DPR: Secara De Facto Indonesia Sudah Tak Menerapkan Hukuman Mati

- Hukuman mati di Indonesia tidak diberlakukan sejak disahkannya KUHP baru, dengan memberikan waktu 10 tahun bagi yang divonis untuk membuktikan perbaikan diri.
- Pasal hukuman mati di Indonesia sudah dianggap ahistoris karena secara de facto sudah tidak diberlakukan, dengan adanya protokol pembuktian selama 10 tahun bagi yang divonis.
- Keputusan pemerintah memulangkan Mary Jane Veloso ke Filipina mendapat dukungan dari Amnesty International Indonesia sebagai langkah awal dalam memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan, Indonesia secara de facto sudah tidak menerapkan hukuman pidana mati setelah disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Menurut dia, dalam KUHP baru, hukuman pidana mati menjadi alternatif terakhir.
Hal tersebut disampaikan Habiburokhman menjawab apakah pemulangan Mary Jane ke Filipina menjadi momentum untuk menghapus hukuman mati di Indonesia.
"Jadi hukuman mati secara de facto sudah tidak ada di Indonesia, sudah tidak diberlakukan semangatnya sejak disahkannya KUHP baru di mana hukuman mati menjadi the last alternative," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
1. Sudah diatur dalam KUHP baru

Habiburrokhman mengatakan, dalam KUHP yang baru, seseorang yang sudah divonis hukuman mati, diberikan waktu 10 tahun untuk membuktikan bahwa dirinya sudah memperbaiki diri.
Oleh sebab itu, sepanjang yang bersangkutan sudah tidak melakukan pelanggaran lagi, maka dia tidak akan dikenakan hukuman mati.
"Orang dikasih waktu 10 tahun untuk membuktikan tidak berkelakuan buruk, kan pemenuhannya nggak sulit," kata dia.
"Jadi sepanjang dia nggak bunuh orang lagi, nggak melakukan pelanggaran lagi, tentu dia nggak akan dikenakan hukuman mati," imbuh dia.
2. Pasal hukuman mati dinilai sudah ahistoris

Waketum Partai Gerindra itu menilai, pasal hukuman mati di Indonesia saat ini sudah ahistoris, karena secara de facto Indonesia sudah tidak menerapkannya.
Menurut dia, Indonesia sudah menyusun protokol yang panjang bagi orang-orang yang sudah dikenakan pasal hukuman mati, dengan pembuktian selama 10 tahun tersebut.
"Jadi kalau Anda bicara soal pasal hukuman mati itu ahistoris, karena secara de facto itu nggak ada hukuman mati di kita, kita sudah bikin protokol yang panjang untuk orang-orang dijatuhi hukuman mati karena ada waktu 10 tahun itu," kata dia.
3. Repatriasi Mary Jane dinilai jadi momentum hapus hukuman mati di RI

Keputusan pemerintah Indonesia untuk memulangkan Mary Jane Veloso, seorang narapidana perempuan asal Filipina yang sebelumnya dijatuhi hukuman mati atas kasus narkoba, mendapat sorotan luas.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyambut baik keputusan tersebut. Menurutnya, repatriasi Mary Jane dapat menjadi langkah awal dalam memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
“Keputusan ini harus menjadi batu loncatan untuk tindakan lebih lanjut dalam memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia bagi semua warga di Indonesia,” ujar Usman.
Usman menekan, pemindahan Mary Jane ke Filipina tidak akan dieksekusi mati. Sebab, di Filipina hukuman mati sudah dihapus.
“Pemindahan Mary Jane Veloso ke Filipina, negara yang telah lama menghapus hukuman mati, memastikan bahwa dia tidak akan menghadapi eksekusi,” ucap dia.
Menurut Usman, langkah ini juga bisa menjadi titik balik bagi kebijakan Indonesia terhadap hukuman mati secara umum.
"Repatriasi ini juga harus menjadi titik balik, tidak hanya bagi Veloso tetapi juga bagi sikap Indonesia secara keseluruhan terhadap hukuman mati," kata dia.