Fenomena Thrift Snob, Apakah itu?

Thrifting sekarang bukan sekadar mencari barang murah atau vintage. Banyak orang mulai melihat cerita, kualitas, atau keunikan barang yang mereka temukan. Dari sinilah muncul istilah thrift snob, yaitu orang yang lebih memperhatikan eksklusivitas dan estetika barang ketimbang fungsinya. Fenomena ini membuat hobi sederhana jadi arena sosial, di mana orang menilai satu sama lain berdasarkan barang yang mereka pilih.
Banyak perspektif muncul, mulai dari cara mengekspresikan diri hingga ingin terlihat lebih ahli soal thrifting. Berikut lima fakta tentang fenomena thrift snob.
1. Barang bekas jadi ukuran selera dan pengalaman

Orang yang termasuk dalam kategori thrift snob sering menilai kemampuan orang lain dari barang yang mereka temukan. Barang bekas tidak dinilai hanya dari merek atau harga, tapi juga cerita dan kualitasnya. Hal ini membuat thrifting terasa seperti arena pembuktian diri, bukan sekadar mencari barang untuk dipakai.
Aktivitas ini juga membuat mereka memperhatikan detail lebih teliti saat memilih barang. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa perilaku ini membuat mereka terlihat seperti thrift snob. Proses ini menunjukkan bagaimana hobi sederhana bisa berubah menjadi tolok ukur sosial dalam sebuah komunitas.
2. Koleksi barang jadi simbol status dalam komunitas

Thrift snob cenderung menilai orang lain dari barang yang mereka miliki. Item unik atau langka memberi kesan eksklusif dan menaikkan reputasi dalam komunitas. Media sosial menjadi platform untuk menunjukkan koleksi dan membangun identitas. Orang yang rajin berbagi tips dan cerita soal barang langka lebih mudah dianggap sebagai referensi.
Hal ini membuat pencarian barang bukan hanya soal kebutuhan, tapi juga soal status sosial. Reputasi dalam komunitas bisa memengaruhi interaksi dan kesempatan kolaborasi. Banyak orang merasa terdorong untuk mengikuti standar ini agar tetap dianggap relevan.
3. Estetika dan cerita lebih penting daripada fungsi

Banyak thrift snob membeli barang karena nilai estetika atau cerita di baliknya, bukan karena membutuhkannya. Barang yang unik atau punya sejarah lebih dihargai dibanding barang baru yang biasa. Hal ini membuat mereka lebih selektif dalam memilih barang. Pencarian barang jadi lebih strategis, memperhatikan kombinasi pakaian, aksesori, dan gaya.
Personal branding menjadi bagian dari aktivitas thrifting. Orang ingin tampil konsisten dengan identitas dan selera mereka. Aktivitas ini menekankan kreativitas dalam memilih barang. Thrifting jadi cara mengekspresikan diri, bukan sekadar memenuhi kebutuhan pakaian sehari-hari.
4. Thrifting sebagai ekspresi identitas dan nilai pribadi

Barang bekas yang dipilih sering mencerminkan kepribadian dan nilai seseorang. Thrifting menjadi cara mengekspresikan diri dan membedakan diri dari orang lain. Setiap item yang dibawa pulang membentuk narasi pribadi yang ingin ditampilkan. Pendekatan ini membuat orang lebih teliti saat memilih barang, menilai kualitas, dan memperhatikan estetika.
Thrifting bukan lagi soal harga atau kebutuhan semata. Aktivitas ini membentuk identitas sosial dan cara seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Banyak orang menemukan kepuasan pribadi ketika barang yang dipilih sesuai gaya hidup mereka. Fenomena ini menunjukkan sisi lain thrifting daripada sekadar aktivitas berbelanja.
Fenomena thrift snob memperlihatkan bahwa hobi sederhana bisa menjadi subkultur dengan aturan sendiri. Thrifting kini jadi cara mengekspresikan diri sekaligus membangun interaksi sosial. Menurut kamu, apakah pengaruh sosial dari fenomena ini akan terus memengaruhi cara orang memilih barang bekas?
Referensi:
"The Rise of Snobby Secondhand Fashion Retail" TIME. Diakses pada Oktober 2025
"Snobbism, or a Desire to Show Up & Why You Shouldn’t Be a Snob" Gentleman Gazette. Diakses pada Oktober 2025
"Don’t Be a Thrift Store Snob" Moda Mama. Diakses pada Oktober 2025
Diakses pada Oktober 2025



















