Sepenggal Nostalgia Gerakan Mahasiswa Kampus Biru

"Di sini negeri kami, tempat padi terhampar. Samuderanya kaya raya, negeri kami subur Tuhan…"

Oleh Anang Zakaria

YOGYAKARTA, Indonesia —Hampir pukul 22:00 ketika lelaki berusia 53 tahun itu naik ke atas panggung. Duetnya dengan grup band mahasiswa rampung tapi ia tak segera turun. Ia raih gitar pinjaman yang disodorkan, mengalungkan talinya ke leher, lalu menggenjereng dan bernyanyi satu tembang. Darah Juang.

Di sini negeri kami, tempat padi terhampar

Samuderanya kaya raya, negeri kami subur Tuhan…

Pengunjung merapat, berdiri di bawah panggung. Mereka kompak mengangkat tangan kiri, mengepalkan tinju ke udara, dan turut menyanyikan bait demi bait liriknya.

“Jangan biarkan anasir-anasir Orde Baru kembali berkuasa,” kata John Tobing, sang penyanyi itu, pada pengunjung panggung musik peringatan 20 tahun reformasi di aula Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat 18 Mei 2018 malam.

Malam itu waktu seakan diputar kembali ke masa reformasi 1998. Ada penggalan nostalgia gerakan mahasiswa menjatuhkan kediktatoran Orde Baru tersaji di sana.

Mahasiswa berkaus hitam, beberapa bersendal jepit dan bercelana jins butut sobek di lutut, serta berikat kepala warna merah hilir mudik. Spanduk-spanduk bertuliskan tuntutan gerakan mahasiswa 1998 tergantung di tribun. “TNI Kembali ke Barak!”, “Reformasi untuk Rakyat”, “1997 Pemilu Sampah”, hingga “Hapus Dwifungsi ABRI !”.

Peringatan itu berlangsung selama tiga hari, hingga 20 Mei 2018. Sebuah pameran foto dan arsip digelar sepanjang masa itu, dan di dua hari terakhir panitia menggelar diskusi sebagai refleksi 20 tahun reformasi.

Baca juga: Potret 'Buram' Reformasi di Kota Solo

Bagi John, reformasi tak banyak membawa perubahan pada bangsa ini. Reformasi adalah istilah yang dimunculkan elit politik.Padahal gerakan mahasiswa menginginkan revolusi. “Yang terjadi sekarang (malah) evolusi,” katanya.

Lihatlah, kata dia, Soeharto memang sudah terjungkal dari kursi kekuasaan 20 tahun lalu. Tapi kroninya tetap berkuasa. Bahkan elit politik baru yang  lahir paska reformasi kini bersekutu dengan mereka.

Ironisnya, ia melanjutkan, banyak kaum muda yang dulu menjadi kawannya dalam demonstrasi di jalanan, kini bergabung bersama kekuatan pembajak reformasi itu. “Teriak reformasi tapi ujungnya untuk berkuasa sendiri,” katanya.

Baca juga: Kamis Masih Kelam di Depan Istana 

Himne perjuangan para demonstran

Sepuluh tahun sebelum Soeharto lengser 21 Mei 1998, John Tobing sudah mengawali perlawanan pada penguasa Orde Baru. Pada tahun 1988, ia adalah mahasiswa tahun kedua di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Bersama kawannya sesama mahasiswa, semisal Andi Munajat, Sugeng Bahagijo, Webby Warouw, dan Untoro Hariadi, ia rutin menggelar diskusi kecil anti-Soeharto.

“Semua (urusan Indonesia) yang menentukan Soeharto,” kata lelaki kelahiran 1 Desember 1965 dengan nama Johnsony Marhasak Lumbantobing itu.

Meski kecil, kelompok 'John' berhasil menggalang kekuatan massa. Pada 1991, mereka berhasil mendorong lahirnya Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta. Anggota forum berasal dari kelompok mahasiswa dari kampus di Yogyakarta. Selain UGM, juga ada ISI, UIN (IAIN) Sunan Kalijaga, UII, dan UMY. “Kongresnya di Muntilan (Magelang) saat itu,” kenang John.

Dalam perjalanannya, forum itu terpecah. Beberapa anggotanya lalu mendirikan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian organisasi sempalan ini melahirkan Solidaritaas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi. Belakangan, SMID mendirikan Persatuan Demokratik yang pada 1996 menjelma menjadi Partai Rakyat Demokratik.

Paska pecah peristiwa 27 Juli 1996, dikenal juga dengan istilah Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli), di kantor Partai Demokrasi Indonesia Jalan Diponegoro Jakarta, Soeharto memburu aktivis PRD. Partai yang dimotori kaum muda itu dicap sebagai organisasi terlarang, aktivisnya diburu dan dituduh menjadi dalang kerusuhan.

Dua tahun sebelum lahir FKMY, tepatnya 1989, kelompok kecil dari Fakultas Filsafat itu juga menginisiasi berdirinya Keluarga Mahasiswa UGM. Di sekretariat KM-UGM inilah lahir Darah Juang, himne perjuangan yang melegenda bagi gerakan mahasiswa Indonesia.

Baca juga: Panasnya ‘Ngopi’ Bareng Aktivis '98 

Menurut John, bermula pada suatu siang di tahun 1991, ia sedang bermain gitar di tengah kawan-kawannya. Satu komposisi musik berhasil ia susun tapi tak ada liriknya. “Kebiasaan saya bisa bikin musik tapi tak mahir menulis syair,” katanya.

'DARAH JUANG'. Mantan aktivis gerakan mahasiswa, John Tobing, menyanyikan lagu Darah Juang dalam peringatan 20 tahun reformasi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat 18 Mei 2018 malam. Lagu Darah Juang menjadi perekat gerakan massa menumbangkan kedikatoran Orde Baru. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Maka ia pun meminta seorang rekannya, Dadang Juliantara, menulis lirik. Ketika diaransemen, mahasiswa Fakultas Ekonomi Budiman Sudjatmiko (kini politisi PDI Perjuangan) menyebut syairnya kebanyakan kata 'tuhan'. Ia menyarankan agar John menggantinya dengan kata 'bunda'. Dan, jadilah syair lagu Darah Juang yang kini kita kenal.

…Bunda relakan darah juang kami

Padamu kami berbakti

Tentang judul Darah Juang, kata John, muncul ketika lagu itu diperdengarkan di depan kawan-kawan FKMY. Seorang mahasiswa nyeletuk lagu itu sebaiknya diberi judul Darah Juang. “Siapa yang kasih judul saya juga lupa,” kata John, mengenang.

Sepanjang dekade 1990, Darah Juang menggema dalam tiap aksi mahasiswa menentang Orde Baru. Bahkan paska reformasi hingga kini lagu itu masih dinyanyikan oleh gerakan massa ketika menentang kediktatoran. “Dari yang kiri sampai kanan semua menyanyikan Darah Juang,” katanya.

Aksi massa budaya Indonesia

Indonesianis asal Australia Max Lane mengatakan Indonesia adalah bangsa yang istimewa. Keistimewaan itu ada karena sejarah rakyatnya memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi dan bergerak dalam aksi massa. “Aksi massa rakyat Indonesia yang terbesar di dunia,” katanya dalam diskusi peringatan 20 tahun reformasi di PKKH UGM, Ahad 20 Mei 2018 malam.

Kesadaran berorganisasi itu, ia melanjutkan, bisa dilihat dalam Syarikat Islam. Meski membawa label agama, organisasi ini tak semata memperjuangkan Islam. Syarikat Islam menjadi wadah rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme. Kesadaran berorganiasi itulah yang menjadi ciri kebudayan Indonesia. “Rakyatnya mau berorganiasi dan bergerak,” katanya.

Sayangnya, kebudayaan berorganiasi itu dihancurkan oleh Orde Baru. Paska 1965, rakyat hanya ditempatkan sebagai massa mengambang. Sehingga terjadi kekosongan dalam bidang politik, sosial, dan budaya.

Dosen ilmu sejarah UGM Yogyakarta Agus Suwignyo mengatakan reformasi membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini. Meski dalam beberapa hal masih perlu dibenahi. “Reformasi berjalan di atas jalur yang tepat,” katanya.

Baca juga: 'Chinese Whispers': Tentang Pencarian Jati Diri Lewat Tragedi dan Histori

Ia membandingkan dengan kondisi politik di negara tetangga, Malaysia. Dalam pemilu beberapa pekan lalu, kaum muda Malaysia banyak yang apolitis. Ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang kesadaran berpolitik kaum mudanya terus tumbuh dan berkembang. “Indonesia jauh melampaui (kondisi Malaysia) itu,” katanya.

Sehingga, jika ada imajinasi kehidupan bernegara pada masa Orde Baru lebih baik dibanding paska reformasi, menurut dia, itu adalah pemikiran yang ahistoris.

—Rappler.com

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya