Kesaktian Pangan Kita

PBB memakai istilah IPC untuk menilai kondisi krisis pangan

Kesaktian suatu ideologi akan diuji dengan melihat pengaruhnya sebagai pemandu perumusan kebijakan, yang kemudian diwujudkan dalam tindakan dan kegiatan, dan akhirnya terlihat dari hasilnya yang membawa kesejahteraan. 

Saat ini tengah berlangsung ujian berat yang belum pernah terjadi dalam ingatan sejarah sebelumnya.  Ujian itu adalah wabah pandemi, yang berlanjut dengan krisis ekonomi, lalu perang terjadi, dan saat ini terjadi ujian krisis harga pangan dan energi.

Lembaga-lembaga PBB menggunakan Klasifikasi Pentahapan Ketahanan Pangan Terpadu atau Integrated Food Security Phase Classification (IPC) untuk menilai kondisi krisis pangan. IPC Tingkat 1 adalah kondisi pangan yang umumnya cukup dan terjangkau. Tingkat 2 mulai ada gangguan ketersediaan pangan atau kemampuan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi pangan masih ada.  Tingkat 1 dan 2 ini belum dikategorikan sebagai krisis pangan.

IPC Tingkat 3 adalah kondisi banyak rumah tangga yang mulai menghadapi masalah kekurangan pangan atau ketidak pastian akan mendapatkan pangan yang cukup. Tingkat 4 sudah masuk kondisi darurat dengan masalah kekurangan pangan yang berat, yang menimbulkan penyakit dan penderitaan. Sedangkan Tingkat 5 adalah situasi kelaparan yang luar biasa yang berakibat pada kematian massal. IPC Tingkat 3, 4 dan 5 inilah yang disepakati sebagai kondisi krisis pangan.

Global Report on Food Crises tahun 2022 menyatakan bahwa krisis pangan (IPC Tingkat 3 keatas) masih terjadi dan jumlah populasi dunia yang mengalaminya bertambah 38 juta orang, dari 155 juta orang tahun 2020 menjadi 193 juta tahun 2021.  Dari jumlah tersebut, 70 persennya ada di 10 negara: di Kongo, Afganistan, Ethiopia, Yaman, Nigeria, Syria, Sudan, Sudan Selatan, Pakistan, dan Haiti.

Ternyata, sejak 20 tahun yang lalu (2002) ke-10 negara itu telah menjadi negara-negara dengan kodisi krisis pangan yang akut.  Krisis pangan ternyata adalah masalah jangka panjang. 

Menggunakan definisi PBB diatas, apa yang terjadi secara global saat ini bukanlah krisis pangan, tetapi krisis harga pangan, krisis harga bahan bakar, dan krisis harga pupuk (food, fuel, and fertilizer price crisis).  

Baca Juga: Guyur Rp95 Triliun, Begini Jurus Jokowi Jaga ketahanan Pangan

Kesaktian Pangan KitaANTARA FOTO/Aji Styawan

Meskipun bukan krisis pangan yang berakibat pada kelaparan, krisis harga pangan tetaplah sesuatu yang sangat serius dan tidak boleh dipandang enteng. Dalam 25 tahun terakhir terjadi setidaknya 4 kali krisis harga pangan, yaitu tahun 1997-1998, 2007-2008, 2011-2012, dan saat ini 2021-2022. 

Dalam tiga krisis harga pangan sebelumnya, perkembangan yang kemudian mengikuti kenaikan harga pangan itulah yang lebih mengkhawatirkan. Tahun 1997-1998 kenaikan harga pangan di Indonesia diikuti dengan krisis politik yang menjatuhkan rezim Orde Baru. Tahun 2007-2008 antara lain terjadi krisis sosial politik di India, Somalia, Tunisia yang dipicu oleh kenaikan harga pangan. Dan tahun 2011-2012 krisis harga pangan turut menyulut terjadinya gejolak di Libya, Tunisia, Yaman, dan negera-negara Arab lainnya, yang dikenal sebagai The Arab Spring.

Itulah sebabnya, krisis harga pangan saat ini benar-benar menjadi perhatian pemerintah di berbagai negara. Sejarah menunjukkan resiko sosial politik akibat dari kenaikan harga pangan tidak boleh diabaikan.

Indonesia tidak termasuk dalam negara yang terkategori mengalami krisis pangan sesuai definisi IPC Tingkat 3 atau diatasnya. Memang terjadi kasus masalah pangan, seperti yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, bulan Agustus lalu; akibat dari kondisi iklim ekstrim. Namun masalah itu cepat dapat teratasi. Sekitar 15 tahun lalu, di daerah Yahukimo, Papua, juga terjadi masalah serupa, yang juga dapat cepat teratasi.

Di Indonesia pun tidak ada antrian panjang orang untuk mendapatkan pangan. Antrian minyak goreng yang sempat terjadi lebih karena permasalahan harga, bukan karena ketersediaan. Tidak pernah terdengar ada kelaparan yang menyengsarakan atau membawa korban dalam jumlah yang banyak, bahkan pada situasi krisis kenaikan harga pangan yang saat terjadi sekalipun.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada masalah pangan.

Dalam daftar Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) tahun 2019 Indonesia berada pada posisi 62.  Tahun 2020, turun ke posisi 65, lebih rendah dari Malaysia, Thailand dan Singapura; dan turun lagi ke posisi 69 di tahun 2021. Artinya ketahanan pangan Indonesia memburuk.

Menggunakan peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, yang juga digunakan oleh Kementerian Pertanian, pada tahun 2018 warna ‘merah’ (kondisi pangan yang rentan) menonjol terlihat dari Papua dan beberapa titik kabupaten, meskipun secara umum petanya berwarna hijau (ketahanan pangan aman).

Pada tema peta yang sama untuk tahun 2021 terlihat Papua masih mendapat warna ‘merah’ dan ada titik-titik warna merah (atau pink) baru yang pada tahun 2018 masih hijau. Peta tersebut menunjukkan ada penambahan 4 kabupaten/kota yang rentan rawan pangan, dari 70 kabupaten kota menjadi 74 kabupaten kota. Memang ada perbedaan metode pengukuran, tetapi hal tersebut tetap memberikan indikasi bahwa ada masalah dalam pangan kita.

Kesaktian Pangan KitaIlustrasi stok minyak goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Jika dilihat lebih dalam, setidaknya ada tiga permasalahan pangan serius yang harus dihadapi. Pertama, kecukupan konsumsi pangan yang diukur dengan pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) masih berkisar 80-90an dalam lima tahun terakhir. Artinya masih di bawah angka harapan 100. Pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, skor PPHnya bahkan hanya 50-70an yang menunjukkan konsumsi pangan masih kurang jauh di bawah harapan.

Kedua, masalah stunting dialami sekitar 30 persen penduduk, yang terjadi bersamaan dengan masalah obesitas dialami sekitar 20 persen penduduk, dan masalah kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan zat besi, yodium, dan Vitamin A; yang masing-masing masih dialami oleh sekitar 24 persen, 17 persen, dan 22 persen dari sebagian penduduk Indonesia. Ketiga masalah yang dikenal sebagai ‘tripple burden’ ini mengindikasikan masalah yang dalam ilmu gizi dikenal sebagai ‘hidden hunger’ atau kelaparan tersembunyi.

Ketiga, masalah fluktuasi harga pangan.  Dalam 50 tahun terakhir, fluktuasi harga pangan (volatile food price) selalu menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Selain dampak riil pada kemampuan keluarga-keluarga memenuhi kebutuhan pangannya, fluktuasi harga pangan selalu memiliki pengaruh kuat pada inflasi, yang kemudian mempengaruhi berbagai aspek lain dalam perekonomian.

Belajar dari pengalaman fluktuasi harga pangan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, perkembangan harga internasional – terutama untuk pangan yang bersifat ‘tradeable’ – serta kebijakan, tindakan dan kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikannya. 

Setidaknya dalam paruh pertama tahun 2022, ditengah kenaikan harga pangan dunia, inflasi Indonesia masih relatif terkendali. Kondisi tersebut ditengarai utamanya disebabkan karena kondisi iklim tahun 2020, 2021 dan 2022 yang relatif bersahabat – cukup hujan. Akibatnya harga beras relatif stabil dan ini menjadi salah satu penentu utama stabilnya inflasi pangan.

Namun, bagaimana dengan tahun 2023? Setelah tiga tahun berturut-turut terjadi iklim basah (LaNina), patut diantisipasi terjadinya iklim kering (ElNino). Hal ini dapat mempengaruhi produksi beras, yang kemudian berpengaruh pada harga beras.

Jadi, ditengah ‘tahun politik’ menjelang Pemilu, “ideologi pangan” kita akan benar-benar diuji ‘kesaktiannya’.  Ideologi harus dapat memberi panduan yang jelas agar dapat diambil keputusan cerdas berbasis ilmu pengetahuan dan data yang akurat, serta kemudian dilanjutkan dengan tindakan dan kegiatan pelaksanaanya juga tepat dan cepat.

Konsumsi pangan masyarakat, terutama konsumsi daging, sayur dan buah, harus ditingkatkan disertai fokus perhatian untuk mengatasi ‘triple burden’, di tengah keharusan mengelola resiko inflasi pangan akibat kemungkinan iklim dan situasi dunia yang tidak bersahabat.  

Inilah salah satu bentuk ujian ‘kesaktian Pancasila-in-action’ yang sebenarnya.

(Penulis, merupakan dosen senior Institut Pertanian Bogor)

Baca Juga: Peran Indonesia di G20 dan ASEAN Atasi Krisis Pangan Global

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya