Jokowi Tagih Kucuran Dana Negara Maju untuk Tangani Krisis Iklim

Masa depan hutan Indonesia pun bergantung pada bantuan asing

Jakarta, IDN Times - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengatakan negara-negara maju harus menyumbang lebih banyak dana dan teknologi untuk menghadapi krisis iklim. Pernyataan itu disampaikan Jokowi pada konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP26 di Glasgow pada Senin (1/11/2021).  

Jokowi juga menyinggung kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai strategi kunci dalam menurunkan emisi karbon. Dia juga menyebut krisis iklim sebagai ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.

“Dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia terus berkontribusi dalam menanggulangi perubahan iklim. Kami, negara-negara dengan kawasan hijau yang luas dan potensi penghijauan kembali, serta negara-negara dengan lautan luas yang berpotensi berkontribusi dalam penyerapan karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju,” kata Jokowi, dikutip dari Channel News Asia.

Baca Juga: Jokowi: Dukungan Negara Maju pada Perubahan Iklim Jadi Game Changer

1. Jokowi harap negara-negara maju penuhi komitmennya

Jokowi Tagih Kucuran Dana Negara Maju untuk Tangani Krisis IklimPresiden Jokowi tiba di Glasgow, Skotlandia, menghadiri KTT Pemimpin Dunia COP26. (dok. Biro Pers Kepresidenan)

Negara miskin dan berkembang mendorong negara-negara kaya untuk memenuhi komitmennya menyumbangkan 100 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.426 triliun per tahun untuk mendanai proyek iklim. Komitmen itu tertuang dalam Perjanjian Paris 2015.

Sayangnya, janji tersebut belum pernah terealisasikan. Menurut laporan terbaru yang dirilis jelang COP26, dana itu diperkirakan tidak akan cair hingga 2023.

“Pemenuhan pendanaan iklim oleh negara mitra maju merupakan game changer dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bagi negara berkembang. Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat untuk mencapai tujuan bersih nol emisi dunia,” terang Jokowi.

“Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kita? Transfer teknologi seperti apa yang akan diberikan? Ini menciptakan tindakan dan implementasi secepat mungkin,” sambung dia.

Baca Juga: Perubahan Iklim: Apa itu COP26 dan Mengapa itu Penting?

2. Dengan bantuan asing, skema emisi nol bersih Indonesia bisa lebih cepat

Jokowi Tagih Kucuran Dana Negara Maju untuk Tangani Krisis IklimIDN Times/Kevin Handoko

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, mengatakan bahwa Indonesia dapat mencapai emisi nol bersih lebih cepat dari rencana 2060 jika negara-negara maju memberikan bantuan untuk transisi energi.

“Jika bantuan keuangan atau bantuan teknologi tersedia dari negara maju, maka kita bisa membuatnya lebih awal dari 2060. Itu syaratnya. Saya pikir itu mungkin. Tantangan ini, khususnya terkait keuangan, perlu menjadi beban bersama dengan negara lain. Kami berharap mereka akan berkomitmen untuk memenuhi janji atau janji mereka,” kata Alue.

“Tanpa 100 miliar dolar AS per tahun, mungkin sangat sulit bagi negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim,” tambah dia.

Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, pasar karbon dan instrumen harga akan menyediakan platform untuk transromasi energi rendah emisi di dalam negeri. Kendati begitu, dia memperingatkan supaya Indonesia tidak dimanfaatkan.

Indonesia akan mulai memungut pajak karbon dari operator pembangkit listrik tenaga batu bara beremisi tinggi mulai April tahun depan.

“Ini adalah permainan global, tetapi dalam permainan ini, Indonesia harus melindungi kepentingan kita sendiri,” katanya.

Baca Juga: Usai dari KTT G20, Jokowi Bertolak ke Glasgow Hadiri COP26

3. Tantangan bagi Indonesia

Jokowi Tagih Kucuran Dana Negara Maju untuk Tangani Krisis Iklimilustrasi deforestasi (instagram.com/greenpeace)

Transformasi energi mejadi salah satu tantangan Indonesia. Pada waktu yang bersamaan, Indonesia dituntut memulihkan hutan dan lahan gambutnya, mereformasi sektor energi padahal masih sangat bergantung dengan bahan bakar fosil, dan mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah bonus demografi.

Jokowi mengatakan, deforestasi di Indonesia telah turun ke tingkat terendah dalam 20 tahun, kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020, dan rehabilitasi kawasan hutan bakau yang luas sedang berlangsung.

Pemerintah Indonesia menginginkan sektor kehutanannya menjadi penyerap karbon bersih, yang menyerap lebih banyak karbondioksida dari atmosfer daripada yang dihasilkannya pada akhir dekade ini.

Sayangnya, kebijakan dalam negeri dianggap belum tegas dalam melarang deforestasi, yang biasanya didorong untuk pembukaan lahan bakal perkebunan kelapa sawit dan kayu.

Jokowi juga menyoroti upaya Indonesia untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, serta taman industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya