Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

'Chinese Whispers': Tentang Pencarian Jati Diri Lewat Tragedi dan Histori

'CHINESE WHISPERS'. Novel grafis digital karya Rani Pramesti berjudul 'Chinese Whispers'. Foto dari akun Facebook @ranipnews
'CHINESE WHISPERS'. Novel grafis digital karya Rani Pramesti berjudul 'Chinese Whispers'. Foto dari akun Facebook @ranipnews

JAKARTA, Indonesia — Seorang anak perempuan berlari kecil dengan lincahnya. "Tap...tap...tap...," begitu langkahnya digambarkan. Kemudian sang bocah terlihat berjalan menuju sebuah pintu dan lantas membukanya. Berikutnya, terdengar sapaan dari seorang perempuan.

“Selamat datang, nama saya Rani. Saya akan menemani Anda selama perjalanan di dalam labirin ini. Tenang aja, walaupun kita tersesat, yang penting kita enggak bakalan sendirian,” ujarnya.

Default Image IDN
Default Image IDN

Perempuan itu bernama Rani Pramesti. Dan kisahnya berjudul Chinese Whispers yang kini bisa dinikmati dalam format novel grafis digital di thechinesewhispers.com. Siapapun bisa melihat, mendengar dan ikut menyaksikan serta merasakan kisah Rani dalam pencarian identitas dan jati dirinya.

Identitas yang sempat dipertanyakannya ketika ia menyaksikan dan mengalami sendiri peristiwa kerusuhan di bulan Mei 1998.

Berawal dari karya instalasi

Chinese Whispers, menurut Rani, yang berkesempatan berbincang dengan saya lewat sambungan telepon beberapa saat yang lalu, awalnya diperkenalkan ke publik sebagai karya instalasi sekaligus pertunjukan. Kebetulan, Rani memiliki latar belakang pendidikan seni dengan gelar Bachelor of Dramatic Arts dari Victorian College of Arts, University of Melbourne.

Di tahun 2013, Rani jadi salah satu yang masuk seleksi di program Emerging Culture Leaders Program di sebuah pusat kesenian di Melbourne. Saat itulah Rani memulai proses penelitian untuk Chinese Whispers

Tapi Rani menemui kendala, karena keinginannya melahirkan Chinese Whispers harus terhalang oleh minimnya koneksi Rani dengan perempuan-perempuan Tionghoa Indonesia yang menetap di Australia. Padahal, kisah soal kehidupan mereka lah yang pertama mendasari lahirnya Chinese Whispers.

"Tadinya saya kan cukup kesepian kan ya. Satu, karena saya lama di luar negeri. Dua, karena saya kuliahnya jurusan seni jadi jarang sekali ketemu sama orang Indonesia. Enggak ada orang Indonesia di fakultas saya. Sebenarnya Chinese Whispers itu semacam alasan untuk ketemu teman baru. Dan pada awalnya saya lebih tertarik pada topik yang lebih general, lebih terbuka, tentang pengalaman perempuan Indonesia keturunan Tionghoa lainnya yang juga bermigrasi ke Australia," ungkap perempuan kelahiran 1986 ini.

Setelah rajin mengikuti perkumpulan gereja di Melbourne, akhirnya Rani bertemu dengan para perempuan Tionghoa Indonesia. Semakin lama mereka bertukar cerita dan menggali lebih dalam kehidupan satu sama lain, semakin Rani menyadari bahwa sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, ada satu topik yang ingin ia bahas lebih lanjut, yakni soal tragedi Mei '98. 

"Karena itu kejadian yang sangat membentuk kehidupan pribadi saya, pengalaman pribadi saya, pengertian identitas saya. It was such a significant event," kenang Rani. Saat menyadari itulah, Rani akhirnya memutuskan untuk fokus di topik itu. 

Tahun 2014, Chinese Whispers resmi diperkenalkan ke publik di Melbourne. Karena formatnya adalah instalasi sekaligus pertunjukan, Rani melibatkan aktor dan menggunakan bentuk labirin dalam bentuk dalam menyampaikan pesannya. Penonton lantas masuk satu per satu ke dalam labirin itu dan dipandu komposisi audio dalam bahasa Inggris.

Meski mendapatkan respon positif, Rani masih merasa gelisah. Ia merasa kisahnya ini perlu diketahui dan dinikmati oleh lebih banyak orang. "Jadi sejak tahun 2014 itu saya mulai berpikir, bagaimana supaya bisa menjangkau lebih banyak orang. Dari situ kami mulai adaptasi mulai dari audionya, kami terjemahkan ke bahasa Indonesia. Kebetulan saya memang penggemar novel grafis dari dulu, dari kecil. Dulu baca komik tapi setelah dewasa sering baca novel grafis dan ada beberapa karya digital yang  pernah saya lihat di Australia dan saya beprikir sepertinya saya akan bikin sesuatu seperti itu."

Identitas yang terpecah

Rani membagi kisah Chinese Whispers dalam 6 babak yang berbeda. Babak pertama diawali dengan pertanyaan Rani soal identitas yang dimilikinya. Asal Usul, begitu judulnya. Menulis kisah ini membuat Rani harus membongkar kenangan lamanya. Kenangan masa kecil yang manis saat tumbuh besar di Indonesia.

Sampai ia berusia 12 tahun, Rani yang memiliki darah campuran Tionghoa, Sunda dan Jawa itu melewati masa kanak-kanak yang indah di Indonesia. "Kedua orang tua saya sangat ingin anak-anaknya mencintai Tanah Air Indonesia," begitu yang dikisahkan Rani dalam Chinese Whispers. "Saya diajak naik gunung, main ke sungai, berenang di laut lepas. Saya pernah melihat pantai tiga warna, pasir hitam, pasir putih sampai merah muda." 

Default Image IDN
Default Image IDN

Semua terasa normal sampai akhirnya kerusuhan Mei '98 pecah. Dan terpecah pula lah identitas Rani yang masih berumur 12 tahun kala itu. Identitas yang berulang kali dipertanyakan oleh Rani. Bahkan ia memberanikan diri bertanya pada ibunya, "Ma, kita ini orang Cina?", yang lantas dibalas tegas oleh sang ibu, "Bukan, Ran. Kita ini orang Indonesia."

Tapi secinta apapun keluarga Rani pada Indonesia, keselamatan jiwa pasti jadi yang utama. Karena itulah, tak lama berselang sejak kerusuhan Mei '98 terjadi, kakak Rani pindah ke Australia. Dan setahun setelahnya, Rani menyusul.

Mengetahu identitasnya sempat terpecah, Rani pun berusaha berbagi cerita dengan sesama perempuan Tionghoa di Australia. "Saya bertanya pada mereka, apakah mereka merasa diri mereka orang Indonesia, Tionghoa atau dua-duanya? Atau mereka menganggap diri mereka orang Australia atau campuran lainnya?”

Berburu saksi

Meski keinginan untuk mengangkat cerita di balik tragedi kerusuhan Mei '98 jadi tujuan utama Rani, namun pada awalnya, ia pun mengaku masih ragu untuk membicarakan topik ini dengan perempuan-perempuan Tionghoa di Australia. Rani takut karena ia merasa topik ini masih terlalu sensitif bagi banyak orang.

Tapi ketakutan Rani pudar saat ia bertemu jurnalis sekaligus penulis berdarah Tionghoa Indonesia yang kini menetap di Melbourne, Dewi Anggraeni. Tahun 2014, Rani berkesempatan berbincang dengan Rani soal Mei '98. Dewi pun lantas menjadi salah satu nara sumber di Chinese Whispers. Ia bertutur soal pengalamannya bertemu langsung dengan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan saat Mei '98.

Dewi yang tadinya ragu, lantas merasa sangat berdosa dan bersalah karena pada awalnya ia sempat meragukan kenyataan bahwa pemerkosaan itu pernah terjadi. 

Kesaksian lain yang menguatkan tekad Rani datang dari Karlina Supelli. Wanita asal Indonesia yang ditemuinya di Flores, Nusa Tenggara Timur. Karlina menceritakan kembali masa-masa saat Mei '98 yang dirasanya sangat kelam. Saat itu, ia bertugas sebagai relawan berkeliling Jakarta dengan ambulans untuk menolong korban kerusuhan.

"Yang paling membuat gentar adalah kemarahan yang kami lihat di wajah mereka. Di mata. Saya rasanya seumur hidup tidak pernah melihat begitu banyak orang dalam keadaan marah dan menjarah begitu banyak dan berteriak-teriak," kata Karlina.

Saat itu pula Karlina menceritakan tentang banyaknya pengaduan yang diterima oleh yayasan tempat ia bekerja soal kasus pemerkosaan yang terjadi di banyak tempat. 

Menyampaikan cerita lewat karya

Yang dialami Rani ketika Mei '98 adalah luka. Luka dalam yang belum pulih hingga saat ini, 20 tahun berselang. Dan Rani tidak sendiri. Ribuan orang ikut terluka karena ikut jadi korban saat kerusuhan Mei '98. Luka itu, yang menurut Rani tidak akan pernah bisa pulih jika orang memilih untuk tidak mengakuinya.

"Pesan inti dari Chinese Whispers itu kan bahwa kita tidak mungkin memulihkan luka yang tidak mau kita akui. Cerita inilah yang jadi kontribusi saya sebagai seniman, sebagai seorang storyteller, untuk mengakui bahwa kejadian-kejadian ini benar terjadi. Itu saja sesungguhnya," ujar Rani.

Default Image IDN
Default Image IDN

Tugas Rani adalah sebagai storyteller, sementara soal pengakuan di level-level lainnya, itu tugas orang lain. "Tugas advokat, lembaga institusi negara atau LSM, banyaklah. Tapi untuk saya, ini kontribusi saya sebagai storyteller. Bahwa kejadian ini benar terjadi dan saya menceritakannya. My main aim is to tell this story with integrity. And I always, in everything that I do, semua menyuarakan sudut pandang perempuan."

Yang dilakukan Rani, bercerita tentang Mei '98 dengan cara yang ia pahami dan kuasai. Lewat karya. Agar kisah ini tidak pudar ditelan waktu. Tanpa penyelesaian, tanpa pengakuan. Bahkan hingga kini, 20 tahun setelah tragedi berdarah itu terjadi. 

Itu juga mengapa Rani memilih untuk mengemas kembali Chinese Whispers dalam bentuk novel grafis digital. Salah tujuan utamanya untuk bisa menjangkau anak muda yang mungkin tidak tahu banyak soal Mei '98. Bayangkan, bagaimana anak muda bangsa ini bisa mengakui adanya tragedi berdarah itu sebagai bagian dari sejarah bangsa jika banyak dari mereka bahkan tidak tahu sama sekali soal Mei'98!

Cerita dan kebenaran kerusuhan Mei '98 seperti terus diburamkan dan mungkin ingin sengaja dilupakan. Generasi pertama yang mengalami langsung peristiwa tersebut pun tampaknya belum pulih seutuhnya, belum memiliki kekuatan melawan trauma untuk mereka bisa menceritakan ke generasi selanjutnya.

"Waktu saya mementaskan Chinese Whispers dalam bentuk pertunjukan instalasi itu, banyak sekali anak muda Tionghoa yang datang karena saya mengundang mereka secara khusus. Dan beberapa dari mereka sempat cerita sama saya bagaimana orang tua mereka tidak pernah membahas tentang apa yang terjadi waktu Mei '98. Mereka berterima kasih langsung kepada saya dan bilang, 'Kak Rani, thank you so much for making this works because now we can have story that we can pass on'.”

Rani, seperti halnya masyarakat Tionghoa lainnya yang ikut jadi saksi Mei '98 mengalami secara langsung, mengingat secara langsung dan merasakan takut dan cemas secara langsung. "Itu kan trauma, ya. Saya enggak bisa menyalahkan mereka bahwa mereka enggak mau cerita ke anak-anak mereka dengan detil."

Kenyataan bahwa apa yang terjadi di Mei '98 tak diceritakan tuntas bahkan oleh para saksi sejarahnya membuat Rani kecewa. Bagaimana generasi masa kini tahu sedikit, bahkan tidak tahu sama sekali soal Mei '98. "Mereka tahu sedikit tentang reformasi. Mereka tahu tentang perubahan kekuasaan. Mereka tahu ada kejadian-kejadian politik. Tapi bahwa ada pertumpahan darah, pemerkosaan massal, kerusuhan dan seterusnya, itu sama sekali mereka enggak tahu."

Default Image IDN
Default Image IDN

Rani cukup beruntung. Saat kerusuhan Mei '98 terjadi, orang tuanya termasuk kalangan berkecukupan dan bisa langsung mengirimkan anak-anaknya belajar ke Australia. Tidak semua anak dari keluarga Tionghoa di Indonesia saat itu seberuntung Rani. Sekarang pun, ketika Rani menyuarakan Mei '98, ia dalam posisi yang diuntungkan karena ia bisa bersuara lebih lantang ketimbang mereka yang mengalami langsung kerusuhan tersebut namun masih tinggal dan hidup di Indonesia.

"Saya bukan orang Tionghoa Indonesia yang tinggal di Surabaya, misalnya. Mungkin kalau saya tinggal di sana, hidup di sana dan saya tahu seperti apa dynamic di sana antar etnis, antar agama dan seterusnya, ya mungkin lebih aman kalau tidak bersuara. Kan konteksnya memang lain. Dan mungkin saya lebih  berani berbicara karena saya lebih banyak di Melbourne dibanding di Jakarta. Meskipun saya sering bolak-balik."

Rani sadar, ia tak bisa mewakili suara masyarakat Tionghoa Indonesia lainnya. "Tapi saya berhak mewakili saya sendiri dan saya berhak membagi pengalaman pribadi saya. Karena itu Chinese Whispers berangkat dari pengalaman pribadi saya," ujarnya.

Warisan kebencian

Setelah melakukan riset dalam pencarian identitasnya sebagai perempuan Tionghoa Indonesia untuk Chinese Whispers, Rani banyak bergelut dengan fakta-fakta sejarah keberadaan Tionghoa di Indonesia. Itu dibahasnya khusus di babak keempat yang bertajuk Diwarisi Kebencian

Sejarah mencatat, kaum Tionghoa sejak zaman kolonial Belanda memang kerap dijadikan kambing hitam. Bahkan Rani menyebut tragedi Mei '98 hanya bagian terkini dari sejarah panjang bagaimana masyarakat Tionghoa kerap dikambinghitamkan. Rani menyebut perjalanan sejarah ini mengusiknya. "Saya merupakan korban diskriminasi yang berlangsung secara disengajakan dalam ratusan tahun lamanya."

Kebencian banyak orang pada masyarakat Tionghoa sempat membuat Rani remaja merasa bahwa kekurangan utamanya adalah darah Tionghoa-nya itu sendiri. "Saya sangat membenci lekukan Cina mata saya. Warna kulit saya yang bukan cokelat murni tapi juga bukan kuning langsat dan bukan putih seperti Tonghoa lainnya," ungkap Rani.

"Waktu itu saya berpikir bahwa kekurangan utama saya adalah darah Tionghoa itu sendiri. Dan karena itulah kerusuhan itu dapat terjadi. Karena itulah saya bersama orang Tionghoa lainnya patut dibinasakan."

Default Image IDN
Default Image IDN

Untungnya masih banyak pengalaman yang membuat Rani merasa bahwa persatuan adalah satu-satunya jalan untuk menang dari pertempuran melawan kebencian. Ketika sempat berkunjung ke Flores tahun 2014, Rani berbaur dengan warga dan pengunjung yang datang dari berbagai latar belakang ras dan agama. Semua berkumpul jadi satu. Langit jadi saksinya.

Rani semakin berpikir soal kebencian-kebencian itu. Kebencian yang mungkin jadi salah satu pemicu mengapa kerusuhan Mei '98 terjadi. Dan semua bermuara pada doa dan harapan yang disalurkannya lewat Chinese Whispers. "Chinese Whispers merupakan doa peringatan. Kesempatan kecil untuk merenungi kejadian-kejadian '98," tulisnya dalam salah satu babak di Chinese Whispers.

Berdamai

Rani menghela napas panjang ketika saya bertanya satu hal padanya. Pertanyaan yang menurutnya sudah sering ditanyakan padanya namun selalu membuatnya berat untuk menjawab. Pertanyaan tentang apakah setelah 20 tahun berlalu, Rani sudah mampu berdamai dengan dirinya dan dengan semua hal yang terjadi di Mei '98?

Setelah mengambil jeda sesaat, Rani menjawab pertanyaan dengan lugas. "Bagaimana caranya berdamai kalau belum ada keadilan? Pengakuan yang juga bagian dari keadilan, itu pun belum merata. Can there be healing without justice? Jadi mungkin yang saya bisa lakukan adalah merangkul luka lamanya..."

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us