Kompleksnya Kekerasan Seksual, Perempuan Direkam Diam-Diam

- Komnas Perempuan menyoroti kompleksitas isu kekerasan seksual nonfisik, yang sulit ditindaklanjuti dengan UU ITE dan TPKS.
- Andy Yentriyani menekankan pentingnya pemahaman mendalam aparat penegak hukum tentang undang-undang TPKS untuk menangani kasus serius tanpa menyalahkan korban.
Jakarta, IDN Times - Seorang jurnalis magang berinisial HS menjadi korban pelecehan di Kereta Komuter Jakarta-Bogor oleh pria berusia 52 tahun yang diam-diam merekamnya.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menjelaskan, kasus ini membuktikan kompleksitas isu kekerasan seksual, terutama nonfisik. Dalam kasus ini, korban direkam tanpa sepengetahuannya. Sebab pelaku belum menyebarkan rekamannya, penggunaan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pun tidak memadai.
Andy menyoroti, dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), ada pasal yang mengatur pelecehan seksual nonfisik, tetapi harus memiliki muatan seksual eksplisit.
“Nah, sebetulnya pada saat yang bersamaan, dia (kasus ini) itu bisa dicobakan dengan pasal soal pelecehan seksual nonfisik. Karena semua atau sejumlah pihak yang menyikapi kasus itu pun langsung mengasosiasikan, apa yang dilakukan pelaku punya konotasi atau muatan seksual. Jadi bukan tangkapannya yang bermuatan seksual, tapi bagaimana si pelaku ini memiliki kehendak seksual itu sendiri. Dorongan seksual dan lain-lain itu seperti di pasal pelecehan seksual,” kata dia kepada IDN Times, Senin (22/7/2024).
1. Pentingnya pemahaman mendalam aparat penegak hukum

Menurut dia, pendekatan hukum yang ada sering kali tekstual sehingga sulit mengenakan pasal yang sesuai dalam kasus-kasus seperti itu.
Andy pun menekankan pentingnya pemahaman mendalam oleh aparat penegak hukum mengenai undang-undang TPKS. Hal tersebut supaya laporan-laporan kasus seperti ini dapat ditangani serius tanpa menyalahkan korban.
Dia menyayangkan sikap polisi yang tak langsung menangani kasus ketika ada yang melapor. Dalam kasus ini, alasan polisi menangani laporan, salah satunya karena tak ada alat vital yang terlihat.
Menurut Andy, kondisi penentuan hukum seharusnya bisa dilakukan setelah penerimaan keterangan dan penanganan korban.
“Jadi, pada titik ini kita semua belum tentu juga pasalnya sendiri bisa diterapkan, tapi mungkin yang membuat paling kesal adalah penyikapan bahwa pelaporan itu tidak diterima dengan semestinya dan justru korban merasa kok aku jadi refektimisasi gitu,” kata dia.
2. Perlunya melihat kemungkinan yang lain dalam satu kasus

Andy mengatakan, polisi seharusnya bisa lebih paham dengan prinsip penanganan kasus kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS.
“Nah, si polisinya juga terpatri di situ, dia (polisi) gak berusaha untuk melihat, oh, ada gak kemungkinan-kemungkinan yang lainnya itu. Si polisinya itu sebetulnya dia perlu betul-betul memahami UU TPKS,” kata Andy.
3. Dalam UU TPKS pemulihan datang bersamaan dari penerimaan yang baik

Dia mengatakan, sekalipun dalam penanganan awal polisi belum bisa mengenakan pasal dalam kasus ini, tetapi validasi pada korban perlu didengar.
“Kalau dalam prinsip penanganan UU TPKS itu, pemulihan harus datang bersamaan, ya, penerimaan yang baik itu kan merupakan titik awal pemulihan,” kata dia.