[OPINI] Kendalikan dan Kuasai Diri Sendiri Lewat Filosofi Stoisisme

Tidak semua hal dapat kita kendalikan...

Pernahkah kita berpikir sesuatu mengapa seseorang bisa dikendalikan oleh orang lain? Contohnya, di zaman dahulu, adalah perbudakan. Di abad pertengahan perbudakan adalah sesuatu yang sangat lumrah pada saat itu. Bahkan 2 abad lalu budak seolah menjadi ‘pendamping hidup’ manusia lain (yang berkepunyaan)— kasusnya pada masa Romawi. Gak ada budak, gak asik, (mungkin) pikirnya. Budak adalah seorang yang bisa kita kendalikan. Jadi, budak boleh bahkan harus bertindak sesuai dengan yang kita mau.

Soal kendali dan mengendalikan, hal itu menjadi sorotan yang paling bersinar pada bahasan salah satu aliran filsafat terapan, yakni Stoisisme (Stoa). Bahasan tersebut dikerucutkan pada dikotomi kendali. Semua hal yang kita lakukan, tidak semuanya dapat kita kendalikan/kontrol. Mau tidak mau, pasti ada sesuatu yang tidak di bawah kendali kita. Bahkan yang kita kendalikan terbilang jauh lebih sedikit dari apa yang tidak dapat dikendalikan.

Yang dapat kita kendalikan hanyalah opini, keinginan, tujuan, dan segala sesuatu yang berasal dari pikiran dan tindakan kita sendiri, sedang selainnya tidak bisa kita kendalikan. Kekayaan, kesehatan, opini dan tindakan orang lain, kondisi saat kita lahir (berasal dari keluarga mana), pasangan, dan semua yang tidak berasal dari pikiran kita sendiri. Bahkan rasa tersinggung pun berasal dari pikiran kita—yang bisa dikendalikan.

Sebagai contoh, kita gak bisa mengendalikan kekayaan karena bisa saja tiba-tiba hilang sekejap, seperti kasus pendiri aliran filsafat ini, Zeno yang berasal dari Siprus (sekarang Turki bagian selatan, melakukan perjalanan laut (2300 SM)) yang melintasi Laut Mediterania. Zeno adalah seorang pedagang kaya yang kemudian kapalnya karam di tengah laut. Otomatis kekayaannya lenyap.

Contoh lain, kita gak bisa memilih pasangan yang sangat sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena itu sangat di luar kendali kita (kecuali diancamnya dia). Pasangan sangat di luar kendali kita. Mau seposesif atau seperhatian apapun kita, tetap saja itu super sulit untuk dikendalikan. Tidak mungkin kita meminta pasangan/pacar/istri untuk “selalu” bertindak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Yang sangat bisa kita lakukan adalah berusaha menjadi apa yang kita inginkan untuk dia (yang tentunya hal tersebut jelas di bawah kendali semua orang).

Baca Juga: [OPINI] Haruskah Setiap Manusia Memiliki Cita-cita? 

Bukan berarti karena banyak hal yang tidak di bawah kendali kita, lantas kita “pasrah” akan hal itu

[OPINI] Kendalikan dan Kuasai Diri Sendiri Lewat Filosofi StoisismeIlustrasi sepasang kekasih (Unsplash/jonathanborba)

Kalau boleh penulis menambahkan dari teori dikotomi kendali dalam filosofi Stoa, selain mengendalikan, ada yang menjadi hak khusus untuk kita, yakni: kuasa. Kita sangat berkuasa untuk melanjutkan atau memulai perjalanan dengan kapal itu (kasus Zeno). Kita juga sangat berkuasa untuk memulai hubungan dengan pasangan/pacar/istri kita.

Penulis memeberi contoh tersebut karena kekayaan dan pasangan sering mendominasi kita menjadi lupa daratan. Dan kedua hal tersebut adalah sesuatu yang bukan di bawah kendali kita. Kita harus sadar bahwa suatu saat hal-hal itu (yang tidak di bawah kendali kita) akan hilang. Tapi kita berkuasa terhadap segala hal. Bahkan tak kuasa juga termasuk dalam bentuk kuasa.

Kita sangat berkuasa untuk mencoba mempertahankan kekayaan itu. Kita tentu mempunyai andil untuk mempertahankan dan membuat hubungan dengan pasangan menjadi lebih baik

[OPINI] Kendalikan dan Kuasai Diri Sendiri Lewat Filosofi StoisismeIlustrasi orang berbelanja (Unsplash/freestocks)

Karena penulis rasa ketika kita mencari kekayaan secara tidak langsung kita setuju untuk menjaga kekayaan tersebut (terlepas mempertahankannya untuk hal negatif atau positif). Sama halnya dengan pasangan, tentunya ketika kita nembak/menerima pacar atau melamar istri, pasti kita telah berkomitmen secara langsung maupun tidak langsung untuk menjalani hubungan tersebut dan tau harus menempatkan diri dan bertindak seperti apa (yang baiknya), kecuali kalau ketika menerima atau melempar lamarannya dalam keadaan mabuk lalu nge-fly karena baru nyimeng 30 menit yang lalu.

Jangan sampai kita berpikir seperti, “Ah, kalau aja kemaren gue terima yang lain”, “Kalo gue menabung pasti bakal gitu”, “Kalo gue tolak dia, mungkin bakal gini”, dan pikiran-pikiran sejenisnya. Nah, itu adalah pikiran yang condong memikirkan yang telah terjadi (masa lalu) yang jelas-jelas bukan berada di bawah kekuasaaan kita. Karena sebenarnya masa lalu telah mati sebenar-benarnya. Bahkan seorang kaisar pun tidak berdaya dibuatnya.

Jalani saja yang telah ada. Kita boleh menambah kekayaan, meminta pasangan untuk ini-itu, tapi ingat itu sama sekali bukan hal yang bisa kita kendalikan (secara penuh atau hanya sebagian). Jauh lebih baik lagi, kalau kita menerima yang sudah ada, menikmati yang telah kita terima. Itu jauh lebih baik dibanding meminta lebih karena kita tidak akan repot-repot menghabiskan energi untuk berusaha mengendalikan apa yang tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa lebih fokus mengalokasikan energi untuk memperbaiki dan mempercantik hubungan dengan pasangan. Berlaku juga untuk hal atau kasus lain.

Jadi kalau disimpulkan: selain dikotomi kendali, ada hal yang lebih di atasnya yakni kuasa. Kita berkuasa untuk menerapkan teori dikotomi kendali atau tidak.

Kuasa bisa menjadikan sesuatu lebih baik atau sebaliknya.

Baca Juga: [OPINI] Introspeksi Diri, Sebelum Membanding-bandingkan Anak

Esto Triramdani N Photo Writer Esto Triramdani N

Penulis di waktu senggang kini sedang menjalani studi di universitas. Kontak Esto melalui instagram @estotriramdani, email estotriramdani@gmail.com atau blognya estolagi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya