Peran Perempuan Ciptakan Perdamaian di Daerah Konflik

ArtsforWomen dan PeaceWomen Across the Globe (PWAG) Indonesia telah menggelar webinar bertajuk "Dialog Feminis Nusantara: Feminisme, Perdamaian dan Transformasi Lintas Generasi" pada Rabu (10/3/2021). Acara ini merupakan bentuk refleksi perihal apa saja yang telah dilakukan perempuan dalam menciptakan perdamaian di daerah konflik dan pasca konflik.
Berbagai narasumber terkait topik dihadirkan, terutama perempuan yang tinggal di daerah konflik seperti Aceh dan Poso. Berikut ulasan selengkapnya mengenai peran perempuan ciptakan perdamaian di daerah konflik.
1. Masih ada berbagai tantangan yang perlu dihadapi perempuan di daerah konflik
Menjadi pembicara pembuka dalam diskusi, Aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Ernawati, menuturkan bahwa baru sebulan yang lalu Aceh mendapat peringkat nomor satu provinsi termiskin di Indonesia. Ia juga mengungkapkan ada 245 kasus kekerasan perempuan serta keterwakilan perempuan Aceh menurun pada tahun 2019 karena belum memenuhi kuota 30 persen.
Melihat angka ini, pihaknya menginisiasi pengorganisasian perempuan dalam isu kesetaraan gender melalui berbagai pendekatan. Salah satunya adalah dengan pengorganisasian kelompok perempuan di komunitas dengan pendekatan kearifan lokal.
"Kearifan lokal menjadi isu yang penting. Ketika berbicara isu feminis, kita melihat banyak orang yang menganggap feminis dari barat. Padahal kalau di Aceh sebenarnya tokoh feminis sudah ada sebelum kemerdekaan seperti Cut Meutia dan Cut Nyak Dien," terangnya.
Relawan dari Flower Aceh itu juga menyoroti tentang kemandirian ekonomi, dukungan strategis oleh tokoh adat, agama, hingga masyarakat, serta memperkuat kemitraan dengan pemerintah.
Namun tantangan baru justru muncul dari norma yang sebenarnya sudah melekat seperti patriarki yang masih mendominasi, hoax terkait isu gender dan feminis, perspektif gender, dan perempuan yang berjarak terhadap akses sumber daya ekonomi, pendidikan, kepemimpinan serta kesehatan.