Keluhkan Jalan di Jatim Rusak, Mahasiswa Uji UU Lalu Lintas ke MK

- Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 273 ayat 1 UU LLAJ diuji materiil ke MK.
- Penyelenggara jalan wajib segera memperbaiki jalan rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
- Anggaran tersedia sehingga penyelenggara jalan tidak ada alasan menunda penanganan jalan rusak.
Jakarta, IDN Times – Tiga orang mahasiswa yakni Wahyu Nuur Sa’diyah (Pemohon I), Anggun Febrianti (Pemohon II), dan Lena Dea Pitrianingsih (Pemohon III) mengajukan uji materiil Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 273 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan rusaknya jalan di Tulungagung, Jawa Timur dengan menguji UU LLAJ.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Permohonan Nomor 249/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Ruang Sidang Panel MK, Jakarta Pusat pada Rabu (17/12/2025).
Adapun bunyi Pasal 24 ayat 1 UU LLAJ menyatakan, “Penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas”. Sementara, Pasal 273 ayat 1 UU LLAJ menyatakan, “Penyelenggara jalan (pemerintah pusat/daerah) yang tidak segera dan patut memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas (luka ringan/kerusakan barang) dapat dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta, dengan ancaman pidana lebih berat jika mengakibatkan luka berat atau kematian, serta sanksi bagi yang tidak memberi rambu pada jalan rusak tersebut”.
1. Soroti celah dalam penundaan pelaksanaan perbaikan jalan

Lena menyatakan, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28H ayat 1, dan Pasal 28 I ayat 4 UUD NRI Tahun 1945. Sebab dalam praktiknya, Pasal 24 ayat 1 UU LLAJ dinilai dapat dijadikan sebagai celah dalam penundaan pelaksanaan perbaikan jalan.
Frasa “segera” dalam pasal tersebut dianggap tidak memberikan kepastian hukum terkait tenggat maksimal pelaksanaan perbaikan jalan yang rusak. Akibatnya penyelenggara jalan dapat menunda kewajiban untuk perbaikan jalan, sehingga berpotensi meningkatkan risiko keselamatan bagi pengguna jalan.
2. Anggaran tersedia sehingga penyelenggara jalan tidak ada alasan menunda penanganan jalan rusak

Disebutkan bahwa biaya untuk pemeliharaan jalan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan setiap tahun, sehingga biaya untuk pemeliharaan seharusnya sudah disiapkan sejak awal dan harus tersedia secara berkelanjutan. Oleh karenanya penyelenggara jalan memiliki kecukupan anggaran untuk segera melakukan perbaikan.
Sehingga penyelenggara jalan tidak mempunyai alasan untuk menunda penanganan jalan yang rusak, terlebih ketika penundaan tersebut mengancam keselamatan pengguna jalan dan berpotensi menimbulkan korban jiwa. Penundaan perbaikan jalan dengan alasan administrasi anggaran justru bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk melindungi warga negara.
“Menyatakan kata ‘segera’ dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “dalam waktu paling lambat sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan, atau selambat-lambatnya diselesaikan pada tahun anggaran berjalan dengan menggunakan dana pemeliharaan rutin atau dana tanggap darurat,” ucap Anggun membacakan petitum permohonan para Pemohon.
3. Nasihat hakim terhadap pemohon

Dalam nasihat hakim, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebutkan agar Pemohon memperkuat penjelasan yang disertai bukti dari kerugian konstitusional yang dialaminya akibat keberlakuan norma a quo. "Yang dimohonkan hanya penafsiran kata “segera” maka dibaca normanya secara utuh, ada ayat 1 dan ayat 2, lalu bagaimana menafsirkannya. Bagaimana melihat itu sebagai satu kesatuan norma, di sini kalau tidak segera bisa juga memasang tanda di situ (jalan rusak),” jelas Enny kepada para Pemohon yang menghadiri sidang secara daring.
Kemudian Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh memberikan catatan terkait pemahaman para Pemohon tentang perlu membaca terlebih dahulu PMK 7/2025 dan makna ne bis in idem. “Di dalam permohonan ini ada juga uraian kualifikasi masing-masing Pemohon yang belum pernah melaporkan. Ini kesannya pasif. Kalau bisa perkuat juga dengan adanya tambahkan asas atau doktrin untuk meyakinkan hakim dalam menafsirkan norma yang diujikan ini,” terang Daniel.
Bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah yang telah diperbaki tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 23 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para pemohon.

















