[OPINI] Memulai Pendidikan Kritis yang Menggembirakan

Opsi lain melihat pendidikan saat ini

Mulai dari wacana fleksibilitas kurikulum untuk merayakan keberagaman dari Mendikbud baru, chickenisasi dari Pemkot Bandung, sampai soal keluhan para guru yang terbelit administrasi dan gaji kecilnya, pendidikan di Indonesia seolah terbang kesana kemari tanpa menemukan tempatnya berpijak. Benar adanya, setiap wacana maupun kebijakan baru yang dilontarkan selalu terbentur pro dan kontra, di saat yang bersamaan pula, ada yang terputus dan tidak selesai dari apa yang disebut 'inovasi' dari periode sebelumnya.

Tentu saja banyak yang sudah bertanya, apa sesungguhnya akar dari persoalan pendidikan Indonesia saat ini? Apakah kebijakan yang ditawarkan sudah menyentuh akar persoalan itu? Entah dengan nada pesimis ataupun optimis, semua pihak yang bersangkutan dan rakyat yang peduli bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan, punya sederet jawaban masing-masing. Mulai dari Infrastruktur, kapasitas guru, pergantian kurikulum, hingga soal gaji. Tapi, apakah benar-benar itu jawabannya ataukah cara kita ‘melihat’ pendidikan perlu dipertanyakan?

Saat pendidikan ‘tahap demi tahap’ tidak juga berhasil, rasa kecil hati ditutupi dengan memperbaiki metode pengajaran. Berbagai kurikulum bergantian meningkatkan tahap-tahap pengajaran supaya lebih cepat mengemansipasikan generasi muda. Seperti slogan internasionalisasi dunia pendidikan dengan memakai kurikulum dan standar negeri internasional, entah Inggris, Finlandia, Australia, atau Singapura. Cara ini dipercaya akan mengemansipasikan manusia Indonesia menjadi manusia yang dapat bersaing secara internasional.

Melihat kembali model jaman Belanda sampai sekolah internasional dengan apapun kurikulum yang dibanggakan, logikanya sama, bahwa pengajaran adalah proses transfer pengetahuan tahap demi tahap yang bertujuan mengemansipasi dan memajukan generasi muda. Akan tetapi, logika itu justru menebalkan relasi kuasa, penentuan secara kasar  siapa yang tahu, siapa yang berhak tahu, dan siapa yang sudah tahu atau masih bebal. Masyarakat dan dunia kita terbentuk secara demikian. Model ini melalaikan apa yang sudah ada dalam keseharian. Misal, cara pengajaran para Lamafa di Lamalera Flores, atau cara para ibu buta huruf mengajar bayi-bayinya di pulau Sumba.

Orang-orang kecil, petani dan ibu-ibu buta huruf, sambil tertawa bahagia dan bercanda, berhasil mengajari anak-anak mereka berbicara bahasa manusia. Lewat pengajaran alamiah, mereka nyatanya bisa mengajari anak-anaknya berbicara berdasarkan budaya dan bertata krama di keluarga dan bangsanya. Berbeda dengan hasil pendidikan modern yang dibarengi kemajuan teknik malah membentuk manusia-manusia elitis dan cenderung menindas. Pendidikan dengan janji emansipasinya justru melestarikan kebebalan dan keterbelakangan rakyat di dunia yang makin dikuasai oligarki dan elit berpengetahuan.

Dengan melihat posisi pendidikan di masyarakat yang sesungguhnya ‘dekat’ itu, kita sekaligus memutus lingkaran setan yang menciptakan gap antara guru dan murid. Lingkaran setan dari guru yang mengetahui, murid yang dianggap bodoh, kurikulum yang serius dan penuh ketegangan, dan bayangan gelap kapitalis yang menggerakan pendidikan itu berusaha dileburkan dengan mengakui kembali peran pendidikan alamiah. Pendidikan alamaiah ini berdasar pada apa yang disebut Jacques Ranciere dalam The Ignorant Schoolmaster (1987) sebagai “kesetaraan pikiran”. Kesetaraan kemampuan berpikir yang membuat seseorang melampaui kelasnya, menembus lintas batas “struktur” yang mengatakan bahwa ia seorang kelas pekerja dan harusnya jadi buruh kasar saja. Sebuah pendidikan yang membebaskan dan menggembirakan karena ada peran kultur sehari-hari, kedekatan dengan budaya setempat dan komunikasi menyenangkan seperti kelakar dan humor. Dari sanalah prinsip kesetaraan bermula.

Contoh kecil dalam hal komunikasi misalkan, fungsi humor di ruang sekolah/ dalam aktivitas belajar sangat menarik. Efek humor yang membuat orang dapat tertawa merupakan suatu pengalaman sosial yang dapat menciptakan ruang bersama. Humor dan tawa secara umum lebih sering direpresi dalam kelas belajar formal (setidaknya dalam kurikulum nasional), seolah kesantaian sama dengan kemalasan.

Produksi humor dan kemampuan untuk tertawa bersama yang berlangsung organik merupakan salah satu hasil penting dalam proses menimbang kembali kualitas pendidikan saat ini yang penuh tekanan. Bukan berarti semua peserta didik dan pengajar harus berusaha menjadi lucu atau bisa melucu. Humor sebagai bumbu belajar sangat bermanfaat untuk menciptakan rasa nyaman, bahkan bisa menciptakan tautan emosional antar para partisipan untuk menciptakan kehendak kolektif belajar bersama.

Tertawa gembira adalah sebagai operator politis bertugas menghubungkan kembali apa yang terpisah (guru dan murid). Selan itu juga menyusun ulang ruang antara belajar versus bermain, privat versus publik. Tertawa adalah kembalinya tubuh kita pada pendidikan yang telah kering karena standarisasi. Tertawa bisa disebut sebagai sisi lain pendidikan kritis yang secara kolektif ingin tahu akan kondisi dunia saat ini dan struktur yang menindas. Alternatif ini memberi opsi lain terkait cara melihat pendidikan.

Dari pandangan ini, kita dapat mengambil posisi bahwa percobaan untuk mengubah keadaan pendidikan saat ini tidak dapat dilakukan melalui kurikulum yang mengarah pada peningkatan label modern/internasional saja, yang justru malah menciptakan hirarki sosial. Hirarki sosial dalam pendidikan tidak dapat dilampaui dengan sebuah gebrakan kontra kebudayaan (misal melawan kecanduan gawai dengan memelihara anak ayam), melainkan dengan pelintasan kebudayaan.

Praktik  kebudayaan yang dilakukan kelas pekerja untuk melintasi hirarki sosial, misalnya Lamafa di Flores atau ibu-ibu di Sumba tadi, atau rakyat bawah yang membuat produk budaya atau kesenian, bermakna politis untuk diperjuangkan bukan karena ia menunjukkan arah pendididkan yang membebaskan dan menggembirakan, melainkan karena ia secara langsung mematahkan anggapan umum yang diproduksi hirarki sosial itu. Mereka keluar dari label umum yang disematkan padanya, dan keluar dari posisi asalinya.[]

Baca Juga: [OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Khoiril M Photo Writer Khoiril M

Penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya