Sepak Terjang Luviana Ariyanti, Pejuang Hak Buruh & Perempuan Pekerja

Menjadi seorang pejuang kesetaraan buruh dan pekerja, tentunya tidak mudah. Luviana Ariyanti pernah membuktikannya. Pernah dipecat, tidak digaji 2,5 tahun, meminjam uang di sana-sini sementara buah hatinya masih kecil, jadi salah satu fase dalam hidupnya.
Meski begitu, ia tak gentar menjadi pejuang hak buruh dan perempuan pekerja. Seperti apa sosok inspiratifnya? Simak sepak terjang Luviana Ariyanti berikut!
1. Lahir dari seorang buruh pabrik, Luviana kerap melihat diskriminasi yang terjadi di lingkungannya, salah satunya dari teman sendiri

Luvi lahir di Klaten, Jawa Tengah. Ayah Luvi adalah seorang buruh pabrik. Masa kecilnya dihabiskan dengan keluarga di rumah kecil di depan Pabrik Gula Gondang Winangun, Klaten.
Di lingkungan tinggal buruh pabrik tersebut, ia menyaksikan langsung bagaimana para buruh menjalani harinya. Hal ini terekam hingga ia dewasa.
"Aku banyak melihat adanya diskriminasi ketika kecil. Pernah ada temanku yang bapaknya juga buruh pabrik dan posisinya masih di bawah bapakku. Dia itu gak naik kelas karena adiknya banyak. Dia mengurus adik-adiknya dan mencari rumput. Terus, kapan dia belajar? Itu yang paling membekas di diriku," kenangnya.
Karena pengalaman itulah, batinnya terpantik. "Gila, ya! Orang miskin ini gak punya kesempatan. Temanku ini, kakak-kakaknya gak ada yang bisa kuliah," seru perempuan kelahiran bulan Oktober ini saat ditemui pada 2 Desember lalu.
2. Kegelisahan itu semakin menjadi saat Luvi menginjak SMA. Ia pun membuat kelompok studi gender secara kecil-kecilan

Kebetulan, pendidikan SMA Luvi dihabiskan di sebuah sekolah swasta. Selama tiga tahun di sana, ia betul-betul melihat kesenjangan yang cukup kentara antara siswa dari keluarga kaya dan kurang mampu.
"Waktu SMA, aku dapat temen yang kelas menengah atas. Itu tiga tahun yang membuatku gelisah. Tempatku itu bukan di sini banget. Aku gak bisa lihat anak-anak yang tiap hari pakai mobil. Anaknya bupati, anaknya yang punya toko. Aku kan naik angkot dan mereka yang naik mobil ini, mainnya sama yang naik mobil aja," kisah dia.
Ketika Luvi mendapat pinjaman motor dari kakaknya, tanpa disengaja pun bermain dengan anak yang naik motor saja. Selain itu, tidak ada yang menyapa dan menjadikannya teman baik.
Ibu dari seorang putri ini, tergerak membuat kelompok studi gender. Ini agar anak-anak yang miskin dan tidak memiliki kelas sosial, bisa bersuara.
"Aku kan berada di kalangan anak yang bawah ini. Mereka tidak diizinkan bersuara, tidak jadi pengurus apa pun. Yang diperhatikan hanya anak-anak orang yang bermobil. Kelompok studiku ada empat orang dan kita bisa ngomong apa aja," jelasnya lagi.
Tak hanya itu, mereka juga mengkritisi kenapa perempuan harus punya pacar, haid, dan lainnya. Bahkan, pandangan perempuan dilihat dari cantiknya saja menjadi salah satu topiknya.
3. Memasuki masa kuliah, gerak Luvi semakin kencang dalam advokasi buruh dan perempuan pekerja, ia bergabung di KPI Jogja

"Gabung jadi relawan untuk perempuan di KPI Jogja. Waktu itu, aku di Divisi Pemudi dan Mahasiswa. Terus isu buruh perempuan, itu pas di AJI. Aku jadi koordinator dan banyak bekerja sama dengan perguruan tinggi. Jadi, mungkin sudah 10 tahun aku bekerja di isu buruh ini," paparnya.
Selepas kuliah dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ia sempat bekerja sebagai jurnalis di sebuah media. Kala itu, ia bekerja di sebuah stasiun televisi swasta.
Ia melihat kebobrokan pada manajemen yang merugikan dirinya beserta kawan-kawannya. Mulai dari sistem kerja yang tidak obyektif, rendahnya kesejahteraan karyawan, hingga pemberitaan tidak sensitif gender, semua dikritisi.
"Waktu itu kan sempet di-PHK. Itu jadi semakin tertarik ke isu buruh perempuan. Kenapa buruh gitu? Pertama kalau di dunia gerakan itu, buruh itu ketika bertemu dengan sesama buruh yang digaji di bawah UMR, solidaritasnya sangat tinggi. Mereka mendukung advokasiku itu sampai selesai," kisahnya.
Salah satu contoh sederhananya adalah saat para buruh membawakan makanan yang terdiri dari nasi, tempe, telur, dan sayur bayam. Bagaimana tidak hati Luvi tersentuh?
Sehari-hari, buruh tersebut bekerja di pabrik selain harus mengurus banyak anaknya. Namun, mereka masih sempat memperhatikan Luvi. "Hidupku itu aku dedikasikan untuk mendukung buruh," tegas lulusan Pascasarjana Universitas Paramadina tersebut.
4. Selama perjalanan bekerja di media, Luvi melihat diskriminasi pada perempuan & kaum minoritas. Ini ia tuangkan dalam film More than Work

"Perempuan itu sulit untuk bersuara. Kalau ngomong itu, takut salah. Kalau dapat kekerasan, dianggap idealis. Yang aku temui itu, kalau di TV, tekanannya sangat tinggi. Perempuan harus cantik, harus dandan, gak boleh gemuk. Dia gak pernah makan nasi karena harus memperhatikan badannya," tutur ibu dari Savana Candid Nusantara tersebut.
Peduli terhadap nasib perempuan pekerja beserta kaum minoritas yang terkena diskriminasi, Luvi menciptakan sebuah film dokumenter bernama More than Work. Usahanya ini dilakukan agar mereka yang terdiskriminasi, dapat meningkatkan suaranya.
"More than Work ini kan cerita tentang pekerja TV. Ada Barbie Kumalasari yang harus menguruskan badan. Cuma dia yang mau ngomong. LGBT gak boleh masuk di TV karena ada peraturan yang tidak memperbolehkan mereka masuk. Jadi, tentang bagaimana TV memotret pekerja media hanya dari tubuhnya," sebutnya.
Hasilnya, film More than Work berhasil meraih penghargaan. Film ini masuk Nominasi Short Documentary di Festival Film Documenter Jogja. Karya tersebut dianggap memberikan banyak perspektif soal perempuan dan minoritas.
5. Perjalanan Luvi dalam advokasi, bukannya tidak mulus. Banyak hambatan yang ditemuinya, di antaranya adalah larangan berserikat

"Kita banyak hambatan sama pemerintah karena sebetulnya mereka itu pro ke pengusaha. Sebenernya, kan ada tripartit. Itu harus diselesaikan oleh pemerintah sebagai pemerintah, untuk masalah pengusaha dan buruh. Tapi, kemudian banyak keputusan yang berpihak pada pengusaha hanya demi investasi," jelasnya.
Tidak memiliki serikat juga menjadi hambatan Luvi dalam memperjuangkan hak buruh dan perempuan pekerja. Karena hal ini yang membuat pekerja dilarang kritis. "Jadi, kita tuh kayak punya ketergantungan upah gitu kan? Kalau kritis, kita gak bisa gitu karena takut dipecat. Tapi kalau gak disuarakan, ya gak sesuai sama hati nurani kita," tambah dia.
Perempuan yang kini jadi dosen di Universitas Paramadina ini pernah mengalami sendiri saat bekerja di media. Ia merasa sendirian. Sementara yang lainnya, merasa terpojok walaupun sebenarnya mau membantu.
Hal ini sangat berbeda ketika ia bertemu dengan buruh pabrik. Kebanyakan buruh pabrik memiliki serikat dan bisa beraksi secara kompak dan bersamaan untuk beberapa kasus. Misalnya, PHK.
Karena ini pula, ia terdorong menjadi aktivis pada Serikat SINDIKASI. Kepanjangannya adalah Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.
Para pekerja kritis dan progresif demi ekosistem kerja manusiawi serta berkelanjutan, bisa bergabung. Selain itu, anggota juga boleh mengikuti sejumlah acara yang digelar.
6. Jelang Hari Ibu, Luvi berpesan kepada seluruh pekerja dan perempuan agar berani berbicara serta jangan takut berpendapat walaupun berbeda

Telah banyak diapresiasi publik, Luvi tak merasa cepat puas. Baginya, perjuangan masih panjang. Penghargaan yang telah diraih bukan semata soal Luviana seorang, melainkan ditujukan pada siapa pun yang berani memperjuangkan sesuatu.
"Itu bentuk apresiasi terhadap korban. Orang yang jadi korban itu tidak untuk dihakimi, tapi harus mendapat dukungan. Film More than Work ini, kan susah. Susah mendapatkan orang yang mau ngomong bahwa kamu harus kurus untuk mendapatkan peran utama. Tidak hanya berkarya, tetapi ini apresiasi dari orang yang berjuang ini," tuturnya.
Ia pun berpesan pada para pekerja dan perempuan di Indonesia, "Berani berbicara, berani memiliki pendapat yang berbeda dan melakukan pembelaan kepada yang lain. Terus mendukung perempuan pekerja, ya!" tutup pemenang Tasrif Award 2013 itu.