kekerasan seksual.

Sembilan tindak pidana tersebut adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa RUU PKS menjadi peraturan pertama dan satu-satunya yang mengatur mengenai 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual. 

2. Memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM perempuan

Pin baju bertuliskan "Women's rights are human rights." (Pixabay/Carrie Z)

Dengan segera disahkannya RUU PKS, diharapkan ada undang-undang yang memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM perempuan. Hal itu terdiri dari pencegahan, hukum acara termasuk hak korban dan keluarganya, sembilan jenis tindak pidana, pemidanaan, serta pemantauan dan pemulihan. Dalam RUU PKS memang terdapat pengaturan mengenai 6 elemen kunci dan prinsip tersebut.

RUU PKS mencantumkan tindakan pencegahan kekerasan seksual yang konkret. Tindakan pencegahan tersebut seperti memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual ke dalam kurikulum sekolah, membangun fasilitas publik yang aman dan nyaman, menetapkan kebijakan anti kekerasan seksual di perusahaan, serta menguatkan kapasitas kelompok masyarakat, keagamaan, kepercayaan, dan adat.

3. Mencantumkan hak korban dan keluarga secara terperinci

Ilustrasi perempuan sedang tertekan (Pixabay/Foundry Co)

RUU PKS juga mencantumkan secara terperinci hak korban dan keluarga. Dalam RUU ini, korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Salah satu hak yang diberikan kepada keluarga korban adalah berhak untuk dirahasiakan identitasnya serta tidak dituntut secara pidana dan perdata oleh tersangka atau keluarganya.

4. Mengatur hak saksi

Ilustrasi perempuan sedang melakukan aksi demonstrasi (Pixabay/Dean Moriarty)

Selain mengatur mengenai hak korban dan keluarganya, RUU ini bahkan mengatur mengenai hak saksi sehingga dapat mendorong masyarakat untuk tidak takut dalam menolong korban. Saksi mendapat hak seperti mendapat bantuan dan pendampingan hukum, dirahasiakan identitasnya, dan tidak dituntut pidana atau perdata karena kesaksian yang diberikannya.

5. Menjelaskan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual

Ilustrasi perempuan sedang tertekan (Pixabay/Anemone123)

RUU ini juga mengatur mengenai 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual. RUU ini mencantumkan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual dan pemidanaan terhadap pelaku. Pemidanaan juga dirincikan pada beberapa jenis korban yaitu anak, orang dengan disabilitas, dan anak dengan disabilitas. Pemidanaan juga dibedakan untuk beberapa jenis pelaku seperti atasan kerja, tokoh masyarakat, pejabat, dan keluarga.

6. Mengatur pemidanaan berdasarkan dampak yang dialami korban

Ilustrasi perempuan sedang tertekan (Pixabay/StockSnap)

Selain itu, terdapat aturan mengenai pemidanaan yang didasarkan pada dampak yang dialami korban seperti keguncangan jiwa, disabilitas permanen, luka berat dan gangguan kesehatan berkepanjangan, serta meninggal dunia. RUU ini juga ada sanksi pidana yang dikenakan ke penegak hukum jika lalai dalam menangani perkara kekerasan seksual.

RUU ini  benar-benar mengatur hal-hal untuk menghapus kekerasan seksual secara komprehensif mulai dari pemidanaan sampai pemantauan dan pemulihan korban sehingga menjamin korban mendapat penanganan yang baik. Dengan adanya RUU ini, korban kekerasan seksual memperoleh perlindungan yang diberikan negara sehingga tidak perlu ada wanita yang takut melaporkan kekerasan seksual ke pihak berwajib.

Meskipun RUU ini belum disahkan namun pembentukan RUU ini saja sudah memberi harapan yang besar kepada para korban kekerasan seksual. Dengan adanya payung hukum seperti ini maka para wanita tidak perlu takut lagi untuk menyuarakan penderitaannya. Dengan adanya RUU ini, besar harapan wanita di negeri ini untuk mendapatkan penanganan kasus kekerasan seksual yang sepantasnya. Jika RUU ini disahkan, tidak ada wanita yang perlu takut dipersekusi karena melaporkan tindak kekerasan seksual.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us