Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Sebagai informasi, perkara ini diajukan Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia) bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa. Para Pemohon menyoal ketentuan akreditasi program dan satuan pendidikan oleh dua entitas yakni pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang.
Dengan adanya dua lembaga yang memiliki tugas serupa namun berbeda dalam cakupan objeknya, menurut para Pemohon, terdapat risiko perbedaan standar, metode, dan hasil penilaian yang dapat membingungkan perguruan tinggi dan program studi yang diakreditasi. Hal ini dapat melemahkan efektivitas sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Pemohon menguji Pasal 60 ayat 2 UU Sisdiknas. Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Selain itu, para Pemohon juga menggunakan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 sebagai batu uji atau dasar pengujian permohonan ini.
Para Pemohon menjelaskan, keberadaan lembaga akreditasi mandiri menunjukkan adanya inefisiensi, inefektivitas, dan ketidakharmonisan lembaga yang melakukan akreditasi. Sebab terdapat dua lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang serupa, hanya dibedakan objek akreditasi, yaitu BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) untuk akreditasi perguruan tinggi, sedangkan lembaga akreditasi mandiri untuk program studi.
Selain menghilangnya kewenangan pemerintah untuk menilai langsung kualitas pendidikan tinggi, keberadaan lembaga akreditasi mandiri juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian dalam sistem akreditasi pendidikan tinggi di Indonesia. Keberadaan lembaga akreditasi mandiri juga dapat menimbulkan permasalahan dari segi independensi dan akuntabilitas.
Penilaian akreditasi yang dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri yang dikelola oleh masyarakat berpotensi menimbulkan praktik transaksional atau jual beli akreditasi. Hal ini dapat mengakibatkan proses penilaian menjadi tidak objektif, atau setidaknya menggunakan indikator yang tidak selaras dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), meskipun secara normatif terdapat kewajiban bagi lembaga tersebut untuk berpedoman pada standar tersebut.
Dengan lepasnya tanggung jawab Pemerintah/Menteri melakukan penjaminan mutu Pendidikan Tinggi maka salah satu tanggung jawab Menteri yakni tanggung jawab melakukan evaluasi penyelenggaraan pendidikan tinggi menjadi telah tiada. 88. Bahwa dengan demikian, ketiadaan tanggung jawab pemerintah melalui Menteri melakukan evaluasi penyelenggaraan pendidikan tinggi melalui akreditasi program studi bertentangan dengan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 60 ayat 2 UU Sisdiknas inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah.” Selain itu, para Pemohon ingin Pasal 55 ayat 5 UU Dikti inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi Program Studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.”
Para Pemohon juga menginginkan agar Pasal 55 ayat 6 dan ayat 7 UU Dikti dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kemudian, para Pemohon memohon agar frasa “lembaga akreditasi mandiri” dalam Pasal 55 ayat 8 UU Dikti inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diatur dalam Peraturan Menteri.”
Para Pemohon terdiri dari BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia yang diwakili Ketua Dahliana Hasan, Sekretaris Ferry Fathurokhman, dan Bendahara Erma Rusdiana bersama para dosen dari berbagai universitas yang terdiri dari Aan Eko Widiarto, Ali Masyhar Mursyid, Retno Saraswati, Ferdi, Suherman, Imam Budi Santoso, Simplexius Asa, dan Parulian Paidi Aritonang serta para mahasiswa yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Iren Sudarya, dan Ahmad Reihan Thoriq.