ChatGPT, AI, Masa Depan Jurnalisme dan Media

Refleksi Hari Pers 2023

Jakarta, IDN Times – Pekan lalu kita merayakan Hari Pers Nasional 2023 diperingati setiap tanggal 9 Februari.  Kota Medan menjadi tuan rumah HPN tahun ini. Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menggelar dua acara sarasehan jurnalis perempuan Indonesia di tengah puluhan kegiatan HPN sejak 6-12 Februari 2023. 

Pertama, “Menyusuri Jejak Sumatera Sebagai Pelopor Pers Perempuan di Indonesia”.  Kedua, "Literasi Digital Menghadapi Pemilu 2024”. Sebelum berangkat ke Medan, pada Senin 6 Februari 2023, IDN Times menggelar acara daring, #NgobrolSeru dengan tema “ChatGPT, AI, Masa Depan Jurnalisme dan Media”,  yang saya pandu.

Di ketiga acara, itu, saya membahas soal fenomena ChatGPT, sebuah produk bot komputer yang telah mendisrupsi dunia, termasuk kerja jurnalis dan model bisnis media. Bahkan saat membahas sejarah perkembangan perempuan pun, peran manfaat ataupun mudharatnya teknologi canggih bagi jurnalis, termasuk jurnalis perempuan, penting diketahui. Apalagi bahas literasi digital.

Baca Juga: Apa itu ChatGPT yang Viral di Twitter, Disebut Bisa Kalahkan Google!

ChatGPT, sebuah produk bot Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (AI), pantas mendapat perhatian penting hari-hari ini, sejak produk itu diluncurkan OpenAI akhir November tahun lalu.  Hanya dalam sepekan, lebih dari satu juta pengguna ChatGPT, dan jutaan pengguna lainnya antre menggunakan bot cerdas itu. Menurut data analitik yang dilakukan UBS, ChatGPT memiliki 13 juta unique visitor per hari sejak Januari 2023.  Mencapai 100 juta pengguna dalam satu bulan pertama. Perkembangannya disebut eksponensial, lebih cepat dari tumbuhnya aplikasi TikTok dan bahkan Google dan aplikasi popular lain. Pesatnya minat terhadap ChatGPT membuat platform raksasa Teknologi Informasi seperti Google, Meta dan lainnya bergegas menyusul dengan produk serupa.

Tak pelak lagi, sukses AI menciptakan fenomena fear of missing out (FOMO) di kalangan raksasa TI.  Potensi monetisasi sudah diterapkan ChatGPT yang belum lama ini disuntik modal  US$10 miliar oleh Microsoft.  Awal Februari ChatGPT menawarkan ChatGPTPlus yang mematok biaya langganan senilai US$20 per bulan dengan akses lebih cepat saat mendaftar dan mendapatkan jawaban.  Rata-rata jawaban atas pertanyaan pengguna memerlukan waktu 20-30 detik dalam bentuk teks yang kreatif, sehingga sangat sulit dideteksi sebagai plagiasi.

Saya mengalami sulitnya mendaftar sebagai pengguna ChatGPT. Setelah mencoba beberapa kali, baru di hari ketiga dan tengah malam waktu Indonesia, saya berhasil mendaftar. Salah satunya membandingkan jawaban atas pertanyaan, “Jelaskan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara di Timur Tengah”. Poin-poin penting jawaban yang diberikan ChatGPT praktis mirip dengan jawaban pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri RI yang saya temui dua jam sebelumnya. Mengagumkan. Tapi juga mengerikan.

Pengelola ChatGPT menyebutkan, bahwa jawaban oleh komputer yang didasarkan atas kumpulan set data yang dimiliki ChatGPT banyak mengandung misinformasi.  Harus dicek dan dikurasi. Versi awal bahkan belum bisa menjawab akurat informasi setelah tahun 2021.  Tapi semakin banyak pengguna, semakin banyak set data yang masuk, maka jawaban akan makin dekat ke “akurat”.

Baca Juga: Cara Daftar Langganan ChatGPT Plus, Sudah Bisa di Indonesia!

ChatGPT, AI, Masa Depan Jurnalisme dan MediaPuncak Hari Pers Nasional 2023 di Medan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Begitupun, namanya produk robot, jelas tak menangkap persis nuansa pertanyaan.  Misalnya, saya meminta ChatGPT menuliskan sesuatu tema dengan gaya tulisan yang pas untuk milenial.  Yang terbaca adalah kata kunci “milenial”.  Dia menjelaskan tentang tema tersebut, plus kata milenialnya.  Jadi salah paham.

Kehadiran ChatGPT yang bisa menjawab dengan gaya esai, menimbulkan kekhawatiran di dunia pendidikan, jurnalisme dan media.  Para pengajar di universitas khawatir tak bisa membedakan mana esai atau tugas yang dikerjakan  murni oleh muridnya, atau murid memanfaatkan ChatGPT. Mereka yang bekerja di industri periklanan dan pemasaran disebut mendapatkan manfaat untuk mendapatkan ide proposal maupun menyusunnya menjadi bahan yang lebih menarik.

Namanya algoritma, tetap bisa dikendalikan manusia alias kreatornya.  Di AS, para pemimpin media membahas potensi bahaya ChatGPT lebih besar dari deep-fake, yang sudah cukup mengerikan.  Apalagi saat proses pemilihan umum termasuk saat kampanye, di era tsunami informasi. 

Apa yang terjadi tahun 2016 di Pemilu AS dengan skandal Cambridge Analytical, saat itu lewat Facebook, dilakukan lewat bot yang dibuat kelompok Rusia untuk mempengaruhi hasil Pemilihan Presiden AS,  bisa terjadi lebih canggih, lewat ChatGPT atau produk AI serupa yang tengah disiapkan platform raksasa.

Tidak hanya berpotensi mendisrupsi industri media, ChatGPT bisa  mengubah lanskap industri, termasuk media.

"Dengan teknologi ini, seolah-olah semua orang itu bisa jadi content writer, bisa jadi penulis. Artinya kalau kita masukkan faktor ini ke dalam model bisnis online, programmatic based, SEO based yang ada saat ini, pesaingnya saya gak tahu ya, akan ada berapa banyak itu," tutur Chief Executive Officer Kompas Gramedia Group, Andy Budiman, menjawab pertanyaan saya di #NgobrolSeru.

Menurut Andy, fenomena ini akan menyebabkan supply konten meningkat. Di sisi lain, permintaan untuk periklanan di platform online sedang menurun. Akhirnya, ini akan menyebabkan persaingan menjadi semakin ketat. 

"Jadi dia (ChatGPT) bisa membantu kerja kita dalam sehari-hari, tapi bukan yang terlalu quality-based melainkan quantity-based," ucap Andy. 

Bagi para pekerja di industri media, Andy menyarankan untuk melihat kehadiran ChatGPT sebagai motivasi. Para penulis konten bisa mencari angle yang berbeda untuk meningkatkan kualitas tulisan yang dihasilkan.

"Jadi bagaimana jurnalisme kembali lagi menemukan nilai tambahnya ya di tengah-tengah disrupsi ini. Gak cuma jurnalismenya sendiri, tapi juga model bisnis dan ekosistemnya juga harus mendukung. Itu yang kita coba cari sama-sama," kata Andy. 

Ayu Purwarianti, Ketua Pusat AI ITB sekaligus Co-founder Prosa.ai. mengatakan bahwa para pengguna ChatGPT harus lebih teliti terhadap tulisan yang dihasilkan AI ini. Ia mengingatkan bahwa teknologi di balik ChatGPT menggunakan generative language model.

Pada dasarnya, ChatGPT berfokus pada padanan kata yang paling relevan, tetapi ia tidak menyimpan pengetahuan. Oleh karena itu, para pengguna ChatGPT, khususnya para content writer, disarankan untuk selalu melakukan verifikasi ulang untuk menghindari misinformasi. 

Bahkan ChatGPT pun mengingatkan soal dampaknya bagi kerja jurnalis.  Saya saya ketikkan pertanyaan itu, berikut jawabannya:

"Teknologi AI seperti ChatGPT memiliki beberapa dampak terhadap dunia jurnalisme:

  1. Pelaporan Otomatis: ChatGPT dapat digunakan untuk membuat laporan berita otomatis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber. Ini bisa membantu jurnalis dalam memproses informasi dengan lebih cepat dan efisien, namun juga menimbulkan risiko berkurangnya kualitas dan validitas laporan berita.
  2. Verifikasi Fakta: ChatGPT dapat digunakan untuk memverifikasi fakta dan mempercepat proses fact-checking. Ini bisa membantu jurnalis menghindari kesalahan dan memastikan bahwa laporan berita mereka akurat dan dapat dipercaya.
  3. Personalisasi Berita: ChatGPT dapat digunakan untuk mempersonalisasi berita sesuai dengan preferensi dan minat pembaca. Ini bisa membantu jurnalis memenuhi kebutuhan pembaca, namun juga memicu munculnya "filter bubble" dan risiko terpapar hanya pada berita yang sesuai dengan pandangan kita.

Secara umum, teknologi AI seperti ChatGPT dapat membantu jurnalis dalam memproses informasi dan memastikan bahwa laporan berita mereka akurat dan dapat dipercaya. Namun, juga penting untuk memahami risiko dan memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan bijak dan etis".

Baca Juga: HPN 2023: ChatGPT Canggih, Tapi Jurnalisme Masih Butuh Manusia

Jadi, kehadiran ChatGPT dan produk AI memang membantu mempercepat dan membuat kerja terkait dengan pengetahuan, termasuk jurnalistik, lebih efisien.  Proses riset lebih terstruktur berdasarkan rumusan pertanyaan.  Tapi, robot bisa menjawab hal yang sifatnya repetitif dan mudah diprogram. IDN Times, misalnya, sudah menggunakan robot untuk artikel skor pertandingan sepakbola dan ramalan cuaca dengan data terhubung ke Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Jurnalisme yang berkualitas, dengan keharusan menggali informasi dari sumber primer lewat wawancara narasumber di lapangan, tak bisa digantikan.  Nuansa, empati, penggambaran suasana, detail membutuhkan manusia.  Kehadiran ChatGPT dan produk AI adalah tantangan sekaligus peluang bagi jurnalisme dan media.

https://www.youtube.com/embed/w9J5N3fnXfA

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya