Fenomena Koalisi Gemuk, Semakin Buka Peluang Menang di Pemilu 2024?

Prabowo jadi capres dengan dukungan parpol terbanyak

Jakarta, IDN Times - Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) kini dijuluki sebagai 'Koalisi Gemuk'. Sesuai namanya, koalisi itu menghimpun partai politik terbanyak jelang Pemilu 2024.

KKIR berisi PKB, Gerindra, PBB, Golkar, dan PAN, dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tertinggi yakni 46,9 persen. Kelima parpol itu sepakat mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.

Di posisi selanjutnya, ada Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan jumlah presidential threshold sebanyak 28,35 persen. KPP berisikan PKS, NasDem, dan Demokrat yang mendorong Anies Baswedan sebagai capres.

Terakhir, koalisi yang berisikan PDI Perjuangan (PDIP), PPP, Perindo, dan Hanura, jumlah presidential threshold-nya 25,56 persen. Koalisi ini jadi yang paling kecil dari segi angka ambang batas pencalonan presiden.

Lantas seberapa pengaruh banyaknya koalisi terhadap kemenangan di Pilpres 2024?

Baca Juga: Berbalik Dukung Prabowo, PAN Minta Kadernya Gak Usah Baperan di Pilpres 2024

1. Fenomena 2014 terulang, tapi jadi alarm bahaya buat PDIP

Fenomena Koalisi Gemuk, Semakin Buka Peluang Menang di Pemilu 2024?Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza mengatakan, secara komposisi memang fenomena 'Koalisi Gemuk' mirip dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Kala itu, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa kalah dengan duet Jokowi-Jusuf Kalla. Padahal, Prabowo-Hatta didukung banyak parpol, di antaranya, Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB. Sementara Jokowi-Jusuf Kalla hanya didukung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura.

"Fenomenanya saat ini kita dudukan pada posisi kalau komposisi partai memang bisa dianggap sama dengan 2014," ungkap Efriza kepada IDN Times, Rabu (16/8/2023).

Efriza mengatakan, anggapan Pilpres 2014 akan terulang pada 2024, di mana partai dengan koalisi besar belum tentu menang melawan koalisi kecil, merupakan bentuk kekecewaan belaka. PDIP jadi pihak yang beranggapan demikian.

Sebab, sebenarnya fenomena yang terjadi di 2014 tidak sama dengan 2024. Pada Pilpres 2014, dua paslon yang maju sama-sama tidak berasal dari petahana. PDIP sebagai parpol yang menang kala itu juga berposisi sebagai oposisi pemerintah.

Jelang Pilpres 2024, figur capres sebagai representasi pendukung pemerintah Jokowi justru lebih besar. Sementara representasi oposisinya kecil. Capres dari PDIP, Ganjar harus bersaing dengan Prabowo yang sama-sama menawarkan gagasan melanjutkan program Jokowi. Di sisi lain, kekuatan parpol yang mendukung Prabowo juga lebih besar.

"Karena kita harus melihat dulunya PDIP 2014 dan sekarang PDI di 2024 punya model yang berbeda. Di 2014, PDIP itu oposisi, waktu itu juga sama-sama kosong tidak ada yang megang petahana karena Prabowo melawan Jokowi," jelas Efriza.

Padahal seharusnya, kata Efriza, PDIP sebagai partai penguasa dan pemerintah bisa menggalang kekuatan parpol lebih besar. Sehingga peluang kemenangan di 2024 terbuka lebar.

"Di 2024 PDIP perjuangan ini adalah partainya pemerintah, penguasa politik. Sudah terlihat jelas ini berbeda dengan 2014, antara oposisi dengan partai pemerintah. Harus melihat bahwa PDIP ini semestinya karena dia partai pemerintah dia harusnya bisa merajut kembali dukungan dari partai-partai pemerintah, bukan malah ditinggal," ucap dia.

Di samping itu, jika melihat dua pasangan yang berada di barisan pendukung pemerintahan Jokowi, yakni Ganjar dan Prabowo, keduanya masih berebut loyalitas dari pemilih Jokowi.

Efriza lantas menyoroti, tren yang seharusnya jadi kekhawatiran PDIP. Partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu dengan koalisi yang kecil berpeluang ditinggal pemilih Jokowi pada 2014 dan 2019. Hal itu lantaran, publik mengasumsikan pengakuan pemerintah lebih menguat ke Prabowo.

"Ganjar hanya pakaian saja, kayaknya Hitam putih dipilihin Jokowi, kemudian pakai baju lagi gambarnya Jokowi. Kan Prabowo malah bisa menjelaskan banyak hal tentang kebijakannya Jokowi, seperti hilirisasi yang dia jelaskan. Ini artinya fenomena yang sama lagi, bahwa kubu pemerintah partainya pemerintah selalu ditinggal ketika dia sudah menjabat dua periode harusnya itu yang menjadi alarm bagi Ganjar dan PDIP," jelas dia.

Baca Juga: Berbalik Dukung Prabowo, PAN Minta Kadernya Gak Usah Baperan di Pilpres 2024

2. Ganjar tanggapi soal terbentuknya 'Koalisi Gemuk' dan ungkit Pilpres 2014

Fenomena Koalisi Gemuk, Semakin Buka Peluang Menang di Pemilu 2024?Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo di Sekolah Partai DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, bakal calon presiden (bacapres) dari PDIP, Ganjar Pranowo, merespons santai terkait hal tersebut.

Ganjar kemudian teringat ketika Presiden Joko "Jokowi" Widodo maju sebagai capres di Pilpres 2014. Ketika itu, banyak parpol yang melabuhkan dukungannya kepada Prabowo Subianto.

“Jadi menurut saya itu biasa-biasa saja dan kisah ini pun pernah terjadi pada saat 2014 kalau tidak salah. Saat itu yang mendukung lawannya Pak Jokowi itu juga sama, mereka semua berbondong-bondong ke sana dan kejadian ini kita catat dalam perjalanannya dan selalu ada dinamika yang berubah,” ujar Ganjar dalam keterangannya, Minggu (13/8/2023).

Gubernur Jawa Tengah itu mengatakan, partai berkoalisi untuk mengusung capres merupakan hal biasa. Menurutnya, hal tersebut harus terjadi di negara demokrasi.

“Dalam proses demokrasi sebenarnya itu biasa saja dan saya sangat menghormati sikap masing-masing partai. Pasti beliau-beliau juga sudah memberikan keputusan, sudah punya catatan-catatan harus merapat ke mana,” ucap dia.

Dalam kesempatan itu, Ganjar mengatakan, semua parpol saat ini masih melakukan komunikasi politik. Sebab, politik menuju Pilpres 2024 masih cair.

“Ya sekarang semuanya lagi bernegosiasi. Maka kalau ada partai merapat ke salah satu titik menurut saya itu hak politik mereka,” kata dia.

“Dan buat kita, buat kami, yang sudah mendeklarasikan tentu ini adalah bagian dari ikhtiar kita untuk berkomunikasi secara baik, baik yang sudah mendukung maupun yang belum dan suasananya masih sangat cair sekali,” sambungnya.

Lebih lanjut, Ganjar menyampaikan selamat kepada Prabowo Subianto yang telah mendapat dukungan dari Golkar dan PAN. Saat ini, Prabowo mendapat dukungan dari Gerindra, PKB, PBB, Golkar dan PAN untuk maju di Pilpres 2024.

"Saya ucapkan selamat sudah bergabung (ke koalisi Prabowo), ini proses demokrasi yang biasa saja, dan tentu saja yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga demokrasi berjalan dengan baik, apa yang mesti kita bereskan dari persoalan bangsa dan negara ini,” imbuhnya.

Baca Juga: PDIP Kritik Program Food Estate Jokowi, Begini Respons Prabowo

3. Anies nilai rakyat tak hanya terpaku pada parpol yang ikut koalisi

Fenomena Koalisi Gemuk, Semakin Buka Peluang Menang di Pemilu 2024?Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan. (www.instagram.com/@aniesbaswedan)

Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, mengucapkan selamat kepada Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah menyatakan dukungannya kepada Prabowo Subianto.

Meski begitu, bertambahnya dua parpol parlemen untuk memperkuat Prabowo pada Pilpres 2024 tidak lantas menyurutkan langkahnya memantapkan koalisi bersama Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat.

"Kami sampaikan selamat kepada Partai Golkar dan PAN yang sudah memutuskan untuk bergabung di koalisi. Tapi bagi kami bismillah, kami terus jalan," ujar Anies di Yogyakarta, Minggu (13/8/2023).

Di sisi lain, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku tidak khawatir dengan partai koalisi pendukung Prabowo yang sangat 'gemuk'. Ia telah mendapatkan pelajaran berharga ketika mengikuti Pilkada DKI Jakarta pada 2017.

Saat itu, Anies dan Sandiaga Uno hanya didukung PKS dan Gerindra. Belakangan, Partai Demokrat ikut memberikan dukungan usai Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak lolos ke putaran kedua.

Ketika itu, lawan Anies yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok didukung lima parpol besar. Mereka adalah PDI Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), NasDem, Golkar, dan Hanura.

"Kami pernah punya pengalaman di Jakarta, hanya berdua. Hanya berdua. Tapi apa yang terjadi? Rakyat memberikan pilihannya dengan banyak faktor," tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Anies-Sandi berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta. KPU DKI Jakarta ketika itu mengumumkan Anies-Sandi berhasil meraih 3,2 juta suara. Sedangkan, Ahok-Djarot hanya meraih 2,3 juta suara.

Baca Juga: Singgung Jokowinomics, Prabowo Usul Program Menuju Indonesia Emas

4. Jusuf Kalla sebut banyak parpol yang gabung koalisi tak jamin kemenangan

Fenomena Koalisi Gemuk, Semakin Buka Peluang Menang di Pemilu 2024?Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Sementara itu, Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla (JK) menyebut, tidak ada jaminan bagi capres dengan dukungan parpol besar bisa memenangkan Pilpres 2024. Termasuk peluang Prabowo yang saat ini jadi capres dengan dukungan parpol terbesar.

JK menegaskan, faktor utama yang menjadi penentu kemenangan di pilpres ialah rakyat, bukan partai politik yang mengusung. Parpol peserta pemilu hanya mengajukan nama, yang memilih tetap rakyat.

"Yang memilih kan rakyat. Partai yang mengusulkan, yang memilih rakyat. Terserah rakyat bagaimana, rakyat ada yang ikut partainya, ada juga yang tidak. Selama ini begitu," jelas dia saat kepada awak media di Markas PMI Pusat, Jakarta, Senin (14/8/2023).

JK lantas menyinggung Pilpres 2004, saat dia bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak didukung banyak partai, tetapi berhasil menang.

"Tidak ada jaminan. Sama dengan saya waktu 2004, Anda masih ingat, (wartawan) masih SMP mungkin ya, itu kita hanya didukung 11 persen, 4 partai. Tapi menangnya 60 persen. Jadi beda itu. Tidak simetris sama sekali," jelas dia.

Selain pengalaman 2004, Jusuf Kalla juga mencontohkan ketika dia maju sebagai capres pada Pilpres 2009 dengan menggandeng Wiranto sebagai cawapres.

Menurutnya, berdasarkan hitung-hitungan, jumlah suara yang bisa dia raih seharusnya mencapai 20 persen. Namun, kenyataannya, suara mereka jauh di bawah itu. Pasangan JK-Wiranto kalah di Pilpres 2009.

Hal itu membuktikan, masyarakat tak melihat dari mana asal partainya, melainkan siapa figur yang ditawarkan.

"Pengalaman saya dengan Pak Wiranto dulu, kalau dihitung-hitung jumlah suara itu lebih 20 persen. Tapi hanya dapat suara 14 persen, tidak simetris, tergantung. Kalau sudah masuk ke pemilu itu, orang tidak lagi melihat partainya, orang melihat tokohnya," tutur dia.

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya