TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jokowi Terbitkan Perpres e-Government, Supaya Praktik Korupsi Minim

Mahfud tak akan larang KPK untuk gelar OTT

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD berbicara soal perpres digitalisasi sistem pemerintahan. (Tangkapan layar YouTube Kemenko Polhukam)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah menerbitkan Perpres nomor 132 tahun 2022 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Nasional. Mahfud berharap dengan adanya Perpres baru itu bisa mencegah orang untuk berbuat korupsi.

Perpres itu dirilis berdekatan dengan momen pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Luhut Pandjaitan ketika itu meminta kepada komisi antirasuah agar tak perlu sering-sering melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sebab, kata Luhut, operasi senyap malah membuat citra Indonesia di mata dunia internasional buruk. 

Maka, kini Mahfud berharap peluang korupsi bisa ditutup dengan penggunaan sistem pemerintahan berbasis elektronik. "Sistem ini diharapkan sebanyak mungkin bisa menutup celah-celah korupsi penggunaan uang negara dan jalannya pemerintahan," ungkap Mahfud seperti dikutip dari akun YouTube Kemenko Polhukam pada Sabtu, (24/12/2022). 

Ia menambahkan lantaran yang dialihkan menjadi digital adalah satu kesatuan sistem, sehingga diprediksi bakal menyulitkan orang yang berniat korupsi penggunaan anggaran negara. "Karena ini kan sudah ada sistemnya. Kalau yang ini dilanggar, maka yang lain akan macet semua dan akan ketahuan macetnya di mana," tutur dia. 

Perpres itu, kata Mahfud, kini sudah masuk ke dalam lembaran negara. Aturan di bawahnya sudah bisa menyesuaikan. Sebenarnya, ini bukan kali pertama Jokowi menerbitkan Perpres soal pemerintahan berbasis elektronik. 

Pada 2018 lalu, Jokowi sudah pernah meneken Perpres nomor 95 tahun 2018 mengenai SPBE. "SPBE ditujukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya," demikian isi pernyatan resmi Kemenpan RB di situsnya. 

Lalu, apakah bisa pemerintahan berbasis elektronik menjamin tidak ada lagi praktik korupsi?

Baca Juga: Luhut Dorong OTT KPK Diminimalkan, Mahfud: Digitalisasi Belum Ampuh

Baca Juga: Setuju dengan Luhut, Mahfud Pilih Digitalisasi Ketimbang OTT KPK

1. TII nilai penerapan digitalisasi di beberapa daerah malah jadi lahan praktik korupsi

Ilustrasi layanan digital (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Sementara, menurut Program Manager di Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, justru operasi senyap yang tetap digelar oleh komisi antirasuah mengirimkan pesan positif bagi dunia internasional bahwa penegakan hukum tetap berjalan di Indonesia. Hal itu bertolak belakang dengan pernyataan Luhut yang menyebut OTT bisa membuat nama Indonesia buruk di mata dunia. 

"Bagi kami, pernyataan bapak-bapak menteri itu offside ya. Justru, publik dan masyarakat internasional akan memberikan pendapat yang baik dan respect bila Indonesia sungguh-sungguh melakukan penegakan hukum," ungkap Alvin ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Rabu, (21/12/2022). 

Sehingga, menurut dia, pemberantasan korupsi yang tegas justru membuat citra Indonesia semakin harum di dunia internasional dan dunia usaha. Ia pun mempertanyakan untuk apa Kemenpan RB menyiapkan draf lagi terkait Perpres penerapan sistem pemerintahan elektronik. Perpres tersebut, kata Alvin, sudah dimasukan ke dalam aksi rencana pencegahan korupsi. 

"Artinya, ada disconnected antara pejabat publik dalam memahami dan menjalankan SPBE," kata dia. 

Ia menjelaskan TII turut melakukan kajian terkait penerapan Stategi Nasional Pencegahan Korupsi. Menurut TII, ada ketimpangan dalam penerapan sistem digital di seluruh wilayah di Indonesia. 

"Temuan kami, infrastruktur dan modalitas SDM gak berjalan. Selain itu, digitalisasi itu belum merata sehingga ada ketimpangan. Mungkin, hanya kota-kota dengan APBD besar yang bisa menerapkan sistem pemerintahan digitalisasi," tutur dia. 

Yang lebih ironis, kata Alvin lagi, alih-alih menutup celah praktik korupsi, di beberapa kota penerapan digitalisasi justru menimbulkan celah lain untuk melakukan rasuah. "Untuk di daerah yang kekurangan SDM dan infrastruktur, akhirnya melakukan dalam konteks pengadaan ya korupsi juga," ujarnya lagi. 

2. OTT dan penerapan digitalisasi justru saling melengkapi

Ilustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Lebih lanjut, menurut Alvin, penerapan digitalisasi dan OTT justru bisa saling melengkapi. Dengan begitu, pemberantasan korupsi bisa secara komprehensif dilakukan. 

"Jadi, tak bisa dinegasikan satu dengan yang lain, karena selama dua dekade terakhir tak ada perubahan yang signifikan," kata dia. 

Menurut Alvin, penegakan hukum yang tegas justru sangat dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi. Dia juga menilai upaya pencegahan korupsi yang selama ini dilakukan lebih fokus ke arah administratif dan tidak fundamental. 

"Padahal, korupsi itu kan tindak kejahatan yang terorganisir. Tentu butuh upaya yang lebih luas dari sekadar administratif," ujarnya. 

Alvin juga menilai pemberantasan korupsi yang tidak ada perubahan signifikan dalam dua dekade terakhir, lantaran niat pemerintah selalu setengah hati. Menurut dia kondisi korupsi saat ini semakin merajalela karena aktor-aktor untuk memberantas rasuah malah dibuat lebih lemah. 

Baca Juga: Mahfud: Pungli di Layanan Publik Mulai Lenyap karena Digitalisasi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya