Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tips Atasi Masculinity Trap, Bangun Kecerdasan Emosional bagi Pria 

Ilustrasi seorang pria mengangkat tangan (Pexels.com/Ron Lach)

Istilah masculinity trap atau toxic masculinity merujuk pada ekspektasi sosial yang tidak realistis dan merusak tentang apa artinya menjadi pria. Norma-norma ini sering kali mendorong pria untuk menekan emosi, mendominasi orang lain, serta menghindari segala sesuatu yang dianggap sebagai kelemahan. Namun, efek dari masculinity trap bisa sangat merugikan, baik secara emosional maupun dalam hubungan dengan orang lain.

Konsep tersebut seringkali membuat seorang pria menjadi lebih ahli dalam menyembunyikan emosinya. Pria menjadi lebih sering menahan hasratnya untuk bercerita dan dan menyalurkan apa yang ia rasakan. Lebih jauh lagi pria bahkan menjadi tidak mengenal emosinya. Akhirnya banyak pria yang hanya bisa marah-marah ketika sedang merasa sedih atau kecewa.

Berusaha keluar dari stereotip masculinity trap adalah upaya untuk melepaskan diri dari ekspektasi sosial yang tidak sehat ini dan mengembangkan cara hidup yang lebih autentik dan penuh empati. Berikut adalah lima tips yang bisa diambil pria untuk melakukan detoksifikasi dari tekanan maskulinitas yang merugikan.

1. Menerima bahwa emosi adalah bagian dari kemanusiaan

Ilustrasi seorang pria sedang emosi (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Salah satu aspek paling merusak dari masculinity trap adalah anggapan bahwa pria tidak boleh menunjukkan emosi, kecuali marah. Ini membuat banyak pria merasa terisolasi secara emosional dan kurang mampu berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya pria terkena stigma negatif bila ingin menagis atau sekadar bicara dari hati ke hati dengan orang lain.

Pada dasarnya seseorang tentu ingin hidup bebas tanpa harus ada yang di tutup-tutupi. Karena ini adalah era di mana pria juga berhak menunjukkan sisi kemanusiaannya, yakni memiliki kerapuhan dan jujur terhadap segala emosi yang dirasakannya. Sehingga, penting untuk mengakui bahwa emosi adalah bagian dari pengalaman manusia yang wajar dan perlu diekspresikan.

Mulailah dengan memberi diri kamu  izin untuk merasakan dan mengekspresikan emosi selain kemarahan. Jika kamu merasa sedih, takut, atau cemas, akui perasaan itu tanpa merasa malu. Berbicara dengan orang yang kamu percayai, seperti teman dekat atau pasangan, tentang bagaimana perasaan kamu bisa menjadi langkah besar untuk melepaskan diri dari tekanan untuk selalu tampak kuat.

2. Belajar untuk menjadi pendengar yang aktif

Ilustrasi dua orang sedang berbincang (Pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Banyak norma masculnity trap menekankan pada dominasi dan kontrol, termasuk dalam percakapan. Namun, salah satu tanda kedewasaan emosional adalah kemampuan untuk mendengarkan tanpa merasa perlu mendominasi atau memberikan solusi. Dalam hubungan yang sehat, baik dengan teman, keluarga, atau pasangan, mendengarkan secara aktif adalah kunci.

Mengatasi masculinity trap melibatkan belajar untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Saat seseorang berbicara, cobalah untuk tidak langsung menyela atau menawarkan solusi. Dengarkan untuk memahami, bukan hanya untuk merespons. Ini akan membantu membangun hubungan yang lebih sehat, lebih penuh empati, dan lebih saling menghargai.

3. Hilangkan anggapan bahwa kerentanan adalah kelemahan

Pexels/Andrew Neel

Norma maskulinitas sering kali mengajarkan pria bahwa kerentanan adalah kelemahan. Padahal, kerentanan justru merupakan salah satu kekuatan terbesar dalam hubungan manusia. Mengakui bahwa kamu tidak selalu tahu jawabannya atau bahwa kamu memerlukan bantuan dari orang lain adalah tanda keberanian, bukan ketidakmampuan.

Latih diri kamu untuk terbuka dan jujur tentang apa yang kamu rasakan, terutama dalam situasi di mana kamu merasa rentan. Misalnya, jika kamu sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan atau hubungan, tidak ada salahnya untuk mengakuinya dan meminta saran atau dukungan. Dengan melakukan ini, kamu sedang melepaskan diri dari gagasan bahwa pria harus selalu kuat dan tidak boleh meminta bantuan.

4. Menghargai kerja sama, bukan kompetisi berlebihan

Ilustrasi sedang berbincang (Pexels.com/Laura Tancredi)
Ilustrasi sedang berbincang (Pexels.com/Laura Tancredi)

Masculinity trap sering kali menekankan persaingan yang tidak sehat di antara pria, baik dalam pekerjaan, kehidupan sosial, maupun dalam hal-hal kecil lainnya. Kompetisi ini bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan merusak hubungan dengan orang-orang di sekitar. Sebagai bagian dari detoksifikasi, penting untuk mengembangkan pola pikir kolaboratif daripada selalu ingin menjadi yang terbaik atau paling unggul.

Menghargai kerja sama berarti melihat orang lain sebagai mitra, bukan pesaing. Dalam konteks pekerjaan, misalnya, daripada mencoba mendominasi setiap proyek, cobalah untuk bekerja sama dengan rekan kerja kamu. Ini akan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan kurang penuh tekanan, baik bagi kamu sendiri maupun bagi orang lain.

5. Pertanyakan dan tolak stereotip maskulinitas

Ilustrasi pria berdiri di dekat kereta (pexels.com/Enric Cruz López)
Ilustrasi pria berdiri di dekat kereta (pexels.com/Enric Cruz López)

Langkah penting lainnya dalam mengatasi masculinity trap adalah mulai mempertanyakan stereotip maskulinitas yang telah kamu terima selama ini. Apakah gagasan bahwa pria harus selalu kuat, mandiri, dan tidak emosional benar-benar mencerminkan siapa diri kamu? Apakah itu membantu kamu dalam menjalani kehidupan yang bahagia, atau justru membebani diri kamu sendiri?

Mulailah dengan memeriksa keyakinan diri kamu tentang apa artinya menjadi pria. Jika ada aspek dari maskulinitas yang kamu rasa tidak sehat atau tidak autentik, tidak ada salahnya untuk menolaknya. Ini mungkin berarti melepaskan gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pria, dan mulai menjalani hidup berdasarkan apa yang benar-benar membuat kamu merasa bahagia.

Langkah-langkah ini tidak instan dan mungkin terasa tidak nyaman pada awalnya, tetapi langkah-langkah ini akan membantu kamu mencapai kecerdasan secara emosional yang lebih besar dan membangun hubungan yang lebih bermakna dalam hidup kamu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ruslan Abdul Munir
EditorRuslan Abdul Munir
Follow Us