Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Potret 'Buram' Reformasi di Kota Solo

Rappler/Ari Susanto

Oleh Ari Susanto

SOLO, Indonesia—Dua dekade lalu, Sunaryo “Yoyok” Haryo Bayu menjadi satu-satunya pewarta foto yang menjadi saksi kengerian di toko sepatu Bata di Singosaren saat kerusuhan 14-15 Mei 1998 pecah di Kota Solo. Ia mendapati sembilan jasad yang telah hangus dan rapuh di kamar mandi, sesaat sebelum dievakuasi polisi.

Peristiwa Mei 1998 seolah meninggalkan memori membekas baginya, sebuah cerita kelam tentang penjarahan, pembakaran, perusakan, demonstrasi, dan bentrokan yang mengawali kejatuhan Suharto. Hanya dalam insiden dua hari, Kota Solo berubah sekejap menjadi 'kota hantu' yang mencekam, diliputi asap dan bau gosong.

Malam harinya senyap sejak diberlakukan jam malam, hanya personel Kostrad yang berpatroli menyusuri jalan-jalan gelap tanpa penerangan. Jalan ke kampung-kampung ditutup dengan palang bambu dan besi. Penduduk bergantian ronda setiap malam.

Lebih dari 570 bangkai mobil terbakar berserakan di jalanan, gedung dan perkantoran rusak dilempari batu. Cineplex terbesar di Indonesia saat itu, Atrium 21, hangus dibakar massa yang beringas. Pabrik-pabrik tutup, bisnis dan perdagangan berhenti total, dan 16.000 orang karyawan terpaksa dirumahkan.

Dokumentasi langka

Detil peristiwa Mei 1998 itu dibekukan dalam gambar hitam-putih dan berwarna yang dipamerkan di gedung Monumen Pers Nasional selama sepekan, 12-18 Mei, untuk memperingati 20 tahun Reformasi. Foto-foto itu merupakan karya jurnalistik Yoyok, fotografer surat kabar lokal Solopos.

Berbeda dengan yang terjadi di Jakarta, kerusuhan Mei 1998 di Solo tak banyak didokumentasikan. Saat itu, Solo merupakan kota kecil yang hanya memiliki sedikit kontributor. Jumlah media cetak di era rezim otoriter Order Baru juga tak sebanyak sekarang. Beberapa di antaranya menjadi korban pemberedelan, seperti majalah Tempo, tabloid Detik, dan Editor.

Sejauh ini, satu-satunya media yang memiliki dokumentasi paling lengkap adalah Solopos, yang kemudian menjadi rujukan berbagai penelitian tentang peristiwa Mei 1998 di Solo. Sebagian besar merupakan hasil bidikan Yoyok.

“Ini hanya sekitar 80-an foto saja. Sebenarnya ada ratusan, tetapi karena bentuknya film negatif, saya butuh waktu lama untuk memilih satu per satu,” ujar Yoyok saat pembukaan pameran bertajuk Refleksi Peristiwa 1998.

Default Image IDN

Dengan kamera analog, pekerjaan Yoyok saat itu tak semudah sekarang di mana semua semuanya serba digital. Kantornya per hari hanya menjatah empat rol film isi 36, dua berwarna dan dua hitam-putih, sehingga ia bekerja dengan keterbatasan bidikan.

Faktor keselamatan juga menjadi isu penting bagi para fotografer. Yoyok hampir kehilangan nyawa saat dirinya tertangkap melanggar jam malam di wilayah Ngapeman. Seorang tentara menjatuhkannya ke aspal dan menodongkan senapan M16 persis di depan wajahnya, hampir menembaknya. Ia baru dilepas setelah menunjukkan identitasnya sebagai wartawan.

“Delapan tahun saya trauma melihat M16. Saya baru sembuh setelah membeli replika M16, saya taruh di kamar, saya lihat setiap bangun tidur, lalu saya ikut klub menembak,” ujarnya.

Jejak kerusuhan Mei 1998

Ketimbang mengedepankan teknik fotografi yang rumit, karya Yoyok lebih terkesan bidikan spontan untuk mengejar momen. Meski demikian, ia berhasil membuat gambar sebagai media bercerita sekalipun minim caption. Kelebihan Yoyok adalah memilih untuk memotret dari jarak dekat daripada menggunakan lensa tele, sehingga ia seperti terlibat dan berada di tengah situasi dalam foto.

Sisi humanisme juga menjadi ciri karyanya untuk menangkap momen emosional dari balik lensa, seperti gambar seorang polisi sedang menggendong kawannya yang terluka dalam demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan bentrokan, seorang karyawan hotel yang membawa tulisan agar jangan membakar hotelnya, dan sekelompok buruh yang berjaga agar pabrik tekstil tempat ia bekerja tidak dibakar untuk mencegah PHK.

Default Image IDN

Pameran foto ini menunjukkan jejak kerusuhan Mei 1998 di Solo tersebar merata hampir di setiap sudut kota, terutama di jalan-jalan besar seperti Jalan Slamet Riyadi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Veteran, dan Jalan Kolonel Sutarto. Bermula dari demonstrasi mahasiswa di dua kampus besar, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di ujung barat  dan Universitas Sebelas Maret (UNS) di ujung timur kota, mahasiswa bercampur dengan massa yang memenuhi jalanan. Situasi berubah tak terkendali siang hari.

“Provokatornya orang-orang yang tak dikenal dan teriak-teriak mengajak membakar dan menjarah, tetapi mereka bukan mahasiswa,” tutur Yoyok yang juga saksi kerusuhan.

Kecuali dealer mobil Timor dan Bimantara yang dimiliki anak-anak Suharto serta rumah milik Harmoko, Ketua MPR saat itu, sasaran utama kerusuhan adalah bisnis yang dikuasai kelompok Tionghoa, dari mulai toserba, supermarket, bank, bioskop, perkantoran, toko elektronik, dealer mobil dan sepeda motor, hingga toko kelontong. Setelahnya, banyak rumah-rumah dan pertokoan yang bagian mukanya dicat dengan kata-kata “Pribumi Asli” atau “Muslim Jawa”.

Kesaksian pelaku sejarah

Menurut Kapolres Surakarta yang bertugas saat itu, Brigjen Polisi (Purn) Imam Suwangsa, polisi benar-benar kewalahan mengatasi aksi massa yang anarkis. Intelijen polisi sudah memprediksi akan ada unjuk rasa besar di Solo, tetapi mereka gagal memperhitungkan dampak kerusuhan.

Polres hanya punya 400 anggota yang tersebar di lima kecamatan, sehingga kalah jumlah dan tak kuasa mencegah massa yang terlibat dalam kerusuhan. Imam hanya berusaha melokalisasi agar kerusuhan tidak menyebar ke kabupaten sekitar dengan mengontak setiap kapolres untuk melakukan penyekatan ke perbatasan.

“Jumlah massa jauh lebih banyak. Akhirnya saya hanya bisa menyaksikan perilaku masyarakat yang brutal. Bantuan dari Polda dan tentara datang hari kedua, situasi bisa dikendalikan, tetapi kota sudah terlanjur porak poranda,” tutur Imam yang juga menghadiri pameran foto itu.

Imam mengaku trauma melihat pembakaran dan penjarahan di depan matanya. Ia secara pribadi telah meminta maaf kepada masyarakat Solo karena tak bisa mengamankan demonstrasi yang, menurutnya, ditunggangi oleh kelompok yang hingga kini belum teridentifikasi.

“Itu pengalaman paling buruk sepanjang saya bertugas. Saya benar-benar trauma. Setelah itu, saya minta dipindah dari Solo, dan ditempatkan di Jawa Timur,” lanjutnya.

Default Image IDN

Salah satu korban yang selamat, Sumartono Hadinoto, menuturkan bahwa ia bersama sejumlah relawan Tionghoa saat krisis moneter 1998 ikut membantu masyarakat dengan membuat posko sembako bersubsidi selama beberapa bulan. Namun, saat kerusuhan, rumah tempat tinggalnya yang juga merupakan pabrik aluminium dan kaca tetap menjadi sasaran penjarahan dan perusakan.

 “Saya mendapat kabar, hari itu keadaan semakin memanas, massa bergerak ke timur, saya disarankan tetap di rumah. Tak lama kemudian, massa sudah berkumpul di jalan depan rumah, keadaan makin rusuh, mereka melempari, memaksa masuk rumah,” kenang pria yang biasa disapa Martono itu.

Ia dan keluarga berhasil menyelamatkan diri dengan membobol dinding belakang rumahnya. Namun, peristiwa itu menimbulkan trauma berkepanjangan sampai anak perempuannya mengajaknya pindah domisili. Martono juga sempat trauma dan memasang hidran di rumahnya dengan cadangan air ribuan meter kubik sebagai antisipasi kerusuhan dan kebakaran.

“Itu belum seberapa, ada korban yang sampai sekarang tidur dengan golok, karena masih ketakutan,” ujar pria yang mendapat anugerah Global Business and Interfaith Peace Award 2018 oleh Religious Freedom & Business Foundation (RFBF) dan United Nations Alliance of Civilizations, Maret lalu, atas peran sosialnya dalam membangun dialog antar kelompok agama, etnis, dan golongan.

Bukan hanya warga Tionghoa, kerusuhan Mei telah menelan korban masyarakat pribumi. Salah satunya adalah keluarga Sukarno, warga Pasar Kliwon, yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya, Joko Purwanto. Remaja kelas 2 SMA yang dikenal baik dan tak pernah terlibat kenakalan itu menghilang usai pulang sekolah.

“Saya sebenarnya melarang ia keluar rumah karena mendengar berita demo dan kerusuhan. Pamitnya pergi sebentar, dijemput temannya yang memakai helm balap, saya nggak bisa mengenalinya. Sampai sekarang tak tahu keberadaannya,” ujar Sukarno.

Ia sudah mencarinya ke kantor polisi, ke tempat-tempat penemuan jenazah di bekas kerusuhan, dan rumah sakit, tetapi hasilnya nihil. Hingga sekarang, Sukarno hanya bisa meyakini bahwa anaknya berada di kuburan massal tanpa nama di TPU Purwoloyo bersama puluhan lainnya.

Belajar dari masa lalu

Kini Kota Solo telah berubah. Bekas-bekas kebakaran dibangun kembali menjadi mal, pertokoan, hotel, dan pusat perbelanjaan. Kontras dengan 20 tahun lalu, saat ini Solo mendapat predikat sebagai kota ternyaman dan paling layak huni di Indonesia berdasarkan riset Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) 2017, dengan indeks kelayakan huni 66,9 mengalahkan Palembang di peringkat kedua.

Sejak Joko Widodo menjadi walikota Solo, kemajemukan menjadi wajah baru kota ini. Festival Imlek digelar sebagai agenda tahunan, sama seperti Festival Hadrah, untuk membangun toleransi antar warga kota. Dalam beberapa tahun terakhir, kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini dipimpin oleh walikota katolik, F.X. Hadi Rudyatmo, yang menang lewat pilkada.

Sayangnya, sampai sekarang pelaku dan provokator kerusuhan Mei 1998 di Solo tak satu pun terungkap dan peristiwanya nyaris terlupakan. Rencana memorialisasi dengan pembangunan monumen dan prasasti belum juga terwujud, sehingga genarasi muda usia 20-an di Solo banyak yang tak paham sejarah kotanya yang pernah hancur oleh kerusuhan.

Karenanya, pameran foto ini digelar sebagai refleksi untuk merawat ingatan para saksi sejarah yang mulai memudar setelah 20 tahun berlalu, sekaligus mengenalkan kepada generasi muda di Solo tentang episode gelap dalam sejarah Reformasi. Tujuannya, agar setiap orang mau belajar dari pengalaman masa lalu.

“Pesan moral dari pameran ini, kalau kita mengenal sejarah, harapan paling penting hanya satu, agar peristiwa serupa tidak pernah terulang kembali,” pungkas Yoyok.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us