Kamis Masih Kelam di Depan Istana

JAKARTA, Indonesia—Ini Kamisan ke-538. Seperti Kamis-kamis lainnya, Maria Catarina Sumarsih atau yang akrab disapa Bu Marsih kembali melangkahkan kaki ke depan Istana Negara. Seperti biasa pula, pakaian serba hitam ia gunakan. Tak lupa, sebuah payung hitam ia tenteng.
“Selama saya masih dikaruniai kesehatan dan selama kasus-kasus pelanggaran (hak asasi manusia) HAM berat tidak diselesaikan saya akan terus ke sini (Istana) dan saya akan terus berjuang,” ujar Marsih di sela-sela aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis, 17 Mei 2018.
Sumarsih ialah ibunda almarhum mahasiswa Universitas Atma Jaya Bernadius Realino Norma Irmawan atau yang kerap disapa Wawan. Tepat 20 tahun lalu, Wawan meregang nyawa setelah peluru penembak jitu menembus dadanya saat sedang bersembunyi bersama rekan-rekan mahasiswa lainnya di kampus Atma Jaya di kawasan Semanggi.
Ketika itu, Wawan merupakan bagian dari jutaan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut pergantian rezim. Wawan menjadi korban tewas dalam aksi demonstrasi dan kerusuhan besar pada 11-13 November 1998 yang dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi 1. Wawan menyusul empat rekan mahasiswa yang telah lebih dahulu gugur dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.
Meskipun namanya masuk dalam jajaran pahlawan reformasi, pembunuh Wawan tidak pernah diadili. Pada akhir 2006, para orang tua korban Tragedi Semanggi 1, Tragedi Semanggi 2 dan Tragedi Trisakti kemudian menyepakati menggelar aksi diam di depan Istana Negara sebagai bentuk protes. Pada 18 Januari 2007, Kamisan pertama digelar. Payung hitam menjadi simbol Kamisan.
Kini, sudah 11 tahun Marsih berdiri di depan Istana saban Kamis. Pada 20 Mei nanti, Indonesia akan merayakan tepat dua dekade era reformasi yang ditandai pengunduran diri Presiden Soeharto. Namun demikian, Marsih mengatakan, 'hilal' keadilan bagi Wawan dan rekan-rekan mahasiswa lainnya yang gugur ketika membuka jalan bagi era reformasi belum juga terlihat.
Perempuan berusia 66 tahun itu menegaskan, akan terus kembali ke Istana Negara sampai tungkai kakinya tak mampu lagi melangkah. “Kami terus bertahan untuk melanjutkan perjuangan Wawan dan kawannya yang belum selesai. Saya terus menjaga optimisme dan merawat harapan,” imbuhnya.
Asa Marsih sebenarnya sempat membumbung tinggi saat Jokowi terpilih sebagai Presiden RI ke-7. Apalagi, dalam janji Nawacitanya, Jokowi sempat menegaskan akan membongkar pelanggaran-pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, harapan itu meredup saat Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menko Polhukam pada akhir Juli 2016.
Wiranto tercatat menjabat sebagai Panglima ABRI pada kerusuhan Mei 1998. Politikus Hanura itu bahkan kerap disebut-sebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam Tragedi Trisakti. “Wiranto pernah bilang lupakan dulu HAM, fokus keamanan. Lalu, supir truk, nelayan diterima Jokowi. Tapi, kami yang di depan mata tidak pernah diterima. Kami kecewa, tapi itu tidak akan menjadi beban kami,” ujarnya.

Regenerasi
Apalagi, lanjut Marsih, aksi Kamisan kini sudah meluas. Bukan hanya di Ibu Kota saja, aksi Kamisan juga digelar di berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Khusus di Jakarta, kini anak-anak muda pun ikut terlibat menggantikan para orang tua korban yang telah meninggal dunia dan telah lelah memperjuangkan keadilan bagi putra-putri mereka.
“Saya bangga. Sejak dari generasi ke generasi ada Kamisan dan ada regenerasi. Anak-anak muda ikut terlibat, bikin skripsi, tesis bahkan disertasi tentang Kamisan. Artinya ini terdokumentasi dengan baik. Dan mereka juga ikut. Tidak seperti di pemerintahan yang pejabat strategisnya masih itu-itu saja,” cetus dia.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Kamisan kali itu memang kini dipenuhi anak muda. Hanya sedikit terlihat peserta aksi yang sudah sepuh. Selain para aktivis dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat semisal KontraS, LBH Jakarta dan Amnesti Internasional Indonesia, sejumlah mahasiswa juga tampak di jajaran peserta aksi.
“Kita bersimpati kepada perjuangan orang tua korban. Karena biar bagaimanapun era reformasi dan kebebasan yang kita nikmati sekarang ini merupakan buah perjuangan anak-anak mereka. Dan kita sebagai mahasiswa harusnya ikut memperjuangkan,” ujar Ipung, salah seorang peserta aksi.

Kawal reformasi
Selain aksi diam, serangkaian orasi juga menjadi bagian dari aksi Kamisan sore itu. Salah satunya diisi oleh peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Miko Ginting. Meskipun bukan bagian dari mahasiswa yang terjun ke jalan pada 1998, Miko menegaskan, semua anak muda punya tanggung jawab untuk mengawal era reformasi ke jalan yang benar.
“Kita anak-anak yang lahir dalam perjalanan. Ibaratnya sebuah kapal, kita sedang berlabuh. Tidak mungkin surut lagi ke belakang. Tapi, kita tahu dalam 20 tahun era reformasi itu, ruang-ruang demokratis semakin menyusut. Shrinking space. Lewat undang-undang dan lewat kekuasaan, pemerintah terus mencoba membatasi gerak-gerik kita. Kita tidak boleh diam saja,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Menurut dia, reformasi yang ada saat ini masih bersifat institusional dan janji-janji reformasi belum terpenuhi semua. Pasalnya, orang-orang yang berkuasa pada 98 masih mengatur banyak hal di negara ini.
“Selain itu, keadilan juga belum diberikan kepada para pencari keadilan sampai sekarang. Mungkin ke depan ruang-ruang demokrasi kita akan terus dibatasi. Meskipun begitu, (tuntutan keadilan) tetap harus disuarakan,” cetusnya.
Usai Bivitri, Marsih mengambil alih mikrofon. Tak banyak yang ia ucapkan menutup Kamisan sore itu. Hanya apresiasi bagi peserta aksi dan janji untuk kembali di Kamisan ke-539 dan Kamisan-kamisan lainnya hingga kelamnya jejak pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi terang-benderang.
—Rappler.com