Kontribusi Indonesia pada Perdamaian di Kolombia

Indonesia selalu menunjukkan sikap konsisten

Perdamaian tidak memiliki atau pun tak harus memiliki warna politik. Perdamaian adalah kebutuhan mendesak masyarakat untuk maju dan membangun dengan persamaan (Juan Manuel Santos, mantan Presiden Kolombia dalam bukunya ‘Batalla por la Paz – Pertarungan untuk Perdamaian’, 2019: 569).

Indonesia selalu menunjukkan sikap konsisten mendukung perdamaian di Kolombia. Selaku anggota Dewan Keamanan pada tanggal 25 September lalu, Indonesia kembali mendukung perpanjangan mandat Kantor PBB untuk Verifikasi di Kolombia sebagai salah satu bentuk dukungan internasional dalam implementasi perdamaian di negeri itu. Seberapa besar sebenarnya Indonesia berkontribusi pada perdamaian di Kolombia?

Sekadar kilas balik, perdamaian di Kolombia yang dicapai pada 24 November 2016, merupakan salah satu perjanjian damai bersejarah di abad 21 yang mengakhiri konflik bersenjata di negeri itu selama 50 tahun lebih antara Pemerintah dan kelompok pemberontak terbesar, FARC (Fuerzas Armada Revolucionarias de Colombia). Tak pelak, Kolombia menjadi pusat perhatian dunia dan perjanjian damai ini mengantarkan pada arsiteknya, Presiden Juan Manuel Santos (2010-2018) memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2016.

Tercapainya perdamaian di Kolombia memerlukan proses panjang. Presiden Juan Manuel Santos dalam buku Batalla por la Paz menyebutkan bahwa dirinya memimpikan perdamaian sejak kecil. Ia lalu memulai mengakumulasi strategi dan taktik untuk memenangkan pertarungan tersebut, demi mencapai perdamaian sejak dirinya menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Pertahanan.

Sebagaimana proses perdamaian di banyak tempat, proses perdamaian di Kolombia melibatkan negara-negara lain dan dunia internasional. Dukungan internasional ini diperlukan guna memperoleh masukan dan dukungan bagi implementasi hasil-hasil perdamaian yang disepakati. Beberapa negara yang dikenal publik telah memberikan kontribusinya antara lain Norwegia dan Kuba sebagai penjamin saat berlangsung perundingan, Chile dan Venezuela sebagai pendamping, dan negara-negara lain di kawasan.

Tak banyak muncul di publik bahwa Indonesia telah berkontribusi terhadap proses perdamaian di Kolombia, bahkan hingga fase implementasi. Memang Indonesia dan Kolombia merupakan dua negara antípoda, letaknya saling berjauhan dengan beda waktu 12 jam. Namun dalam urusan perdamaian, Indonesia selalu ikut aktif berkontribusi tak terkecuali terhadap proses perdamaian di Kolombia. Kontribusi Indonesia dapat dikategorikan dalam dua hal yaitu:

  • Pertama, memberikan masukan saat masih berlangsung perundingan dengan berbagi pengalaman Pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik di Aceh, khususnya yang berkaitan dengan post conflict resolution seperti rehabilitasi korban, reintegrasi mantan kombatan ke dalam masyarakat. Caranya, dengan memberikan berbagai kapasitas dan rekonstruksi membangun kembali masyarakat pedesaan dengan pembangunan lokal agar warga yang terdampak konflik memiliki kemandirian, dan mereka bisa membangun kampungnya sendiri secara berkesinambungan.
  • Kedua, melanjutkan kontribusi pada fase implementasi dengan berbagi best practices yang dimiliki Indonesia khususnya program pembangunan pedesaan bekas wilayah konflik yang dikemas dengan program crops for peace.

Keberhasilan Pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik di Aceh telah menarik perhatian Kolombia. Setelah serangkaian perundingan dalam waktu yang pendek, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Perjanjian Perdamaian pada 15 Agustus 2005 di bawah mediasi Crisis Management Initiative.

Mediasi tersebut muncul tak lama setelah tsunami meratakan Aceh pada 25 Desember 2004 dan kedua belah pihak membangun saling kepercayaan dan menunjukkan komitmen mereka. Hamid Awaludin, mantan Menteri Kehakiman Indonesia, ketua perunding dan wakil Pemerintah Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Perdamaian, mengungkapkan bahwa negosiasi formal dengan GAM hanya mencakup 20 persen, dan 80 persen sisanya tercapai secara informal.

Perjanjian perdamaian telah berhasil dilaksanakan dan semua pemangku kepentingan menggarisbawahi pentingnya mempertahankan resolusi dalam fase pascakonflik. Penyelesaian konflik yang berhasil di Aceh ini telah diakui oleh komunitas internasional dan telah menjadi rujukan untuk situasi serupa di negara-negara lain.

Baca Juga: Kopi Dunia, Kopi Kolombia dan Kopi Indonesia

Kontribusi Indonesia pada Perdamaian di KolombiaWakil Presiden RI Jusuf Kalla dan Presiden Kolombia Juan Manuel Santos pada Pertemuan APEC, 18 November 2015 di Manila, Filipina (Dok. KBRI Manila)

Gagasan untuk berbagi dengan Kolombia atas praktik-praktik terbaik dan pengalaman Indonesia untuk menyelesaikan konfliknya di Aceh muncul untuk pertama kalinya pada konferensi Institute of International Strategic Studies di Cartagena tanggal 6-8 Maret 2013. Di forum tersebut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Wakil Menteri Luar Negeri Dr. Dino Djalal memaparkan kepada peserta tentang lesson learned dari ASEAN dan bagaimana Indonesia menyelesaikan konflik yang berkepanjangan di Aceh.

Menindaklanjuti paparan tersebut, kantor Badan Kerja Sama Kepresidenan (APC) langsung menyampaikan undangan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengirim ahli perdamaian konflik Aceh. Inisiatif untuk berbagi praktik terbaik dan pengalaman untuk menyelesaikan konflik diangkat kembali pada Sidang Komisi Bersama ke-1 antara Indonesia dan Kolombia yang berlangsung di Bogota tanggal 2 Mei 2013.

Sebagai tindak lanjut dari proses ini, sebuah tim dari Badan Reintegrasi Kolombia (ACR) mengunjungi Aceh dari 18 hingga 20 Agustus 2014 untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan mantan gerilyawan Aceh, serta untuk mengamati pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang diterapkan terutama mengenai rehabilitasi korban dan rekonstruksi sosial, isu yang menjadi bagian paling kompleks dalam mewujudkan perjanjian damai.

Selama kunjungan, tim juga memiliki kesempatan untuk mengamati secara langsung peran warga sipil dalam mempertahankan proses perdamaian yang dianggap penting. Kunjungan tim Kolombia ke Aceh merupakan langkah konkret pertama untuk berbagi praktik dan pengalaman terbaik antara kedua negara.

Pertukaran praktik terbaik dan pengalaman antara kedua negara diperkuat lagi ketika Indonesia mengirim tim ahli yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Retno L.P. Marsudi ke Bogota, pada saat kunjungan khusus ke Kolombia pada 6 hingga 8 Juli 2015. Tim tersebut terdiri dari lima tokoh kunci dalam proses perdamaian Aceh, yaitu: Dr. Hamid Awaludin, mantan Menteri Kehakiman dan wakil Pemerintah Republik Indonesia yang menandatangani Perjanjian Perdamaian Aceh; Letnan Jenderal (Pur) Bambang Dharmono, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B); Dr. Dino Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri; Teuku Kamaruzzaman, Wakil Ketua Konsorsium Aceh Baru; dan Farid Hussein, Utusan Khusus Presiden untuk Perdamaian di Papua.

Tujuan utama kunjungan Tim ini adalah untuk memahami anatomi konflik di Kolombia sehingga pada akhirnya para ahli dari kedua negara dapat berbagi apa yang dapat diimplementasikan dari Aceh kepada Kolombia, terutama pada fase pasca konflik.

Setelah berkesempatan bertemu dengan pejabat tinggi pemerintahan, antara lain, Menteri Luar Negeri, María Ángela Holguín; pejabat dari Badan Kerja Sama Kepresidenan; Komisioner Tinggi untuk Perdamaian, Martha M. Calle; dan berdialog dengan mantan kombatan dari FARC selama kunjungannya ke Hogar de Paz di Villavicencio, para ahli dari kedua pihak, Indonesia dan Kolombia, mengakui bahwa konflik di Aceh dan Kolombia memiliki karakteristik yang berbeda.

Namun demikian Tim memberikan strategi berharga yang dapat disesuaikan dan diterapkan dalam setiap skenario. Pertukaran praktik terbaik ini memperoleh apresiasi dari kepala negara kedua negara, seperti yang diutarakan oleh Presiden Juan Manuel Santos saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Manila di sela-sela KTT APEC, dan pada pertemuan informal dengan Presiden Joko Widodo di sela-sela Konferensi tentang Perubahan Iklim di Paris, November 2015.

Kontribusi Indonesia pada Perdamaian di KolombiaPresiden RI Joko Widodo dan Presiden Kolombia Juan Manuel Santos pada Konferensi Iklim United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 30 November 2015 di Paris, Perancis (Gettyimages/Patrick kovarik)

Tak hanya berkontribusi pada saat proses perdamaian, Indonesia dan Kolombia terus bekerja sama untuk berbagi praktik dan pengalaman terbaik mereka dalam penyelesaian konflik dan manajemen pascakonflik, dengan tujuan untuk menyebarkan pengalaman mereka ke negara-negara lain yang memiliki masalah serupa. Kerja sama ini menekankan pada prioritas untuk memperluas manfaat dari konstruksi dan pelestarian perdamaian untuk pembangunan dan keamanan internasional, serta mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Di bawah skema segitiga, Indonesia, Kolombia dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (di Indonesia) telah terselenggara lokakarya internasional dan kunjungan lapangan tentang corps for peace di Jakarta tanggal 5-8 November 2019, dihadiri oleh 100 peserta dari sebelas negara sahabat yang memiliki tantangan yang sama: Afghanistan, Kolombia, Ethiopia, Ghana, Indonesia, Myanmar, Nigeria, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Selama lokakarya dan kunjungan ke lapangan, Perwakilan dari Sekretariat Komisi Pembangunan Perdamaian PBB, UNDP dan Bank Dunia juga ikut berpartisipasi.

Sungguh relevan menggarisbawahi pengalaman Indonesia dan Kolombia ketika dipastikan bahwa konflik dan pembangunan merupakan faktor-faktor yang saling terkait; lebih banyak konflik terjadi di daerah yang kurang berkembang di wilayah pedesaan. Sebuah strategi vital, pemberdayaan ekonomi berbasis pertanian (crops for peace) yang melibatkan masyarakat sipil, mantan gerilyawan, dan orang-orang yang terkena dampak di dalam dan di sekitar zona konflik, telah terbukti bermanfaat guna membantu penduduk pedesaan mendapatkan lebih banyak peluang, mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi konsolidasi perdamaian yang pada gilirannya diperlukan untuk membangun.

Duta Besar Kolombia untuk Indonesia, Juan Camilo Valencia, yang memimpin delegasi Kolombia di lokakarya tersebut menekankan kisah sukses Kolombia dalam meningkatkan keamanan dan keadilan dengan melibatkan mantan gerilyawan secara intensif dalam proses perdamaian.

Pengalaman Kolombia dalam mengimplementasikan agenda pembangunan pedesaan dengan prioritas menghasilkan barang yang berkualitas dan kompetitif telah menciptakan iklim perdagangan yang jauh lebih baik di daerah pedesaan. Lokakarya menghasilkan dokumen akhir yang mendorong berbagai tindak lanjut, antara lain:

a. Mempromosikan ekonomi berbasis pertanian sebagai sarana untuk mencegah dan menyelesaikan konflik,
b. mengerahkan sumber daya untuk memberikan keahlian teknis dan pengetahuan kepada kelompok yang terkena dampak konflik agar dapat memproduksi secara berkelanjutan dan dapat dipasarkan,
c. memfasilitasi akses modal, mengamankan modal dan pasar bagi produsen di zona konflik,
d. mengeksplorasi cara terbaik untuk memberikan pelatihan kepada mereka yang paling terkena dampak, dan
e. mendorong sertifikasi global untuk ekonomi berbasis pertanian di wilayah pasca-konflik yang dapat dijadikan bagian dari kontribusi mencapai SDGs.

Hal ini membuktikan sekali lagi bahwa berbagi praktik terbaik dan pengalaman antara Indonesia dan Kolombia untuk menyelesaikan konflik telah menjadi pelajaran yang sangat bermanfaat bagi kedua negara maupun negara yang lain.

Selain kontribusi secara bilateral sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia juga memberikan kontribusinya terhadap perdamaian di Kolombia melalui forum multilateral khususnya pembahasan-pembahasan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di mana posisi Indonesia selalu mendukung Pemerintah Kolombia bagi implementasi perjanjian termasuk terbentuknya dan perpanjangan masa tugas Kantor Verifikasi PBB di Kolombia. 


(Penulis adalah Duta Besar Republik Indonesia, tulisan di atas adalah pendapat pribadi)

Baca Juga: Dubes Priyo: Kolombia Negara yang Aman, Jangan Ragu Datang

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya