Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis bersiap menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020) (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Kurnia mengatakan, sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan mengemukakan ada banyak kejanggalan dalam persidangan tersebut.
Pertama, dakwaan jaksa seakan menafikan fakta kejadian yang sebenarnya. Hal ini karena jaksa hanya mendakwa dua terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.
"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujarnya.
Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan oleh jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan dipersidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Tiga saksi itu pun juga diketahui pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.
"Namun, jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil. Sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," jelas dia.
Ketiga, peran penuntut umum dilihat seperti pembela para terdakwa dari tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel, jaksa dianggap seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel.
"Semestinya jaksa sebagai representasi negara dan juga korban, dapat melihat kejadian ini lebih utuh. Bukan justru membuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," kata Kurnia.