Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Panasnya 'Ngopi' Bareng Aktivis '98

PANAS. Acara diskusi memeringati 20 tahun reformasi berlangsung panas di YLBHI, Jakarta, Jumat malam, 18 Desember 2018. Mantan aktivis 98 Budiman Sudjatmiko (memegang mikrofon) dikritik keras oleh rekannya sesama aktivis. Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

JAKARTA, Indonesia—“Ingat ini bukan rapat PRD (Partai Rakyat Demokratik). Ingat ya ini bukan sidang PRD,” kata Ahmad Sajali sang moderator di sela-sela tugasnya memandu jalannya diskusi Ngopi ’Ngobrol Pintar’ Bareng Anak Muda Saat Reformasi dan 20 Tahun Setelahnya di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kawasan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat malam, 18 Mei 2018. 

Pernyataan itu tercetus dari mulut Jali, sapaan akrab Sajali, saat suasana diskusi mulai memanas. Ketika itu, suara cemoohan terdengar dari ratusan pengunjung yang hadir dalam diskusi yang digelar sebagai rangkaian peringatan dua dekade era reformasi itu. 

Keriuhan bermula ketika Ketua Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah alias Boing mengkritik anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko yang sama-sama menjadi narasumber di panggung. Budiman, menurut Boing, sudah kehilangan keberaniannya ketika masuk ke parlemen. 

“Saya menjadi kecewa dengan beberapa kawan yang tidak cukup kuat untuk bisa bertahan di PRD dan membangun kekuatan, dan memilih jalur pragmatis atau jalan pintas. Misalnya, kayak Budiman. Seandainya, orang-orang seperti Budiman ini bisa memanfaatkan ruang yang ada dan popularitasnya untuk berbicara kritis atas problem-problem rakyat, dan mungkin bisa membangun negara lebih baik lagi,” ujar Boing. 

Boing dan Budiman pernah sama-sama di PRD. Budiman sebagai pendiri dan Ketua Umum PRD sedangkan Boing sebagai salah satu kader militan. Didirikan pada 21 Juli 1996, PRD hanya berusia satu pekan. Pada 27 Juli 1996, pemerintah Orde Baru membubarkannya dan menudingnya sebagai dalang peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau peristiwa Sabtu Kelabu. 

Kudatuli merupakan peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Dipenogoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Ketua Umum PDI versi Kongres Medan, Soerjadi, serta dibantu aparat kepolisian dan TNI. 

Bentrok antara massa Soerjadi dan Megawati ketika itu meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Ibu Kota, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Pemerintah ketika itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan dan menjebloskan sejumlah aktivis PRD ke penjara. Budiman pun dihukum 13 tahun penjara.

Pascakemenangan gerakan demokrasi, Budiman kemudian mendapatkan keringanan hukuman lewat amnesti yang diberikan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada 10 November 1999, Budiman menghirup udara bebas. Sekeluarnya dari penjara, Budiman kemudian melanjutkan pendidikan di Inggris hingga meraih gelar master. 

Sepulangnya dari Inggris, Budiman kemudian bergabung dengan PDI-Perjuangan pada 2004 dan membentuk organisasi sayap partai Relawan Perjuangan Demokrasi. Di sisi lain, Boing masih terus ‘berkutat di jalanan’ dan menjadi aktivis gerakan buruh. Saat masuk ke dunia politik praktis itulah, menurut Boing, aktivisme politik Budiman meredup. 

“Ya, mungkin Budiman sibuk mengurusi dapil (daerah pemilihannya)-nya. Saya contohkan, Budiman berbicara enggak tentang kawan-kawannya yang hilang? Budiman berbicara enggak tentang persoalan-persoalan yang dihadapi petani dan buruh-buruh saat ini?” tanya Boing kepada para peserta diskusi. 

“Tidak!”, teriak para pengunjung diskusi yang hadir secara serempak. Budiman pun ‘mencelos’ di sisi kanan panggung dan tampak hanya tersenyum simpul. 

Selain Boing, kritik serupa juga diutarakan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Nining mengaku sedikit kecewa dengan minimnya perhatian Budiman terhadap nasib buruh dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang kerap tak sesuai dengan tujuan reformasi yang dicetuskan pada 1998.  

Budiman berkilah, tak semua pertarungan politik di parlemen bisa ia menangkan. Di fraksi saja, Budiman mengaku sulit untuk dirinya merayu semua anggota fraksi agar sepakat dengannya. Bahkan, tidak jarang ia berbeda pandangan dengan rekan satu fraksi dan kalah dalam melobi ketua fraksi dalam isu-isu strategis. 

“Dalam perang, pertarungan melawan seteru itu lebih mudah daripada pertarungan melawan sekutu. Tapi, dalam pertarungan politik, pertarungan melawan sekutu itu lebih sulit ketimbang melawan seteru,” ujarnya. 

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180518/foto-3-1c86bd081a3f4f94f3d8e83251333f76.jpg

 

Melempemnya para aktivis

Kritik terhadap Budiman juga sempat dilontarkan oleh aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter yang duduk di sebelah Boing. Bukan hanya terhadap Budiman, tapi juga aktivis-aktivis lainnya yang kini telah duduk nyaman di lingkaran kekuasaan semisal mantan Ketua KomnasHAM Ifdhal Kasim, mantan Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan dan mantan aktivis antikorupsi Teten Masduki.

Menurut Lola, para pembantu presiden dari kalangan aktivis tersebut melempem dalam memperjuangkan isu-isu yang selama ini menjadi perhatian mereka ketika berada di luar kekuasaan. “Mungkin panasnya jalanan kini sudah terhapus dinginnya AC ruangan.  Kalau di AC kan enggak ada nyamuk, bos?” kritik Lola. 

Namun demikian, tak semua mengkritik Budiman. Politikus muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany mengatakan, tak mudah untuk membangun kembali sistem politik yang kadung dicap negatif oleh publik semisal DPR. Karena itu, lanjut dia, orang-orang seperti Budiman patut dihargai karena mau terjun ke dunia politik di tengah segala keterbatasannya berupaya membenahi sistem dari dalam. 

“Meskipun tidak banyak bicara, tapi saya mengapresiasi Mas Budiman yang masih mau bekerja, misalnya merumuskan UU Desa, dan lainnya, di tengah kebobrokan sistem baik di DPR maupun di tempat-tempat lainnya. Di saat orang-orang lain bahkan sudah tidak mau lagi bekerja membenahi sistem,” ujarnya. 

Mugiyanto, mantan aktivis PRD yang pernah diculik Tim Mawar pada 1998 yang kini aktif di International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), mencoba menengahi. Menurutnya, di manapun mereka bergelut, seharusnya para aktivis politik tetap mengingat jasa-jasa rekan-rekannya yang kehilangan nyawa dan menjadi martir demi lahirnya demokrasi. 

“Di sini ada kursi-kursi kosong. Saya bayangkan kursi-kursi ini untuk Wiji Thukul, (aktivis buruh) Marsinah, dan (wartawan) Udin, dan ada Munir dan kawan-kawan hilang. Kita selalu perlu menatap wajah mereka yang menjadi martir. Kita bebas seperti sekarang ini karena mereka. Jadi,  kalau Budiman sedang melakukan deliberasi di parlemen, dia selalu melihat sosok Wiji Thukul dan teman-teman lainnya,” ujar Mugi. 

Acara diskusi yang berlangsung hampir dua jam itu ditutup dengan pernyataan singkat dari para narasumber. Dalam pernyataan penutupnya, Budiman mengakui, kelemahan-kelemahan dan kesulitannya sebagai anggota DPR. Namun demikian, ia berjanji bakal tetap berjuang di parlemen demi kesejahteraan rakyat, khususnya mengawal implementasi UU Desa yang ia susun di Komisi II DPR RI, tempatnya bernaung.

Kali itu, Budiman mendapat tepuk tangan dari para peserta diskusi. 

—Rappler.com

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us