Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Intinya sih...

  • Panitia kerja RUU KUHAP akan mulai bekerja setelah Lebaran 2025.
  • Koalisi Masyarakat Sipil catat sejumlah masalah krusial dalam RUU KUHAP yang perlu diselesaikan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Panitia kerja (panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan mulai bekerja pada pembukaan masa sidang usai Lebaran 2025.

Pembahasan soal KUHAP bakal dilakukan oleh Komisi III DPR RI yang membidangi penegakan hukum. Namun dalam perjalanannya, pembaruan KUHAP memiliki beberapa poin penting yang disoroti.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP bahkan mencatat sejumlah masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP.

"Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam keterangan pers, dikutip Jumat (4/4/2025).

Adapun DPR memulai masa reses pada 26 Maret 2025, kemudian rapat paripurna pembukaan masa sidang ketiga direncanakan akan berlangsung pada Kamis, 17 April 2025.  

1. Kejelasan tindak lanjut laporan hingga standar penangkapan, penahanan, dan penyitaan

Komisi III bakal kick off bahas RUU KUHAP usai pembukaan masa sidang berikutnya. (IDN Times/Amir Faisol)

Beberapa poin yang disoroti, di antaranya, soal kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel. Koalisi menilai, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada penuntut umum atau hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti penyidik.

Kemudian, mekanisme pengawasan oleh pengadilan yang dinilai harus memastikan seluruh upaya paksa penyidik dan penuntut dapat diuji secara substantif, bukan sekadar administratif. 

"Selanjutnya, pembaruan pengaturan standar pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pascaorang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjunya perlu penahanan," kata Isnur.

2. Keberimbangan dalam peradilan pidana hingga akuntabilitas investigasi khusus

MA Usul Pengadilan “Online” Diatur dalam Rancangan KUHAP ( kompas.com )

Koalisi juga menyoroti tentang prinsip keseimbangan dalam proses pidana yang harus menjamin peran advokat dalam pembelaan. Termasuk akses penuh terhadap dokumen dan bukti, serta perluasan bantuan hukum tanpa pembatasan. 

Kemudian, kewenangan investigasi khusus seperti undercover buy dan controlled delivery harus dibatasi pada jenis pidana tertentu, dilakukan atas izin pengadilan, dan tidak boleh diinisiasi oleh penyidik.

Selanjutnya, sistem pembuktian perlu mengutamakan relevansi dan kualitas bukti tanpa mengotakkan alat bukti. Hal itu juga harus disertai prosedur pengelolaan yang jelas dan jaminan alasan yang cukup secara spesifik untuk tiap tindakan.

"Bukan sekadar mengandalkan dua alat bukti awal secara terus-menerus," kata dia.

3. Batasan sidang elektronik hingga penguatan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban

Ratusan aktivis, pemuda, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara menggelar dialog untuk mengawal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU) KUHAP di Demak, Jumat (21/3/2025). (dok. BEM Nusantara)

Selain itu, koalisi menyoroti tentang sidang elektronik yang harus dibatasi pada “keadaan tertentu,” tanpa mengurangi pencarian kebenaran materiil serta menjamin transparansi dan akses publik, termasuk keluarga korban dan terdakwa.

Menurut Isnur, penyelesaian perkara di luar persidangan memerlukan reformasi konsep restorative justice agar tidak sekadar menjadi alasan penghentian perkara.

"Mekanisme ini harus diterapkan pascapenyidikan, saat fakta telah disepakati, dengan akuntabilitas tinggi untuk mencegah praktik transaksional atau pemerasan," kata dia.

Kemudian soal penguatan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban harus mencakup mekanisme restitusi yang jelas juga turut disoroti. Mulai dari pengajuan hingga pencairan dana bagi korban.

"Jaminan pasal operasional diperlukan agar hak-hak tersebut dapat diakses secara efektif, termasuk mekanisme pengaduan atas dugaan pelanggaran dan sanksi bagi pihak yang mengabaikan atau melanggar hak tersebut," ucap dia.

Editorial Team