Jurnalisme di Era Disrupsi Digital, Pentingnya Membangun Kepercayaan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Disrupsi teknologi membawa dampak signifikan bagi media massa di Indonesia. Efek paling terasa terjadi di media siber yang harus berhadapan dengan pesaing berotot kuat, yakni media sosial.
Hal ini mengemuka dalam workshop “Jurnalistik yang Mengancam Jurnalisme” yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, Rabu (8/11/2023).
Acara dibuka Menteri Komunikasi dan Informasi Budi Arie Setiadi, dilanjutkan pembicara kunci Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Narasumber yang hadir antara lain CEO Kompas Gramedia (KG) Media Andy Budiman, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry CH Bangun, Anggota Majeli Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Luviana, dan komunitas media.
Workshop membahas nasib jurnalisme di era digital yang terus berkembang, hingga model bisnis media, etika jurnalisme, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI).
Baca Juga: ChatGPT, AI, Masa Depan Jurnalisme dan Media
1. Media berhadapan dengan tantangan AI dan perubahan konsumsi informasi masyarakat
CEO Kompas Gramedia (KG) Media Andy BudimanAndy Budiman mengungkapkan media adalah sebuah usaha untuk mencerdaskan dan mencerahkan peradaban. Namun, diiringi dengan perkembangan teknologi digital seperti AI, tentu saja media memiliki banyak tantangan.
“Tantangan usaha media untuk bisa berkelanjutan adalah bagaimana bisa berdamai dengan perubahan yang terjadi di peradaban itu sendiri. Seperti apa yang disampaikan Luviana, apakah media harus menyesuaikan dengan perubahan di masyarakat?” kata Andy.
Terkait dengan makin maraknya penggunaan AI di ruang redaksi, tim Kompas Gramedia Group saat ini tengah menyusun pedoman penggunan AI dengan harapan agar dapat memadukan tidak hanya peluang, tapi juga dengan nilai-nilai yang ditanamkan para pendiri grup media ni. “Jangan sampai bablas teknologi yang dipakai,” kata Andy.
2. Trust dan influence media harus bisa menciptakan model bisnis dan pendapatan yang berkelanjutan
Editor’s picks
Soal model bisnis media, Andy mengatakan bahwa di semua media, KG selalu membuat konten yang nantinya didistribusikan ke khalayak pembaca. Lalu, pembaca memberi perhatian dengan cara membaca berita-berita tersebut. Atensi itu kadang bisa dalam format pendapatan uang seperti subskripsi berita. Ini adalah sebuah model bisnis yang sebenarnya tidak asing. Bahkan, semua media umum menggunakan model bisnis ini.
Namun, hal unik yang hanya ditemukan di media berita (news), dan tidak ada di jenis media lainnya adalah trust dan influence, yakni kepercayaan dan kepengaruhan media tersebut dari para pemangku kepentingan seperti pembaca, pemerintah, pengiklan, dan sebagainya.
“Lalu bagaimana kita dapat me-monetize influence ini dan mengubahnya menjadi income? Kami teman-teman di redaksi memang sangat bangga dengan influence yang kita miliki. Kita menulis dan dibaca orang banyak atau penting, maka ada influence di situ. Tapi pertanyaannya, kan, influence itu harus bisa men-generate model bisnis yang bisa mendukung jurnalisme yang berkelanjutan,” kata Andy.
Melihat data dari survei WAN-IFRA sebuah organisasi media yang beroperasi secara global sebagai sebuah pusat kajian, sebagian besar media berita mendapatkan pendapatan mereka 50 persen masih dari media cetak, baik dari sirkulasi majalah atau dari print advertising. Untuk digital advertising hanya tercatat mendapati pemasukan sebesar 9,5 persen, sedangkan langganan digital sebenarnya sudah tercatat hampir 20 persen.
Tetapi dengan media digital, ada juga “pendapatan lain”. Pertama, yang terlihat paling dominan adalah pendapatan dari kegiatan atau event. Lalu juga ada grant funding dan partnership dengan platform. “Jadi media gak cuma jualan iklan dalam bentuk display Ads, tapi mereka juga menjadi event organizer,” ujar Andy.
3. Upaya PWI untuk meningkatkan etika di kalangan jurnalis
Soal etika jurnalistik di tengah kepungan konten di media sosial dan perkembangan media siber dibahas Ketua Umum PWI Hendry CH Bangun. Menurutnya, saat ini banyak media digital mengandalkan kecepatan dan aksesibilitas. Karena itu, penting bagi jurnalis yang melaporkan peristiwa mendapat pelatihan atau pendidikan agar laporannya tetap akurat. “Saya yakin itu penting,” kata Hendry.
Anggota Majeli Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Luviana juga menegaskan pentingnya penegakan etika jurnalis serta keterampilan jurnalis. Tanpa penegakan tersebut, jurnalis hanya mengejar konten yang dimaui pasar, dan hanya menulis yang sedang viral.
Baca Juga: The Future of The Media, Arah Masa Depan Bagi IDN Times