Tentara Dikerahkan, Jam Malam Berlaku di Nepal Usai Kerusuhan

- Gelombang protes dipicu oleh larangan media sosial dan tuduhan korupsi yang meluas, dipimpin oleh "Gen Z" dan menyebar ke seluruh negeri.
- Kerusuhan memaksa perdana menteri KP Sharma Oli mundur, meninggalkan Nepal dalam kekosongan politik berbahaya.
- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar semua pihak menahan diri, sementara lembaga International Crisis Group menyebut krisis ini sebagai titik balik besar.
Jakarta, IDN Times - Tentara Nepal dikerahkan ke jalanan Ibu Kota Kathmandu pada Rabu (10/9/2025), setelah gelombang protes besar-besaran berujung pada pembakaran gedung parlemen dan pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli. Kerusuhan ini disebut sebagai kekerasan politik paling parah di negeri Himalaya dalam dua dekade terakhir.
Kendaraan lapis baja berpatroli di jalan-jalan sepi, sementara pengeras suara militer mengumumkan jam malam untuk meredam kerusuhan. Bekas puing kendaraan terbakar dan bangunan yang hangus masih terlihat, dengan asap tipis mengepul dari beberapa kantor pemerintah yang dibakar massa.
Kepala Staf Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyerukan agar para pengunjuk rasa menghentikan aksi mereka. “Saya mengimbau seluruh warga untuk mengakhiri protes dan membuka ruang dialog. Tindakan perusakan dan penyerangan tidak akan ditoleransi,” katanya, dilansir Channel News Asia.
1. Protes media sosial jadi pemberontakan nasional

Gelombang protes awalnya dipicu oleh larangan pemerintah terhadap sejumlah platform media sosial, pada Senin (8/9/2025), di tengah tuduhan korupsi yang kian meluas. Gerakan ini dipimpin anak muda dan menamakan diri mereka “Gen Z”, dengan kemarahan yang berfokus pada ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Namun aksi yang awalnya berlangsung di ibu kota cepat menyebar ke seluruh negeri. Tindakan aparat yang menewaskan sedikitnya 19 orang justru memperbesar kemarahan publik. Sejumlah kantor pemerintah, rumah pejabat, hingga supermarket ikut dibakar.
Di dinding gedung parlemen yang terbakar, pengunjuk rasa menuliskan pesan bernada penghinaan kepada pemerintah yang tumbang: “Kalian memilih pertarungan yang salah”, ditandatangani oleh Gen Z.
2. Pemerintah tumbang, krisis politik dimulai

Kerusuhan memaksa KP Sharma Oli, perdana menteri berusia 73 tahun dan tokoh Partai Komunis, mundur dari jabatannya. Ia menyebut keputusannya sebagai langkah menuju solusi politik, meski keberadaannya kini tidak diketahui publik.
Rumah pribadi Oli di Kathmandu menjadi sasaran massa yang membakarnya pada Selasa malam. “Ini akibat dari dosa para pemimpin kita,” ujar Dev Kumar Khatiwada, mantan polisi berusia 60 tahun.
Meski demikian, ia mengkritik keras aksi vandalisme. “Kekerasan tidak akan pernah jadi jalan keluar,” lanjut dia.
Pengunduran diri Oli meninggalkan Nepal dalam kekosongan politik berbahaya. Belum jelas siapa yang akan memimpin pemerintahan sementara. Sedangkan tentara memperingatkan segala bentuk vandalisme, karena akan dianggap sebagai tindak kriminal.
3. Dunia internasional ikut prihatin

Gelombang kekerasan di Nepal menarik perhatian global. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melalui juru bicaranya menyerukan agar semua pihak menahan diri. “Kekerasan lebih lanjut hanya akan memperburuk keadaan,” katanya.
Lembaga International Crisis Group menyebut krisis ini sebagai titik balik besar dalam perjalanan demokrasi Nepal yang masih rapuh. Analis Ashish Pradhan menekankan perlunya segera membentuk pemerintahan transisi yang kredibel, terutama dengan melibatkan tokoh yang dipercaya generasi muda.
Konstitusionalis Dipendra Jha menambahkan, “Protes ini hanya bisa diredakan jika ada aliansi baru antara pemimpin gerakan, militer, dan elite politik untuk membentuk pemerintahan caretaker.”
Meski dipicu oleh larangan media sosial, kemarahan publik mencerminkan masalah struktural yang lebih dalam. Data Bank Dunia menunjukkan lebih dari 20 persen anak muda berusia 15–24 tahun di Nepal menganggur, sementara PDB per kapita negara ini hanya sekitar 1.447 dolar AS atau hanya sekitar Rp23 juta.
Kemarahan makin memuncak setelah warganet membandingkan kehidupan sulit mereka dengan gaya hidup mewah anak-anak pejabat yang dipamerkan di TikTok – salah satu platform yang lolos dari pemblokiran pemerintah. Dan tagar #Nepobaby #NepoKids juga menggema di media sosial yang pemblokirannya langsung dicabut.