[WANSUS] Jangan Anggap Remeh Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

Pengguna transportasi umum masih dihantui pelecehan seksual

Jakarta, IDN Times – Kasus kekerasan seksual di ruang publik masih terus terjadi, bahkan saat dunia sedang jeda sementara karena pandemik COVID-19. Beragam bentuk aduan juga dapat ditemui akhir-akhir ini, mulai dari rekaman video, aduan langsung ke pihak berwajib atau lembaga perlindungan, bahkan lewat ketikan jari di media sosial.

Maraknya pengakuan para korban pelecehan seksual di media sosial menjadi tanda bahwa suara, rasa sakit, ketakutan dan rintihan permintaan bantuan lebih didengar lewat dunia maya.

Isu terbaru yang sempat menggemparkan publik soal adanya laporan dugaan pelecehan seksual yang dialami penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) ke akun media sosial resmi @commuterline namun mendapat tanggapan di luar dugaan dari admin akun Twitter resmi tersebut.

"BTW kejadian nya di alami sama temen Mba kan.?? bukan sama mba nya ?? kenapa gak langsung Lapor Polisi aja Mbanya.? dan kalo lapor polisi si mba nya pun harus ada bukti..," demikian jawaban admin @CommuterLine yang kini telah dihapus.

Meski pihak KAI Commuter Line telah mengklarifikasi dan mengajukan permohonan maaf kepada publik dan korban pelecehan, ibarat luka yang dalam sulit untuk menyembuhkan bekasnya.

Pelecehan seksual di transportasi umum bukan sekali dua kali terjadi, tetapi apakah respons terkait isu pelecehan dengan cara seperti di atas menandakan bahwa korban pelecehan masih mendapat tantangan untuk menyuarakan pengalaman buruk yang dialaminya?

IDN Times berkesempatan mewawancarai perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS), Neqy dan VP Corporate Secretary KAI Commuter, Anne Purba untuk membahas hal ini. Berikut petikan wawancaranya.

Baca Juga: Usai Viral Respons Pelecehan di KRL, Admin @CommuterLine Diberhentikan

1. Kami memberi ruang untuk pihak KCI mengklarifikasi tentang kasus kesalahan admin media sosial kemarin, bagaimana kondisi sebenarnya. Sudah diberikan sanksi seperti apa?

Jadi yang perlu masyarakat tahu, KCI tidak pernah menolak adanya kritik atau saran. Sebagai sarana transportasi umum, kami juga harus bisa menjaga keamanan dan kenyamanan penumpang kami selama di atas KRL atau di stasiun. Bahkan, bersama Mbak Neqy, kita juga campaign bagaimana caranya orang berani ngomong ketika dia menjadi korban, ketika kita melihat teman kita menjadi korban, kita harus berani melaporkan. Ini menjadi komitmen kami, sehingga ketika kami menemukan ada kekurangan atau kesalahan dalam pemberian informasi, pada saat itu juga kami langsung stop admin tersebut untuk tidak lagi handle customer di KCI. Jadi ini adalah salah satu komitmen kami, bahwa kami berpihak pada penumpang dan kami harus melindungi.

Pada saat itu juga, kami menghubungi korban, kami lakukan pertemuan, permohonan maaf atas sikap petugas kami. Kami juga mendampingi beliau ketika masuk jalur hukum, konseling kami siap mendampingi, berkomitmen untuk mendampingi beliau ketika ini ada masuk ke jalur hukum gitu atau secara korporasi kami sangat fokus dengan hal ini dan kelihatan bahwa upaya upaya kita untuk pelecehan seksual ini memang kita terus upayakan ditiga tahun terakhir.

Baca Juga: Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak Bisa

2. Menurut KRPA kenapa orang lebih berani speak up di media sosial atau punya perspektif sendiri terkait hal itu?

Kalau menyambung juga sama yang Mbak Anne bilang ya, kampanye ini misalnya secara offline atau online itu kan tujuannya meningkatkan awareness. Setiap masyarakat dibuat sadar apa sih itu kekerasan seksual, bentuknya seperti apa, kalau mengalami bisa melaporkan ke mana. Sehingga tujuan kampanye itu memang untuk meningkatkan pengetahuan orang tentang kekerasan seksual dan kapasitasnya. Langkah kedua setelah itu yang perlu diperhatikan adalah Kita menyediakan tempat-tempat atau sarana sarana untuk mereka mengadukan setelah mereka Paham kekerasan seksual itu. sekarang perlu kita fokuskan, jadi awareness orang sudah tinggi, mereka jadi banyak berbagi karena mereka tahu yang mereka alami itu kekerasan seksual. 

Tapi kenapa mereka kemudian memilih untuk di media sosial karena bisa Jadi mereka belum tahu harus melaporkan ke mana baik by phone maupun langsung atau mereka merasa lembaga-lembaga aduan itu belum aman dan nyaman buat mereka. Itulah yang menjadi salah satu concern KRPA sendiri. tujuan utamanya adalah kita menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman. jadi kita tidak hanya mendorong orang untuk berani melapor tapi kita juga menyediakan tempat yang membuat mereka aman dan nyaman untuk melaporkan. jadi ada tindak lanjut setelah awareness. Kemudian untuk penanganan kasusnya juga kita perlu memastikan kanalnya sudah tersedia dan bisa merespons dengan baik.

 

Baca Juga: 3 Langkah yang Kamu Harus Lakukan Setelah Alami Pelecehan Seksual

3. Menurut pandangan KRPA, apa yang menyebabkan korban cenderung bungkam?

Ada beberapa karakteristik atau situasi yang khas yang hanya dialami oleh korban korban kekerasan seksual dibandingkan dengan jenis kekerasan yang lain. Yang pertama kekerasan seksual itu karakteristiknya dia itu efeknya sangat besar tapi paling sulit dibuktikan karena sering kali tidak meninggalkan jejak fisik. Beda misalnya kalau kita ditampar sama orang ada buktinya. Saat melapor, bisa langsung dipercaya bahwa benar terjadi kekerasan sehingga bisa cepat diproses. Kalau kekerasan seksual sering kali dianggap buktinya kurang.

Lalu yang kedua karena buktinya dianggap kurang kemudian orang yang melapor dianggap melakukan laporan  palsu atau fitnah atau pencemaran nama baik atau dianggap hanya ingin panjat sosial, dianggap hanya ingin viral atau dianggap cuma persaingan bisnis saja. Padahal pengalaman dia benar,terjadi kekerasan seksual cuma dianggap bahwa buktinya kurang kemudian dituduh melakukan pencemaran nama baik atau laporan palsu. Tidak jarang justru malah dilaporkan balik oleh pelakunya dengan pasal pencemaran nama baik.

Ketiga, bagi korban kekerasan seksual saat dia tidak melawan itu dianggap dia menyetujui terjadinya aktivitas seksual, sehingga kalau nggak melawan justru dianggap ini suka sama suka Kenapa kamu tidak melawan. Padahal ada situasi yang namanya tonic immobility di saat seseorang mengalami peristiwa yang sangat traumatis itu tubuhnya tidak bisa dikendalikan sama sekali. Jadi dia cuma bisa diam nggak bisa teriak, melawan, lari nggak bisa melakukan apapun. Sehingga itu menjadi salah satu respon yang seringkali terjadi pada korban kekerasan seksual.  kalau korban kekerasan seksual membela diri, melakukan perlawanan fisik, itu bukti tamparan dan tendangannya menjadi modal untuk pelaku melaporkan balik dia dengan pasal kekerasan fisik.

Buat korban kekerasan seksual sendiri, saat tidak melawan salah, ngelawan salah. jadi akhirnya dia lebih memilih untuk “mendingan enggak cerita aja deh”, soalnya kalau cerita itu malah memberikan masalah baru buat dia belum lagi di proses menceritakan atau melaporkannya juga terjadi victim blaming gitu disalahkan. Jadi victim blaming, false accusations, tonic immobility, dilaporkan balik oleh pelaku, itu jadi alasan utama kenapa korban memilih untuk bungkam. spill tipis-tipis di media sosial karena dirasa lebih bisa anonim dan menceritakan apa yang terjadi.

4. Untuk KCI sendiri apakah memiliki SOP dan apa yang harus dilakukan korban, serta bagaimana bentuk antisipasi KCI terkait kasus pelecehan seksual?

[WANSUS] Jangan Anggap Remeh Pelecehan Seksual di Transportasi UmumCorporate Secretary Vice President KAI Commuter Anne Purba dalam acara Ngobrol Seru: Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum!", Rabu (10/6/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Khusus untuk yang pelecehan seksual ini sebenarnya di Jatinegara kami sudah menurunkan terduga pelaku supaya perjalanan KRL tetap berjalan dengan aman. Terduga pelakunya kita turunkan kemudian datanya kita semuanya kita data. kemudian kita proses, ada formulirnya. untuk pelecehan seksual ini supaya kita juga terlindungi secara hukum. Di legal kami siap untuk laporan secara hukum. Karena itu susah dibuktikan. Ini kita lakukan pendampingan, ada yang akhirnya ke jalur hukum dan ada juga yang memutuskan untuk berdamai/kekeluargaan dan ada juga yang meminta untuk di stop. Tekanannya itu luar biasa ketika kita menjadi korban.

Mereka menggunakan akun anonim, sehingga tracing-nya susah. Kemudian dari sisi operator pasti kita tangani dan dampingi. supaya korban ini terlindungi, kami akan dampingi dia ke pihak yang berwajib. ini proses yang kita lakukan dengan harapan penegak hukum sudah memiliki solusi yang lebih efektif supaya pelaku kekerasan seksual bisa ditindaklanjuti.

Korban pelecehan seksual itu tidak hanya wanita tapi juga ada pria, tapi mayoritas wanita. sehingga kita memiliki gerbong wanita yang ada di depan dan di belakang. kita juga siapkan adanya petugas yang di atas kereta, tidak hanya di stasiun tapi di atas kereta. Adanya layanan pengaduan juga kita siapkan. Kalau CCTV, 80 stasiun kami sudah terkoneksi dengan CCTV. Khusus untuk di kereta, memang CCTV masih ada di ujung dan ujung belakang. Dalam kondisi padat ini sangat sulit menunjukkan apakah ini pelecehan atau mungkin ini memang karena berdesakan. Tapi kalau misalkan sekarang dengan social distancing ini kita melihat mobilisasinya lebih bisa terlihat. Ini yang sudah kita antisipasi.

Ditambah kami mengangkut banyak orang, satu juta bahkan 1,1 juta penumpang, sehingga peluang itu ada. Makanya kami bekerja sama dengan komunitas untuk menyosialisasikan awareness, untuk memberikan mereka keberanian untuk melaporkan ketika ada kejadian tersebut. Sehingga SOP kami pun bisa sempurna.

Kami juga dapat masukan dari Komnas ternyata penanganan orang-orang yang menjadi korban ini juga berbeda dengan kasus-kasus lain yang melaporkan: toilet tidak bersih, AC mati. Itu kan fisik sekali dan bisa langsung ditindaklanjuti. Khusus korban pelecehan seksual sangat panjang supaya mereka berani ngomong aja butuh upaya. KCI tidak hanya diam saja tetapi terus menyempurnakan. Keterlibatan legal di 2 tahun terakhir ini juga membantu kepada korban ini untuk mendampingi ke yang berwajib.

Baca Juga: 6 Fakta Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

5. Apakah sejauh ini sudah ada kasus pelecehan yang ditangani secara serius menurut KRPA?

Merespons korban kekerasan itu beda sama orang kecopetan atau orang komplain karena fasilitas fisik. Karena kalau untuk hal-hal yang nuansanya fasilitas itu yang dilaporkan atau dampak dari kejadian itu adalah objek, bukan makhluk hidup. Sementara kalau kekerasan seksual ini manusia, sehingga penanganan awalnya pun akan menentukan bagaimana langkah selanjutnya. Bagaimana kita merespons korban itu akan menentukan apakah korban ini akan memiliki rasa percaya sama kita atau enggak dan itu akan menjadi salah satu penilaian awal soal bagaimana penanganan kasus kekerasan dari bagaimana cara meresponsnya.

Dalam penanganan kasus kekerasan tersendiri, karena ini korbannya adalah manusia, sehingga dalam proses penanganan kasus kekerasan itu perlu ada dua hal yang berjalan secara simultan. Pertama adalah pendampingan dan pemulihan korban yang satu lagi adalah penjatuhan sanksi. Selama ini yang sering kali dijadikan cara pandang oleh masyarakat umum adalah yang penting begitu ada kejadian buru-buru cari tahu siapa yang salah supaya dikenakan sanksi. Padahal kalau korbannya manusia itu harus perlu secara simultan juga kita langsung menangani korbannya tanpa menunggu semua proses administrasi itu selesai. 

Selama ini kan biasanya terjadi kayak gitu. Siapa yang salah, perusahaan mana yang salah, orang mana yang salah. Memberikan sanksi pada pelaku tidak berarti sudah pasti itu akan menjamin pemulihan bagi korban. Itu dua hal yang perlu di pisah. karenanya, begitu ada kasus kekerasan yang masuk, selain diproses secara administratif untuk tahu siapa pihak yang bisa dijatuhkan sanksi atau mau diproses secara hukum, perlu juga sejak awal untuk langsung merespons korban.

Hal sederhananya adalah dengan merespons dengan cara yang tidak victim blaming. Kita pastikan bahwa kita merespons dan mengakui mendukung bahwa itu terjadi pada dia. Prinsip dasar merespons aduan kekerasan adalah kita percaya ceritanya sampai dengan terbukti sebaliknya. Jadi beda dengan cara pandang kita sama KUHP dan pidana lain. 

Kemudian dipemulihan korban ini hal minimal yang bisa kita lakukan adalah memberikan konseling psikologis. Kenapa? itu akan membantu juga dia untuk melakukan assesment Apa saja sih situasinya, dia bantuan apa saja yang dibutuhkan, Apakah butuh bantuan medis atau bantuan hukum atau pendampingan yang lainnya. Itu bisa sekaligus mengklarifikasi kalau dia hanya melakukan tuduhan palsu. Itu juga bisa dilakukan dengan konseling psikologis awal nih, kalau dia bohong pasti akan terasa inkonsistensi dia saat sedang dilakukan konseling. Dua hal ini perlu dilakukan secara simultan, jangan sampai ada yang saling tunggu sehingga korban jadi perlu menunggu dulu semua proses administratifnya dan baru ditolong. Padahal dia sudah terlanjur berdarah-darah dari efek laporannya. 

ini juga ada hubungannya kenapa korban kebanyakan melaporkan dengan akun anonim. Karena korban kekerasan seksual itu kalau melapor seringkali dia dilacak balik oleh pelakunya atau institusi pelakunya untuk berusaha mengklarifikasi “ini benar atau enggak sih” atau bahkan upaya lebih lanjut ada juga pihak yang rasa karena itu pencemaran nama baik,mereka berupaya untuk membungkam korbannya. Itulah kenapa mereka melakukan pelaporan dengan anonim demi keamanan dan keselamatan dia. Kita sebagai pihak penerima laporan perlu memastikan bahwa prioritasnya adalah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi korban. First thing first-nya, hal yang perlu kita lakukan adalah prinsipnya mempercayai cerita korban sampai dengan terbukti sebaliknya. Kedua, pastikanlah kita merespons tanpa victim blaming. Jadi benar-benar mencatat semua halnya dan seminimalnya institusi terkait yang bertanggung jawab membiayai konselingnya dia. Sambil menunggu misalnya ada peningkatan sistem yang lebih baik atau penentuan siapa yang diberikan sanksi.

6. Lalu menurut KRPA bagaiman cara membuka diri terkait pelecehan yang dialami seseorang?

[WANSUS] Jangan Anggap Remeh Pelecehan Seksual di Transportasi UmumNgobrol Seru: Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum! pada Rabu (9/6/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Pada dasarnya orang itu kan cara meresponnya berbeda-beda dan kemampuan orang untuk keluar dari situasi yang tadi ku sebut tonic immobility itu berbeda, ada dia gak lama banget, sampai dengan besoknya atau sekian jam, sekian menit atau bisa langsung menguasai dirinya sendiri dan bisa buru-buru cari bantuan. Tapi kalau dari kami bisa menyarankan P3K nya itu minimal ada beberapa langkah yang pertama, jika mengalami kekerasan seksual segera tinggalkan lokasi, jadi walaupun misalnya masih berapa stasiun lagi buru-buru keluar di stasiun itu, segera tinggalkan lokasi dan pelaku secepat mungkin. Kedua cari tempat yang ramai dan terang, biasanya kalau kita turun di lokasi yang ramai dan terang pelaku juga kemudian nggak berani untuk mengikuti kita, lebih lanjut yang ketiga segera hubungi orang dewasa yang kita percayai siapapun gak harus keluarga tapi yang penting orang dewasa yang kita kenal dan kita percaya.

Kenapa ini jadi penting untuk buru-buru mengurangi efek traumanya dengan bercerita karena kita perlu bantuan ini kadang kita situasinya tonic immobility, kita sendiri tidak bisa mikir kita harus ngapain jadi kita butuh bantuan ngomong sama manusia lain untuk cari saran kira-kira langkah terbaiknya seperti apa. Nah kalau mau melaporkan itu adalah opsional karena gak semua orang juga berani atau punya waktu apalagi misalnya KRL, kebayang dia dalam keadaan buru-buru pengen ke kantor atau ke sekolah ya sehingga kalau dia melaporkan mungkin ada sebagian orang yang berpikir ini akan ngabisin waktu, sementara saya harus ke kantor, yang penting adalah prinsip utamanya selamatkan diri kita sendiri, gak melaporkan itu adalah opsi, tetapi kalau tidak mau dilakukan gak masalah yang penting kita prinsip utamanya memastikan keselamatan diri kita sendiri.

Itu pun juga yang menjadi prinsip bagi orang yang melihat terjadinya kekerasan, sebelum membantu orang lain kita perlu memastikan kita ya selamat dulu jangan sampai dalam upaya kita berusaha menyelamatkan orang lain malah kita yang jadi gak selamat korbannya jadi dua, itu yang perlu dipastikan. Juga yang paling penting di massa digital ini, bagi siapapun yang melakukan atau mengalami kekerasan dan menjadi korban hal yang harus kita ingat banget adalah hindari untuk mempostingnya di media sosial, kenapa? Satu kita nggak pernah tahu cerita kita akan dipakai orang lain untuk apa yang pertama itu, yang kedua kalau kita menyembunyikan identitas-identitas data pribadi orang lain kita kemudian berpeluang untuk dilaporkan balik dengan UU ITE, yang artinya masalah kita tidak selesai, masalah baru kemudian akan datang lagi. Jadi biasanya kalau apalagi berbicara dengan anak muda tips pertamanya banget adalah hindari dari posting di media sosial kalau mau berkonsultasi sama orang yang memang punya pengalaman dipendampingan atau setidaknya tadi orang dewasa yang kita percayai biar bisa ngobrol dulu kira-kira yang aman dan nyaman itu harus ngapain. Jangan prinsipnya viral, dibiarin viral supaya menyelesaikan solusi, padahal viral sering kali menimbulkan masalah baru itu yang perlu kita jadikan prinsip juga.

Tadi juga merespons Tadi Mbak Anne bilang bahwa korban itu bukan cuma perempuan saja tapi ada laki-laki juga itu yang juga perlu jadi konsen kita mengatasi orang tidak banyak melapor buat korban perempuan aja itu sudah sulit apalagi buat korban laki-laki dengan kita budaya patriarki yang menganggap laki-laki harus lebih kuat dari perempuan saat ada laki-laki yang menjadi korban dan melaporkannya jadi korban victim blaming ke dia kenceng di bagian “Oh kamu kan laki-laki harusnya kamu gak mungkin jadi korban, harusnya kamu melawan” kemudian ada victim blaming yang dialami oleh laki-laki laki dan itu juga yang menjadi consern kenapa orang-orang nggak melapor dan kitapun sebagai yang mengalami cenderung bungkam karena ada hal-hal seperti itu.

Nah terus tadi mau menyambung juga sedikit yang disebut mbak Anne, kan orang berpikirnya “loh kan sudah ada gerbang perempuan kenapa sih kita harus tetap ngomongin soal kampanye, kenapa kita harus ngasih edukasi ke public.  Orang seringkali “Oh gerbong perempuan itu sudah solusi paling tokcer di abad ini”, kita perlu melihat bahwa seperti yang bilang gerbong perempuan ini adalah inisiatif yang baik, awalan yang baik, bisa dikatakan sebagai affirmative action untuk membuat adanya ruang-ruang aman bagi pihak yang selama ini sering kali menjadi korban atau target dari kekerasan seksual yakni perempuan, tapi kita perlu diingat juga bahwa ini adalah inisiatif yang baik tidak bisa berhenti di situ, ini adalah awalan dan perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah yang lain dan ada catatannya juga gerbong perempuan kenapa masih belum bisa dianggap sebagai solusi terakhir, karena korbannya bukan cuma perempuan, laki-laki juga ada, bagaimana supaya korban-korban ini laki-laki yang menjadi korban tidak kemudian menjadi korban lagi dan yang kedua gerbong perempuan ini juga di satu sisi dia paradoks karena melahirkan victim blaming baru, di mana misalnya kalau perempuan mengalami pelecehan saat dia di gerbong gabungan disalahin “Kamu sendiri di gerbongnya campuran, bukan di gerbang perempuan” padahal harusnya kalau atau di gerbong perempuan jadi satu sisi memberikan langkah untuk menciptakan ruang aman dan nyaman tetapi di sisi yang lain, selama masih ada gerbong atau transportasi khusus perempuan itu masih menjadi indikator belum amannya transportasi itu.

Makanya perlu dilanjutkan lagi langkah-langkah lainnya misalnya memperbaiki bagaimana pelaporannya terus pelatihan peningkatan kapasitas, enggak semua orang itu merasa bahwa “Oh kekerasan seksual ini musuh bersama loh, kita perlu memastikan bahwa transportasi ini bersih dari kekerasan seksual dan mekanismenya kalau ada pelaporan itu benar-benar jelas dan membantu korban.

Jangan takut melaporkan kasus kekerasan pada perempuan seperti pelecehan seksual hingga pemerkosaan, agar pelaku jera. Buat kamu yang menjadi saksi, kamu bisa membantu korban dengan melaporkan ke beberapa kontak di bawah ini:

Call Center Komnas Perempuan:  (021) 3903963 atau (021) 80605399

Layanan pengaduan masyarakat Kemenpppa: 082125751234 (situs Kemenpppa.go.id)

LBH Apik: (021) 87797289 dan 081388822669.

Baca Juga: Kasus Pelecehan Seksual Menguap di Media Sosial, Apa Pemicunya?

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya