Ini Alasan Mahfud MD Buka Kasus Proyek Satelit Kemhan Januari 2022

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan akibat proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Hal ini disampaikan Mahfud melalui akun Instagram resminya, @mohmahfudmd, Minggu (16/1/2022).
"Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum," tulis Mahfud.
Mahfud menjelaskan hal ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan sejumlah media mengenai kasus satelit Slot Orbit 123 yang merugikan negara ratusan miliar rupiah.
1. Presiden Jokowi minta kasus ini segera dibawa ke peradilan pidana
Mahfud mengungkapkan, Presiden Joko "Jokowi" Widodo juga meminta agar kasus ini segera dibawa ke ranah peradilan pidana.
"Menkominfo setuju, Menkeu bersemangat. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas mengatakan bahwa ini harus dipidanakan," ujarnya.
Bahkan, kata Mahfud, Menhan dan Panglima TNI tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan kepada korupsi dari institusi apa pun, semua harus tunduk pada hukum.
"Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata juga menyatakan kesiapannya dengan mantap untuk mengusut kasus ini," jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
2. Alasan Mahfud baru mengungkap kasus ini
Mahfud menjelaskan, kasus ini telah ada sejak 2018 namun baru dibuka sekarang, pada awal 2022, karena pada 2018 dirinya belum menjadi Menko.
"Jadi saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya. Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pendemi Covid-19, ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima oleh Kemhan," beber Mahfud.
3. Mahfud sebut ada yang menghambut kasus ini dibuka
Guna mengetahui lebih jauh kasus ini, Mahfud pun mengundang pihak-pihak terkait untuk rapat, bahkan dilakukan sampai berkali-kali, dan Mahfud mengungkapkan ada yang aneh.
"Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya. Akhirnya, saya putuskan untuk minta BPKP melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT)," ujar Mahfud.
"Hasilnya ternyata ya seperti itu, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan."
4. Potensi kerugian negara terjadi karena kontrak penyewaan satelit diteken padahal anggarannya belum tersedia
Dalam keterangan persnya yang disiarkan di kanal YouTube Kemenko Polhukam hari ini, Mahfud mengungkapkan, satelit komunikasi itu diletakan 36 kilometer di langit Sulawesi dan merupakan bagian dari upaya penyelamatan Filing Satelit Indonesia (FSI) pada slot satelit Orbit 123 Bujur Timur (BT), atau lebih dikenal dengan sebutan Satelit Kemhan.
Slot itu merupakan satu dari tujuh wilayah angkasa yang diberikan International Telecommunications Union (ITU) PBB kepada pemerintah. Indonesia memanfaatkan slot ini sejak 2000 lalu sebagai orbit satelit Garuda-1. Pengelolaannya dilakukan pihak swasta, yakni PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN).
Sesuai ketentuan ITU, maka pemerintah diberikan waktu tiga tahun untuk bisa kembali mengisi slot di orbit tersebut. Bila tidak, maka slot itu bisa digunakan oleh negara lain
Permasalahan bermula ketika Kemenhan yang saat itu dipimpin Ryamizard Ryacudu. Kemhan kemudian mengajukan pengadaan satelit yang dirancang sebagai proyek negara dengan nama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan lalu menyewa Satelit Artemis, satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited.
Menurut Mahfud, kontrak penyewaan Satelit Artemis diteken lebih dulu padahal anggarannya ketika itu belum tersedia.
"Hal ini menyebabkan kerugian negara atau berpotensi merugikan negara karena oleh pengadilan negara diwajibkan membayar uang yang sangat besar, padahal kewajiban itu muncul dari sesuatu yang tidak sesuai prosedur dan salah menurut ketentuan hukum," ujar Mahfud.
Nilai kontrak yang diteken dengan Avanti mencapai US$30 juta atau setara Rp429,4 miliar. Namun, Kemenhan baru membayarkan US$13 juta atau setara Rp186 miliar. Maka, Avanti melayangkan gugatan arbitrase di pengadilan di London, Inggris.
Hasilnya, pada Juli 2019, pengadilan menyatakan pemerintah kalah dan harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit senilai Rp515 miliar. Celakanya, Kemhan tidak hanya teken kontrak dengan Avanti, tetapi juga dengan beberapa perusahaan internasional lainnya.
"Ada Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat. Itu terjadi pada periode 2015-2016. Sehingga, negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.