Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Kekerasan. (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Komisioner Komnas Perempuan (Komnas Perempuan) buka suara terkait terpidana kasus kekerasan seksual sekaligus pengasuh pondok pesantren di Jember, Jawa Timur, FM, yang bebas bersyarat usai menjalami hukuman penjara selama setahun.

Hukuman FM disunat menjadi dua tahun dan sudah menjalani dua pertiga masa tahanan, setelah divonis hukuman dari Pengadilan Negeri Jember delapan tahun penjara. Menurut Komnas Perempuan, pembebasan hukuman bersyarat ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukuman di Tanah Air.

1. Keputusan pengurangan hukuman bisa menimbulkan preseden buruk

Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 tentang Data Kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (7/3/2024). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, keputusan pengurangan hukuman di tingkat Mahkamah Agung (MA) bisa menimbulkan preseden buruk.

"Jangan sampai kasus ini menjadi preseden bahwa kasus-kasus yang divonis tinggi bisa berkurang di MA, yang menimbulkan ketidakpercayaan korban pada sistem peradilan pidana," kata dia kepada IDN Times, Selasa (23/7/2024).

Komnas Perempuan, kata Ami, merekomendasikan agar seluruh hakim bisa meningkatkan pertimbangan secara cermat dan komprehensif, dalam menangani kasus TPKS yang diperiksa. Terutama dengan mengedepankan kepentingan korban.

2. Sulit wujudkan ruang aman di lembaga pendidikan keagamaan

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kondisi ini, kata Siti Aminah, mencerminkan perbedaan perspektif antara hakim tingkat pertama dengan hakim kasasi, dalam merespons pemenuhan hak korban atas keadilan, pelindungan, dan pemulihan, dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

"Pemeriksaan hakim pertama dan banding (PN Jember) yang memeriksa fakta TPKS seharusnya diperkuat oleh hakim kasasi, mengingat relasi kuasa yang tebal antara kiai dan santri serta potensi keberulangannya," kata perempuan yang akrab disapa Ami.

Siti Aminah mengatakan, tujuan lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, sebagai ruang aman dari kekerasan seksual menjadi sulit terwujud, apabila kasus-kasus seperti ini tidak ditangani dengan serius.

3. FM terbukti melakukan kekerasan seksual pada santrinya sendiri

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Diketahui, FM dinyatakan bersalah melanggar Pasal 82 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 76 huruf E UU RI Nomor 17 Tahun 2017, tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016, tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002.

FM terbukti melakukan kekerasan seksual pada santrinya sendiri, dan divonis pada 16 Agustus 2023, dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.

Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan kasasi yang diajukan FM dan kuasa hukumnya. MA mencabut hukuman yang dijatuhkan PN Jember, kemudian meringankan hukuman menjadi dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider dua bulan penjara. Namun dia tetap wajib melapor hingga 16 Januari 2024.

Editorial Team