Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Pandjaitan memimpin upacara serah terima jabatan dan menerima kenaikan pangkat 54 TNI AD. (Dokumentasi TNI AD)

Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memasuki 100 hari pertama, setelah resmi menjabat usai mengucap sumpah janji pada Oktober 2024 di hadapan MPR RI.

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengungkap sejumlah catatan yang terjadi pada 100 hari pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut dia, 100 hari pertama menjadi krusial karena akan mencerminkan bagaiman proyeksi pola kepemimpinannya selama lima tahun mendatang.

Pada 100 hari pertama ini, dalam sektor pertahanan Indonesia menunjukkan tanda-tanda kemunduran serius, yang mengarah pada menguatnya militerisme dan kembalinya Dwifungsi TNI.

Hal ini dapat dilihat secara nyata dari beberapa hal; Pertama, Dwifungsi TNI menguat dengan penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil, sebagaimana terlihat dari pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretrais Kabinet (Seskab).

Pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab bentuk pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terkait penempatan personel militer aktif di jabatan sipil dan keterlibatan prajurit TNI aktif dalam politik praktis.

Selain itu, bertentangan juga dengan pasal 39 dan 47 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit TNI tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis serta prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pemerintahan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Adapun, bila mengacu pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI, jabatan seskab tidak termasuk dalam instansi yang diperbolehkan untuk diduduki prajurit TNI aktif.

TNI aktif hanya bisa menduduki jabatan di Kementerian yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

"Pengangkatan Mayor Teddy tersebut juga mencederai semangat reformasi TNI dan juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap supremasi hukum di Indonesia," kata dia, di Jakarta, Kamis (23/1/2025).

1. DPN berpotensi jadi lembaga superbody

Menhan RI, Sjafrie Sjamsoeddin menerima kunjungan kehormatan Kepala Staf Gabungan Komisi Militer Pusat China. (dok. Biro Infohan Setjen Kemhan)

Kedua, pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) kewenangannya melampaui yang diatur dalam UU Pertahanan. Meskipun pembentukan DPN sudah dimandatkan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, namun presiden memberikan fungsi yang lebih luas lagi.

Hal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 huruf F Perpres No. 202 Tahun 2024. Adapun, kewenangan yang lebih luas ini menimbulkan multi interpretasi.

"DPN berpotensi menjadi lembaga superbody dan memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang sangat tinggi," kata dia.

Ketiga, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang semakin berlebihan. Operasi pengamanan proyek strategis nasional yang melibatkan TNI mendapat sorotan tajam dari publik, seperti PSN Food Estate di Merauke.

Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua tidak hanya sebagai bentuk penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan di Papua.

Adapun, kelima batalion itu di antaranya adalah Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentsuwri di Kabupaten Keerom, Yonif 802/Wimane Mambe Jaya di Kabupaten Sarmi, Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel, Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Kabupaten Merauke dan Yonif 805/Kesatria Satya Waninggap di Kabupaten Sorong. 

Menurut dia, konflik antara TNI dengan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan satu juta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih.

Hal ini kemudian diikuti dengan pengiriman atau penambahan pasukan TNI secara ilegal di Merauke yang menjadi bukti nyata militerisme dan pendekatan sekuritisasi yang dijalankan oleh Pemerintah di Papua. Di sisi lain hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua secara damai.

"Alih-alih menepati janji untuk mengutamakan dialog, langkah ini justru dapat memperburuk situasi, menambah ketakutan masyarakat lokal dan memperkuat pengaruh militer di wilayah yang sudah rentan konflik," kata dia.

2. Kekerasan oleh prajurit TNI terus berlanjut

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Keempat, terus berlangsungnya kekerasan militer terhadap warga sipil yang diiringi dengan pelanggengan budaya impunitas. Ardi mengungkapkan, kasus sepert ini terjadi seperti dalam kasus penembakan bos rental mobil yang dilakukan oleh anggota TNI aktif di KM 45 Tangerang.

Kasus ini juga menciderai Pasal 65 ayat (2) UU TNI dan pasal 3 ayat (4)n huruf a TAP MPR No. VII Tahun 2000 karena prajurit TNI terlibat pelanggaran pidana umum harus diselesaikan melalui peradilan umum.

"Berdasarkan data yang dihimpun oleh Imparsial, peradilan militer seringkali menjadi sarana impunitas bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum," kata dia.

Kelima, menguatnya sekuritisasi melalui pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang jauh dari fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Dia mengatakan, keterlibatan militer dalam program-program sosial seperti pemberian makan bergizi gratis, menunjukkan bagaimana peran militer yang seharusnya fokus pada pertahanan mulai bergeser ke ranah yang seharusnya dikelola institusi sipil.

Pelibatan TNI dalam program ini tentunya akan mengganggu profesionalisme TNI sebagai alat negara yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman perang (external).

"Masih banyak lagi keterlibatan TNI dalam urusan selain pertahanan, seperti terkait ketahanan pangan, memberikan pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pembangunan infrastruktur," tutur dia.

Menurutnya, kesemua hal tersebut sejatinya adalah illegal karena tidak melalui sebuah keputusan politik negara sebagaimana yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Hal ini menunjukkan terjadinya sekuritisasi.

3. Agenda reformasi TNI bukan perkuat komando teritorial

ilustrasi foto Taruna TNI. (instagram.com/akademi.tni)

Keenam, penguatan struktur komando teritorial (Koter) TNI. Menteri Pertahanan Sjafri Sjamsoedin dalam sebuah rapat dengar pendapat bersama DPR mengemukanan TNI akan membentuk 100 batalyon territorial pembangunan (BPT) di tahun 2025. 

Batalyon-batalyon ini akan ditempatkan di bawah Kodim untuk membantu percepatan pembangungan diberbagai bidang seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan. Selain itu, BTP ini akan didampingi 2 batalyon Komcad (Komponen Cadangan).

Hal ini tentunya bertentangan dengan UU TNI sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) bahwa pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.

Alih-alih melakukan restrukturisasi terhadap komando territorial, pemerintahan ini justru berencana menambah jumlah komando teritorial termasuk memperluas fungsi dan tugasnya. Penguatan komando teritorial ini tentunya tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI.

Sebab, salah satu agenda reformasi TNI adalah melakukan restrukturisasi Koter dan mengurangi jumlah Koter, bukan memperkuatnya. Struktur Koter adalah struktur penyangga Dwifungsi TNI sebagaimana terjadi di masa Orba.

"Karena itu, penguatan Koter ini kembali akan memperkuat Dwifungsi TNI. Struktur Koter potensial digunakan untuk kepentingan politik praktis," kata dia.

Imparsial menilai, pada 100 hari pertama ini, pemerintahan hari ini tidak hanya gagal mengawal proses reformasi TNI yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun, tetapi justru memperkuat militerisme dan mengembalikan Dwifungsi dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.

"Imparsial khawatir bahwa pola kebijakan semacam ini akan terus berlanjut sehingga sangat berpotensi mengancam demokrasi dan membuka peluang pelanggaran yang lebih besar terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum," jelasnya.

Editorial Team