Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sejumlah pegawai nonaktif KPK bersama pegiat antikorupsi menunjukkan surat untuk presiden saat mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Selasa (21/9/2021). Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini dinilai memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Jakarta, IDN Times - Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, "Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" 

Petuah bijak Pram--sapaan Pramoedya, sastrawan legendaris Indonesia-- ini seakan mewakili perjuangan Novel Baswedan dan 55 pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersiap angkat kaki dari Gedung Merah Putih pada 30 September mendatang.

Menariknya, quote Pram ini ternyata juga pernah dikutip oleh Presiden Joko 'Jokowi' Widodo pada 2015 lalu. Jokowi mengutip perkataan Pram tersebut ketika menanggapi proses pergantian kepemimpinan di institusi Polri yang menimbulkan dilema besar. Saat itu Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang diajukannya menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), malah dijadikan tersangka dalam kasus rekening gendut oleh KPK.

Setelah memutuskan menyampaikan sikap atas permasalahan menyangkut pengajuan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Rabu, 14 Januari 2015, Presiden Jokowi menuliskan pesan yang cukup tegas dalam Fan Page Facebook-nya.

"Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" tulis Jokowi.

Namun, kini keadaan berbalik. Setelah KPK secara resmi menyatakan memberhentikan 56 dari 75 pegawainya yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN), Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Ia seolah lepas tangan dan tidak ingin segala persoalan selalu dilimpahkan atau ditarik-tarik ke dirinya.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," kata Jokowi di hadapan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 15 September 2021.

Pernyataan Jokowi yang tidak ingin dilibatkan ke polemik TWK KPK cenderung berbeda dari sikapnya terdahulu. Sikap presiden terkait TWK pertama kali disampaikan ke publik pada 17 Mei 2021, tepatnya 10 hari setelah Ketua KPK Firli Bahuri menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 tentang pembebastugasan 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.

Saat itu, Jokowi menyatakan bahwa TWK tidak bisa serta merta jadi dasar pemberhentian pegawai KPK yang tak lolos. Hasil TWK, menurut dia, seharusnya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK ke depan, baik terhadap individu maupun institusi. "Dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," ujar Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden.

Meski Presiden Jokowi mengisyaratkan 'buang badan', rupanya tak menyurutkan perjuangan 56 pegawai nonaktif KPK yang waktunya tinggal menghitung hari. Seorang Novel Baswedan pun masih optimistis Presiden Jokowi tidak akan lepas tangan.

"Saya tidak terlalu yakin pak Presiden akan lepas tangan kasus ini, tapi saya kalau bertemu pak Presiden saya ingin katakan, ‘Pak presiden, memberantas korupsi itu hal yang sangat mendasar, tidak mungkin ada kebijakan presiden bisa berjalan efektif kalau korupsi terjadi di mana-mana’," tuturnya kepada IDN Times dalam sebuah wawancara khusus beberapa waktu lalu.

1. Terjebak dalam skenario tes wawasan kebangsaan

Pegawai nonaktif KPK lakukan aksi protes di depan Gedung KPK pada Rabu (15//9/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Perjalanan panjang polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) memang disadari para pegawai KPK yang dipecat, tidak muncul secara tiba-tiba. Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo bahkan menyebutnya sebagai sebuah skenario jebakan memberangus orang-orang yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

"Jadi ya, memang kami seperti terjebak dalam suatu skenario. Walaupun waktu kita mau kita juga sudah paham, ini sudah pasti ada mereka tidak terbuka, tidak berani bermain terbuka, tidak transparan tentu, tapi ini juga tidak membuat kami berhenti," tegas Yudi melalui live Instagram Ngobrol Seru by IDN Times bertajuk "30S Akhir Perjalanan 56 Pegawai KPK?" pada Selasa, 21 September 2021.

Sesungguhnya Yudi dan penyidik KPK lainnya mulai menyadari ada sebuah skenario besar ketika revisi UU KPK disahkan dan memasukkan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara. Kala itu Komisioner KPK mengesahkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang memasukkan asesmen tes wawasan kebangsaan.

"Jadi memang ketika TWK ini ada, kita sempat sudah punya suatu feeling yang kemudian kami, dari wadah pegawai, konsolidasi pada pimpinan yang sampai saat ini tidak pernah terbalas begitu ya. Bahwa ini berbahaya, TWK ini bisa menyingkirkan, tetapi narasi-narasi sosialisasi dan sebagainya itu mengarahkan "sudah ikuti saja ini dan sebagainya" tentu saja kami sebagai pegawai ketika ada suatu aturan ya kami mengikuti, karena kami lihat bahwa kayaknya memang ini tidak ada pemberhentian," ungkapnya.

 

Infografis Pemecatan 56 Pegawai KPK (IDN Times/Aditya Pratama)

2. Plintat-plintut pimpinan KPK soal TWK dipertanyakan

Editorial Team

Tonton lebih seru di