Laporan Ungkap Transpuan-Waria Paling Berpotensi Mengalami Kekerasan

Kisah transpuan alami pengusiran

Jakarta, IDN Times - Laporan situasi Minoritas Gender & Seksual di Indonesia 2022 oleh Crisis Response Mechanism (CRM) Consortium mencatat banyak transpuan, waria, transgerder dan GBQ berpotensi mengalami kekerasan tinggi. Mereka berpotensi mengalami kekerasan fisik, psikis, hingga materi.

Dari laporan berjudul “Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? yang diterima IDN Times, mencatat ada 412 orang yang tersebar di 24 provinsi terjaring sebagai responden. Namun data finalnya ada 401 responden.

Tiap responden adalah punya identitas orientasi gender dan seksual minoritas. Responden juga terdiri dari individu yang sehari-hari bekerja menjadi pembela Hak Asasi Manusia (HAM), yang merupakan bagian dari minoritas gender dan seksualitas. Penelitian kuantitatif ini memiliki margin of error 95 persen.

Baca Juga: Ada Wacana Pertemuan LGBT, KSP: Perhatikan Nilai Hidup di Masyarakat

1. Identitas paling berisiko adalah transpuan, waria, transgender perempuan

Laporan Ungkap Transpuan-Waria Paling Berpotensi Mengalami KekerasanIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Dalam laporan ini didapatkan angka 24 persen responden masuk kriteria Derajat Kekerasan Tinggi. Identitas paling berisiko tinggi menjadi korban adalah transpuan, waria, transgender perempuan (43,4 persen), lalu diikuti gay, biseksual dan queer laki-lak (GBQ) (25,3 persen) pada posisi kedua. 

“Dalam konteks sebaran wilayah, populasi dengan ancaman kekerasan tinggi ini terkonsentrasi di tiga wilayah, yakni Jawa Barat (23,3 persen) dan Jawa Timur (21,35) dan Aceh (18,2 persen). Ini mengindikasikan bahwa ketiga provinsi sebelumnya, terutama Aceh dengan rataan jumlah responden jauh lebih sedikit dari dua yang lain, merupakan zona merah kekerasan terhadap komunitas LGBTIQ," tulis laporan itu, dikutip Senin (14/8/2023).

2. Sebanyak 76,8 persen responden bisa alami penyerangan orang tak dikenal

Laporan Ungkap Transpuan-Waria Paling Berpotensi Mengalami Kekerasanilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Dampak fisik yang dimaksud adalah 40, 4 persen mengalami luka berat, penyerangan dari orang tak dikenal tetapi terjadi dengan terorganisir 76,8 persen.

Dampak psikis, responden berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas (78,8 persen), pengungkapan identitas LGBTIQ kepada publik luas dengan maksud menjatuhkan kredibilitas (83,8 persen), hingga perkosaan (40,4 persen). 

Dampak materi, risiko yang dialami berupa perusakan tempat tinggal (35,4 persen), pemecatan dari pekerjaan (43,4 persen), dan perusakan atau penghilangan aset bergerak dan tidak bergerak (47,5 persen).

Baca Juga: Tuai Kecaman, Pertemuan LGBT se-ASEAN Batal Digelar di Jakarta 

3. Kisah transpuan alami pengusiran hingga tak bisa pulang kampung

Laporan Ungkap Transpuan-Waria Paling Berpotensi Mengalami KekerasanANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Salah satu responden berinisial M teridentifikasi masuk kategori Derajat Kekerasan Tinggi. Dalam laporan ini M bercerita pernah diancam akan dibunuh jika masih menjadi perempuan, dari orang-orang yang benci ekspresi gender dan seksualnya. Ancaman itu datang dari orang tak dikenal dari media sosial.

Dia juga pernah mengalami penggerebekan pada 2019 dan terusir dari Kabupaten Aceh Utara. Kala itu, salon tempat kerjanya dirazia sekelompok orang. Dia bahkan mengalami persekusi seperti ditelanjangi hingga digunduli. M sering dikucilkan lantaran dianggap kemayu.

Saat kejadian penggerebekan itu, M dan korban 'razia identitas' lainnya dikurung di sel Polsek selama tiga hari tiga malam. Mereka tak henti-henti mengalami penyiksaan fisik dan psikis.

Orang-orang kampung yang tahu kejadian ini juga menilai M membuat malu. Ayah M bahkan sampai menghadapi warga yang hendak mempersekusi ke rumah mereka. Dia akhirnya berhasil kabur dibantu ibunya hingga bisa menuju ibu kota tanpa membawa barang berharga apapun.

M akhirnya menemukan dukungan untuk menjadi dirinya sendiri. Namun, karena kejadian itu, dia tak bisa lagi pulang kampung dan hanya berkomunikasi dengan sang ibu melalui telepon genggam.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya