Prinsip dan Etika Berperang Menurut Ajaran Islam

Intinya sih...
Islam mengajarkan etika dalam perang, termasuk larangan melampaui batas
Terjadi larangan membunuh warga sipil yang tidak bersalah dan menghancurkan fasilitas sipil
Jakarta, IDN Times – Di tengah memanasnya konflik antara Iran dan Israel, perhatian dunia kembali tertuju pada nasib warga sipil yang seringkali menjadi korban utama dalam peperangan. Dalam Al-Qur’an dijelaskan, peperangan tidak dapat sepenuhnya dihindari dan dibolehkan jika tujuannya untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.
Dilansir dari NU Online, meskipun Islam membolehkan peperangan dalam kondisi tertentu dan disertai ketentuan yang jelas, pada dasarnya umat muslim diajarkan untuk menghindari perang dan tidak menyukai perang. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya, “Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci.”
Jika peperangan memang tidak terhindarkan, Islam sebagai agama yang menjunjung keselamatan tidak membiarkannya berlangsung tanpa aturan dan etika.
Berikut ini adalah prinsip dan etika dalam berperang menurut ajaran Islam!
1. Larangan melampaui batas
Islam mengajarkan adanya etika dalam perang, terutama dalam hal membedakan antara kombatan (prajurit) dan warga sipil guna menghindari terjadinya salah sasaran serangan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al Baqarah ayat 190:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
Artinya : ”Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
2. Jelasnya batas antara kombatan dan sipil
Penafsiran ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abbas dan Mujahid dalam Tafsir al-Qurthûbî, menegaskan larangan membunuh perempuan, anak-anak, pemuka agama, dan lainnya yang tidak terlibat langsung dalam konflik.
Berdasarkan prinsip tersebut, sudah seharusnya bila segala bentuk pertempuran dibatasi hanya untuk para kombatan yang memang ditugaskan untuk berperang.
Sementara itu, warga sipil, nonkombatan dan infrastruktur serta fasilitas wajib dilindungi dari dampak destruktif yang ditimbulkan dari peperangan atau konflik bersenjata.
3. Tidak menjadikan warga sipil sebagai perisai atau target
Masih merujuk pada sumber yang sama, prinsip pembedaan ini juga diterapkan oleh Rasulullah SAW yang melarang tegas membunuh warga sipil yang tidak ikut terlibat dalam suatu peperangan.
Beberapa riwayat hadits secara jelas merinci kelompok warga sipil dan nokombatan yang harus dijaga dari segala bentuk operasi militer. Mereka dilarang dijadikan serangan membabi buta, pembalasan dendam, serta objek serangan atau tameng dari serangan militer. Kelompok-kelompok tersebut meliputi perempuan, anak-anak, para ‘asîf (pelayan bayaran), lansia, agamawan atau rohaniwan, serta tawanan perang.
Prinsip Rasulullah SAW tersebut sudah ada sebelum kemunculan hukum perang positif yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa tahun 1864, dan penyempurnaannya pada tahun 1949 yang berkenaan dengan perlindungan korban perang. Dalam HHI, dikenal prinsip pembedaan (principle of distinction) yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk membedakan secara tegas antara kombatan (tentara) dan warga sipil.
4. Larangan membunuh warga dan menghancurkan fasilitas sipil
Jaminan perlindungan warga sipil ini berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar Islam sebagaimana dijelaskan dalam buku 'Damai Bersama Al-Qur’an: Meluruskan Kesalahpahaman seputar Konsep Perang dan Jihad dalam Al-Qur’an' (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2018) yang dikutip NU Online.
Prinsip tersebut meliputi, pertama, salah satu tujuan utama ajaran Islam (maqâshid syarîʻah) adalah menjaga dan melindungi hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, beragama, berpikir, membina keluarga, dan hak atas kepemilikan. Oleh karena itu, Islam dengan tegas mengecam segala bentuk kekerasan dan kezaliman terhadap individu maupun kelompok.
Bahkan, kezaliman pada satu orang dianggap setara dengan kezaliman terhadap seluruh umat manusia. Sesungguhnya Islam memandang kehidupan dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang suci. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, setiap individu adalah personifikasi dari kemanusiaan yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Kedua, prinsip pembedaan (principle of distinction) antara warga sipil dan pejuang (militer). Meskipun Islam mengizinkan peperangan untuk tujuan-tujuan yang sah, tetapi terdapat peringatan keras agar tidak melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Termasuk adalah larangan tindakan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, serta menghancurkan fasilitas-fasilitas sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan bangunan sejenis lainnya.
5. Setiap individu tidak menanggung dosa kolektif
Ketiga, Islam menegaskan fitrah dasar manusia adalah keadaan suci secara moral (moral innocence), yakni bebas dari dosa sejak lahir. Dalam islam tidak mengenal konsep dosa bawaan atau dosa turunan.
Setiap individu hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya sendiri, dan tidak boleh menanggung kesalahan orang lain. Karena itu, membunuh warga sipil yang tidak bersalah adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran islam.
Akhlak dan etika merupakan pilar penting dalam islam. Tidak ada satu pun aktivitas, termasuk peperangan, yang lepas dari nilai-nilai akhlak. Penyempurnaan akhlak adalah misi utama Nabi Muhammad SAW, sehingga Allah SWT menjadikannya sebagai contoh teladan.
6. Selalu jadikan Rasulullah SAW sebagai teladan
Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk senantiasa menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam mengikuti etika, batasan, serta aturan tertentu saat menghadapi perang.
Kegagalan pihak lain dalam menegakkan keadilan atau mengabaikan kesepakatan internasional terkait etika perang, tidak dapat dijadikan alasan bagi muslim untuk melakukan hal yang sama.
Dalam Islam, tidak dikenal prinsip menghalalkan segala cara, suatu tujuan yang baik dan mulia tidak boleh ditempuh melalui cara-cara yang buruk, “Allah itu baik dan tidak menerima selain yang baik.”