Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kala Mendiktisaintek Bersuara di Sidang Gugatan UU Sisdiknas dan Dikti

berita_1753264158_12c76b3f674432cb5107.jpg
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto saat menghadiri sidang di Gedung MK (dok. Humas MK)
Intinya sih...
  • Mendiktisaintek membantah pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah.
  • Perbedaan akreditasi perguruan tinggi dan program studi bantu masyarakat mendapatkan informasi relevan terhadap mutu layanan pendidikan.
  • Perkara diajukan BKS Dekan FH-PTN se-Indonesia bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa menyoal ketentuan akreditasi program dan satuan pendidikan.

Jakarta, IDN Times - Belasan orang berseragam rapi dengan kemeja putih lengan panjang memenuhi kursi di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025). Di bagian paling depan meja yang mereka duduki, tampak papan nama yang terbuat dari ukiran kayu bertuliskan "Presiden".

Mereka adalah Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto bersama rombongan dari Kemendiktisaintek yang mewakili presiden untuk menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) serta Pasal 55 ayat 5, ayat 6, ayat 7, dan ayat 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).

Ketua MK, Suhartoyo secara khusus meminta kepada Brian untuk naik ke atas podium menyampaikan pandangan terkait konstitusinalitas UU Sisdiknas dan UU Dikti yang dipertanyakan oleh Pemohon.

"Baik, persidangan pada siang ini adalah untuk mendengarkan keterangan DPR dan Presiden tapi karena DPR belum hadir, acaranya keterangan dari pemerintah untuk presiden nanti akan disampaikan Prof Brian Yuliarto, silakan di podium," ujar Suhartoyo.

1. Mendiktisaintek bantah pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah

berita_1753264162_4f1932fc0e0bae11a316.jpg
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto saat menghadiri sidang di Gedung MK (dok. Humas MK)

Brian pun naik ke atas panggung untuk menyuarakan pandangannya sebagai perwakilan dari presiden. Ia pun membacakan materi tulisan yang sudah dipersiapkan untuk membantah segala dalil Pemohon. Brian dengan tegas membantah pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah sehingga tidak sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

“Tidak ada pelepasan tanggung jawab negara dalam penjaminan mutu pendidikan meskipun akreditasi eksternal dilakukan oleh LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) yang merupakan bentuk akuntabilitas publik yang terpercaya,” ujar Brian yang hadir dalam sidang Perkara Nomor 60/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Brian mengatakan, konstitusi memberikan ruang kebijakan atau open legal policy bagi pembentuk undang-undang untuk menetapkan satu sistem pendidikan nasional. Meskipun sistem pendidikan nasional ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ilmu pengetahuan dan pengembangan keilmuan bukan monopoli negara atau Pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Pemerintah.

Pengembangan ilmu pengetahuan menjadi ranah institusi pendidikan termasuk perguruan tinggi, dunia profesi dan dunia kerja yang selalu berkaitan, berkolaborasi dan bersifat dinamis. Penolakan terhadap peran masyarakat dalam bidang pendidikan akan mengarah pada etatisme sebagaimana ditegaskan oleh MK dalam Putusan Nomor 11-14-21-126/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 136/PUU-VII/2009.

Brian menjelaskan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sejalan dengan tujuan dari akreditasi program studi dalam Pasal 60 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 55 ayat 5 UU Dikti, yaitu untuk “akuntabilitas publik”. Keberadaan LAM menjadi kunci untuk menghindari konflik kepentingan antara penyelenggaraan dan penjaminan mutu. LAM sejalan dengan mutu dalam tata kelola perguruan tinggi dalam masyarakat global.

Selain itu, melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 memuat pengaturan terperinci untuk memastikan bahwa LAM yang dibentuk benar-benar memiliki kapasitas dan kesesuaian substansi dalam melaksanakan tugas akreditasi program studi. Bahkan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi berwenang untuk menyetujui atau menolak usulan pendirian LAM.

Pemerintah yang berwenang untuk menyetujui pendirian LAM juga terlebih dahulu telah memeriksa dan menyetujui satuan biaya pelaksanaan akreditasi program studi yang hendak dikenakan oleh LAM terkait. Pemerintah tetap mengawasi LAM melalui dua bentuk pengawasan yaitu pengawasan oleh menteri terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi dari LAM sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 98 ayat 1 Permendikbudristek 53/2023 dan pengawasan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terhadap pelaksanaan akreditasi oleh LAM dalam bentuk evaluasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 Peraturan Mendikbudristek 53/2023.

Dengan demikian, adanya kerangka pengaturan, standar pendidikan nasional, izin pendirian LAM, instrumen evaluasi, pengawasan dan sanksi hal demikian memastikan akreditasi dilakukan secara independen dan profesional, bebas kepentingan, objektif berbasis instrumen dan tentu selaras dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti).

2. Perbedaan akreditasi perguruan tinggi dan program studi bantu masyarakat mendapatkan informasi relevan terhadap mutu layanan pendidikan

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara itu, akreditasi perguruan tinggi (institutional level) dan akreditasi program studi (program or couse level) akan fokus pada standar-standar yang tidak selalu sama. Perbedaan akreditasi untuk perguruan tinggi dan program studi juga membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih relevan terhadap mutu layanan pendidikan yang akan diperoleh dari masing-masing program studi.

Ia menyebut, pemisahan antara akreditasi perguruan tinggi dan program studi merupakan langkah strategis untuk menjaga relevansi dan objektivitas penilaian mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Setiap program studi dinilai berdasarkan karakteristik dan kebutuhan khas masing-masing, sementara penilaian institusi perguruan tinggi difokuskan pada kapasitas dan efektivitas tata kelola secara menyeluruh. Meskipun dibedakan akreditasi Perguruan Tinggi dan program studi, hal demikian tetap saling terintegrasi. Tata kelola Perguruan Tinggi yang baik akan berdampak pada tata kelola program studi yang baik pula. Demikian pula akreditasi dengan status terbaik pada Perguruan Tinggi akan berkorelasi pula dengan capaian akreditasi program studi.

Meskipun akreditasi program studi dan akreditasi perguruan tinggi berbeda, tidak berarti keduanya tidak berkaitan. Desain regulasi dalam UU Dikti mengatur integrasi dan keterkaitan kedua jenis akreditasi tersebut. Pasal 55 ayat 3 UU Dikti mengatur tugas BAN-PT untuk mengembangkan sistem akreditasi secara umum.

Hal ini menunjukkan BAN-PT juga memiliki peranan penting dalam pembentukan kebijakan dan instrumen akreditasi baik pada perguruan tinggi dan juga program studi. Dalam hal ini pula, BAN-PT, berwenang melaksanakan akreditasi perguruan tinggi berdasarkan Pasal 55 ayat (4) UU Dikti, dan juga memiliki peran penting dalam akreditasi program studi.

Lebih lanjut, Pasal 55 ayat (6) UU Dikti menegaskan peran dari BAN-PT untuk memberikan rekomendasi kepada menteri dalam pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri. Ketentuan ini tidak lain ditujukan untuk memastikan keselarasan dari akreditasi program studi dengan kebijakan akreditasi di tingkat nasional.

3. Perkara diajukan BKS Dekan FH-PTN se-Indonesia bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebagai informasi, perkara ini diajukan Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia) bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa. Para Pemohon menyoal ketentuan akreditasi program dan satuan pendidikan oleh dua entitas yakni pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang.

Dengan adanya dua lembaga yang memiliki tugas serupa namun berbeda dalam cakupan objeknya, menurut para Pemohon, terdapat risiko perbedaan standar, metode, dan hasil penilaian yang dapat membingungkan perguruan tinggi dan program studi yang diakreditasi. Hal ini dapat melemahkan efektivitas sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara keseluruhan.

Pemohon menguji Pasal 60 ayat 2 UU Sisdiknas. Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Selain itu, para Pemohon juga menggunakan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 sebagai batu uji atau dasar pengujian permohonan ini.

Para Pemohon menjelaskan, keberadaan lembaga akreditasi mandiri menunjukkan adanya inefisiensi, inefektivitas, dan ketidakharmonisan lembaga yang melakukan akreditasi. Sebab terdapat dua lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang serupa, hanya dibedakan objek akreditasi, yaitu BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) untuk akreditasi perguruan tinggi, sedangkan lembaga akreditasi mandiri untuk program studi.

Selain menghilangnya kewenangan pemerintah untuk menilai langsung kualitas pendidikan tinggi, keberadaan lembaga akreditasi mandiri juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian dalam sistem akreditasi pendidikan tinggi di Indonesia. Keberadaan lembaga akreditasi mandiri juga dapat menimbulkan permasalahan dari segi independensi dan akuntabilitas.

Penilaian akreditasi yang dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri yang dikelola oleh masyarakat berpotensi menimbulkan praktik transaksional atau jual beli akreditasi. Hal ini dapat mengakibatkan proses penilaian menjadi tidak objektif, atau setidaknya menggunakan indikator yang tidak selaras dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), meskipun secara normatif terdapat kewajiban bagi lembaga tersebut untuk berpedoman pada standar tersebut.

Dengan lepasnya tanggung jawab Pemerintah/Menteri melakukan penjaminan mutu Pendidikan Tinggi maka salah satu tanggung jawab Menteri yakni tanggung jawab melakukan evaluasi penyelenggaraan pendidikan tinggi menjadi telah tiada. 88. Bahwa dengan demikian, ketiadaan tanggung jawab pemerintah melalui Menteri melakukan evaluasi penyelenggaraan pendidikan tinggi melalui akreditasi program studi bertentangan dengan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945.

Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 60 ayat 2 UU Sisdiknas inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah.” Selain itu, para Pemohon ingin Pasal 55 ayat 5 UU Dikti inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi Program Studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.”

Para Pemohon juga menginginkan agar Pasal 55 ayat 6 dan ayat 7 UU Dikti dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kemudian, para Pemohon memohon agar frasa “lembaga akreditasi mandiri” dalam Pasal 55 ayat 8 UU Dikti inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diatur dalam Peraturan Menteri.”

Para Pemohon terdiri dari BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia yang diwakili Ketua Dahliana Hasan, Sekretaris Ferry Fathurokhman, dan Bendahara Erma Rusdiana bersama para dosen dari berbagai universitas yang terdiri dari Aan Eko Widiarto, Ali Masyhar Mursyid, Retno Saraswati, Ferdi, Suherman, Imam Budi Santoso, Simplexius Asa, dan Parulian Paidi Aritonang serta para mahasiswa yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Iren Sudarya, dan Ahmad Reihan Thoriq.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yosafat Diva Bayu Wisesa
EditorYosafat Diva Bayu Wisesa
Follow Us