Lambang Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Berdasarkan dari berbagai studi yang sudah dilakukan, kata Delia, kontestasi pilpres, pileg, dan pilkada yang digelar serentak pada tahun yang sama justru memberatkan kandidat. Salah satu contohnya, calon anggota legislatif (caleg) harus ikut mengampanyekan calon presiden (capres) yang didukung oleh partainya.
Padahal, pada saat yang bersamaan, caleg bersangkutan harus berkampanye pula untuk dirinya sendiri.
"Dari beragam studi menunjukkan bagi calon anggota legislatif, jadwal yang bersamaan atau dilakukan secara serentak itu justru memberatkan. Karena caleg tidak hanya berkampanye untuk pencalonan dirinya sendiri tetapi juga harus mengkampanyekan calon presiden," kata dia.
Selain itu, karena kandidat yang bersaing sangat banyak di waktu yang bersamaan, berdampak pada politik praktis. Mereka berupaya melakukan berbagai cara cepat agar bisa menang sehingga berujung pada marak dan normalisasinya politik uang.
"Kalau kita merujuk studinya Pak Burhanuddin (Indikator Politik) ternyata pemilih serentak karena calonnya ada banyak, ketika calonnya banyak maka pembelian suara menjadi dinormalisasi. Jadi pemilih menerima uang ya biasa saja karena ada banyak orang yang menerima uang juga dari kandidat yang lain," ujar dia.
"Money politic atau biaya politik di Indonesia sangat mahal, pemilu menjadi sangat barbar dan itu dirasakan bukan hanya oleh kami. Tapi peserta pemilu justru turut merasakan bagaimana bar-barnya, tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai caleg kabupaten/kota saja misalnya Rp5 miliar atau bahkan lebih," sambung Delia.