Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

COP30: Seremonial Iklim, Ancaman bagi Pesisir dan Laut Indonesia

PT PLN (Persero) siap menegaskan perannya dalam memimpin akselerasi transisi energi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan melalui berbagai sesi diskusi, pertemuan, hingga menandatangani kerja sama bilateral yang akan dilakukan dalam gelaran United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) ke-28 yang akan berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November hingga 12 Desember 2023. (Dok. PLN)
PT PLN (Persero) siap menegaskan perannya dalam memimpin akselerasi transisi energi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan melalui berbagai sesi diskusi, pertemuan, hingga menandatangani kerja sama bilateral yang akan dilakukan dalam gelaran United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) ke-28 yang akan berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November hingga 12 Desember 2023. (Dok. PLN)
Intinya sih...
  • Perkembangan terbaru dari COP30 yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati
  • Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia menurut data Climate Watch
  • Kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan nikel dan alih fungsi mangrove meningkat, mengancam pesisir, laut, dan pulau kecil
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebutkan, hingga saat ini orientasi pemerintah Indonesia pada realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju. Ini jadi perkembangan terbaru yang disampaikan Susan dari Conference Of the Parties ke-30 (COP-30) sebuah konferensi dalam Konvensi Kerangka Kerja United Nation (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang membahas tentang Perubahan Iklim, atau disebut sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan dilakukan di Belem, Brasil

Menurut Susan, ini sejalan dengan Proposal Baku to Belem Roadmap to USD 1,3 triliun yang disusun Brasil sebagai tuan rumah COP30 bersama Azerbaijan sebagai tuan rumah COP29. Proposal tersebut memuat mekanisme untuk memobilisasi pembiayaan iklim senilai USD 1,3 triliun per tahun bagi negara berkembang pada 2035. 

1. Tidak menyentuh inti kasus

Di COP30, Kemhut Beberkan RI Sudah Buat Regulasi untuk Pasar Karbon
Di COP30, Kemhut Beberkan RI Sudah Buat Regulasi untuk Pasar Karbon (dok. Kementerian Kehutanan)

Menurut Susan, titik tekan negosiator berbagai negara hanya berkutat pada pendanaan iklim dan carbon trading di hutan dan laut. Susan menyebut negosiator tidak menyentuh pada inti permasalahan utama yaitu menekan aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif, yang selama ini menjadi produsen emisi dan kontributor utama perubahan iklim. 

“Dengan tidak adanya pembahasan dan tindakan konkret yang menyentuh inti permasalahan utama berkonsekuensi langsung terhadap berulangnya seremonial iklim ini, korporasi-korporasi multinasional tidak mengurangi produksi emisi mereka, semakin masifnya eksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh industri ekstraktif dan eksploitatif, hingga penghancuran wilayah hutan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” kata Susan mengutip keterangan tertulis.

2. Indonesia jadi penghasil gas rumah kaca

Ilustrasi Kota Jakarta. (IDN Times/Amir Faisol
Ilustrasi Kota Jakarta. (IDN Times/Amir Faisol

KIARA mencatat, berdasarkan data Climate Watch sejak 1990 hingga 2021, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang konsisten sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.  Sementara pada 2022 dan 2023, Indonesia menempati urutan ketujuh sebagai negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. 

Selain itu, catatan 2024 menunjukkan Indonesia berada di peringkat keenam sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Adapun emisi gas rumah kaca didominasi sektor energi, pertanian, proses industri, limbah, dan pengurangan lahan, perubahan lahan, dan kehutanan.

“Pemerintah selalu mendorong pembiayaan iklim dalam KTT COP di beberapa tahun belakangan. Pembiayaan iklim tersebut akan didorong melalui mekanisme perdagangan karbon dengan dalih bahwa akan disalurkan ke masyarakat lokal, dan memberikan manfaat kepada masyarakat di Indonesia,” kata Susan.

“Akan tetapi realitanya jelas berbeda. Saat ini Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia,” sambung dia.

3. Ancaman terhadap pesisir, laut, dan pulau kecil

ilustrasi laut dan ombak (IDN Times/Sunariyah)
ilustrasi laut dan ombak (IDN Times/Sunariyah)

Kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan nikel, pasir laut, dan alih fungsi mangrove terus meningkat. Dampaknya, ruang kelola masyarakat hilang dan ekosistem pesisir rusak parah.

“Sangat jauh realita yang terjadi  di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dengan apa yang disampaikan oleh delegasi Pemerintah Indonesia,” kata Susan.

“Hal tersebut diperparah dengan semakin masifnya industri ekstraktif seperti pertambangan nikel beserta infrastruktur pendukungnya di pesisir dan pulau-pulau kecil, pertambangan pasir laut dan pasir besi di pesisir dan laut, alih fungsi mangrove untuk perluasan budidaya/tambak perikanan, hingga perampasan areal konservasi kelola masyarakat untuk konservasi. Keseluruhannya berkonsekuensi terhadap dirampasnya ruang kelola masyarakat yang kami sebut sebagai Ocean Grabbing,” sambung dia.

4. Pendanaan ilkim belum protektif untuk ekosistem

Penanaman bibit mangrove di Dermaga A Untia, Makassar, Minggu (1/6/2025). (Dok. Humas Pemkot Makassar)
Penanaman bibit mangrove di Dermaga A Untia, Makassar, Minggu (1/6/2025). (Dok. Humas Pemkot Makassar)

Proyek mitigasi seperti Giant Sea Wall dan perdagangan karbon dianggap tidak menyelesaikan masalah nyata. Perlindungan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun masih minim, bahkan data validnya tidak tersedia.

“Selain itu, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah hanya memiliki data proyeksi tentang berapa luasan ekosistem terumbu karang dan lamun di Indonesia, tidak memiliki data pasti tentang luasan existing ekosistem esensial yaitu terumbu karang, lamun, dan mangrove di pesisir, laut, dan pulau kecil Indonesia,” kata Susan.

“Sehingga dengan tidak adanya data valid tersebut, maka perlindungan atas ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove yang digunakan sebagai bahan jualan karbon pemerintah di level internasional juga tidak jelas dan hanya sebagai solusi palsu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim!” sambung dia.

Share
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us

Latest in News

See More

Keluarga Cendana Potong Tumpeng usai Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

16 Nov 2025, 15:46 WIBNews