Aset Budaya Indonesia yang Terpendam di Kolombia

Budaya spiritual Indonesia berkembang di Kolombia

Jakarta, IDN Times - Tidak banyak yang mengenal, apalagi generasi millennial dan Gen-Z tentang apa itu Subud, atau singkatan dari Susila Budhi Darma. Subud adalah budaya spiritual asal Indonesia yang didirikan oleh Bapak Muhammad Subuh pada 1 Februari 1947 dan berkembang di seluruh dunia.

Ternyata Kolombia merupakan rumah terbesar kedua bagi masyarakat Subud setelah Indonesia dengan 800 lebih pengikut. Subud masuk di Kolombia pada 6 Oktober 1962 atau 18 tahun sebelum kedua Pemerintah, Indonesia dan Kolombia, membuka hubungan diplomatik pada 15 September 1980.

Saya sendiri awalnya tidak tahu apa itu Subud. Bermula dari sebuah bazar akhir tahun 2018 di Bogota, Kolombia, datang seorang wanita asing mendekati saya di bazar tersebut dan memperkenalkan diri bernama Zaenab, berasal dari Chile, sebagai anggota Subud. Dia bertanya ‘Usted es un Indones?’ - apakah Anda orang Indonesia? - dan pastinya saya jawab ‘si, soy yo’ - iya.

Sempat terkesima dan sekaligus pura-pura paham saat yang bersangkutan cerita tentang Subud, dan saat itu pula Zaenab yang didampingi putrinya memperkenalkan kepada anggota Subud lainnya yang berjualan batik hasil karya sendiri di dekat bazar. Betapa senang dan bangga melihat budaya Indonesia dikenal baik oleh masyarakat di Kolombia bahkan ada yang mengembangkan batik sebagai mata pencaharian.

Sebelumnya tidak ada catatan tentang Subud di kantor, teman-teman yang sudah bekerja lama juga tidak mengenal Subud. Subud adalah budaya spiritual yang terbuka bagi orang-orang dari semua afiliasi keagamaan maupun mereka yang tidak memilikinya. Para anggota berasal dari berbagai budaya, kebangsaan dan bidang kehidupan, dan tidak ada dogma khusus yang disyaratkan untuk diterima oleh mereka. Saya melihat masyarakat Subud di Kolombia bisa menjadi aset soft diplomacy bagi Indonesia karena selain jumlahnya cukup banyak mereka sangat mencintai Indonesia.

Melalui Zaenab saya menggali lebih banyak tentang masyarakat Subud Kolombia dan mendapatkan informasi bahwa pada 4-6 Januari 2019 akan berlangsung Kongres Pemuda Subud sekawasan Amerika bertempat di Kecamatan Tebaida, Kota Armenia, Provinsi Quindio, Kolombia, kota yang berjarak 40 menit terbang dari Bogota. Saya pikir acara Kongres itu adalah kesempatan baik untuk mengenal lebih banyak tentang Subud Kolombia, dan meski waktu pelaksanaan kurang dari dua minggu, saya menawarkan agar Presiden Subud Kolombia dapat mengundang Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bogota untuk berpartisipasi.

Baca Juga: Kopi Dunia, Kopi Kolombia dan Kopi Indonesia

Aset Budaya Indonesia yang Terpendam di KolombiaKongres Pemuda Subud sekawasan Amerika, 4 – 6 Januari 2019 di Kota Armenia, Provinsi Quindio, Kolombia (Dok. KBRI Bogota)

Melalui Kongres Pemuda Subud sekawasan Amerika itulah saya bersama keluarga besar KBRI Bogota akhirnya dapat mengenal lebih banyak tentang Subud dan masyarakat Subud Kolombia. Agar dapat diundang ke acara tersebut, saya tawarkan bahwa KBRI akan menampilkan kekayaan budaya nasional untuk mendekatkan antara para peserta dengan Indonesia. Kami tawarkan antara lain tarian Indonesia, demo masakan Indonesia, kursus bahasa Indonesia dan update mengenai perkembangan terkini di tanah air. Awalnya Panitia agak kesulitan mengakomodir tawaran saya karena acara sudah disusun sesuai kesepakatan internal mereka, tetapi karena untuk menjalin komunikasi dan mendekatkan ikatan dengan Indonesia maka tawaran tersebut diterima.

Dan benar menakjubkan, pada acara Kongres Pemuda Subud saya melihat sekitar 200an anak-anak muda yang berasal dari berbagai negara, dari Kanada, Amerika Serikat, Kuba, Ekuador, Jamaica, sampai negara di ujung selatan benua yaitu Argentina. Mereka saling kenal akrab sebagai keluarga besar Subud dan melakukan pelatihan-pelatihan dan pembekalan yang dibutuhkan anak-anak muda.

Mereka berkumpul di aula kecil dan besar, ada aula besar namanya aula Bapak, nama ini diambil dari sebutan Bapak Muhammad Subuh, pendiri Subud kelahiran Semarang, 22 Juni 1901. Aula tersebut mulai dibangun pada 20 Juli 1990, dari aula kecil dan beberapa bulan kemudian dilanjutkan membangun aula besar, semuanya terbuat dari kayu dan sebagian bambu dirancang oleh seorang arsitek dari Portugal bernama Muhtar Aarom. 

Aula besar yang kalau dilihat dari luar mirip masjid Demak itu menampung kurang lebih 2000 orang. Di sinilah berdiri Pusat Kebudayaan Internasional Subud dengan kompleks seluas 6,7 ha, memiliki sebuah hotel kecil dan berdiri pula 33 rumah berarsitektur Jawa yang hanya boleh dihuni oleh para anggota Subud.  

Acara besar pertama di kompleks tersebut adalah tatkala berlangsung Kongres Subud Dunia ke-9 pada 22 Juni 1993. Kompleks Subud ini tidak hanya bermanfaat bagi anggota komunitas Subud tetapi sangat berjasa bagi kemanusiaan karena menjadi tempat penampungan saat terjadi gempa bumi dahsyat di provinsi Quindio pada 25 Januari 1999. Presiden Kolombia Alvaro Uribe juga sempat berkunjung ke kompleks tersebut untuk bertemu masyarakat. Mengingat peran Pusat Kebudayaan Internasional Subud, Ketua Masyarakat Subud Kota Armenia, Simon Silva, menyampaikan ucapan terima kasih secara tulus kepada Indonesia, karena dengan adanya Subud dan pelaksanaan Kongres Subud Dunia tahun 1993 di kota Armenia, kota tersebut sejak itu mendadak menjadi terkenal sebagai kota wisata budaya kedua di Kolombia. 

Bertempat di aula itu pula, Kongres Pemuda Subud kawasan Amerika berlangsung pada awal Januari 2019 dan saat KBRI berpartisipasi pada acara tersebut, peserta semakin banyak karena menyertakan orang tua mereka khususnya yang tinggal di Kolombia. Acara tersebut juga sempat dihadiri oleh Wakil Presiden Asosiasi Subud Dunia, yang tinggal di Selandia Baru.

Aset Budaya Indonesia yang Terpendam di KolombiaPusat Kebudayaan Internasional Subud di Kecamatan Tebaida, Kota Armenia, Provinsi Quindio, Kolombia (Dok. KBRI Bogota)

Yang menarik pula untuk diketahui adalah bahwa sebagian besar anggota Subud, meskipun orang asli Kolombia dan memiliki nama asli Kolombia, tetapi mereka memiliki nama lain khas Islam Jawa seperti Muhtar, Halim, Rusdi, Sahlan, dan lain-lain. Sebagian mereka juga ikut menjalankan puasa saat bulan Ramadan. Semua anggota Subud Kolombia bercita-cita untuk dapat berkunjung ke Indonesia, khususnya Semarang untuk melihat dari dekat tempat lahirnya Subud dan di Kalimantan Tengah, tempat Pusat Subud Indonesia saat ini. Mereka juga ingin belajar bahasa Indonesia agar dapat memahami dengan baik pesan-pesan dan nasihat yang disampaikan oleh Pendiri Subud.

Tak banyak catatan kapan ajaran spiritual Subud masuk ke Kolombia, tetapi berdasarkan catatan yang ada Subud masuk Kolombia pada 6 Oktober 1962 di Kota Cali (baca: Kali), kota terbesar ketiga di Kolombia tatkala seorang bernama Jesus Yepes Lopez menerima pembukaan yang diberikan oleh John Silem seorang pembantu (ayudante) Muhammad Subuh, Pendiri Subud.

Ajaran spiritual Subud ini telah menembus Kolombia 18 tahun sebelum kedua Pemerintah, Indonesia dan Kolombia, membuka hubungan diplomatik pada 15 September 1980. Ajaran spiritual Subud kemudian berkembang melalui Alberto Yepes, keponakan Jesus Yepes, yang menyiarkannya melalui siaran Radio Nasional Kolombia di Bogota. Akhirnya ajaran spiritual Subud berkembang di Kolombia sampai sekarang dengan pengikut lebih dari 800 orang melibatkan generasi kedua yang tersebar di sepuluh cabang di kota-kota besar di Kolombia seperti Bogota, Medellin, Cali, Popayan, dan Bucaramanga. 

Aset Budaya Indonesia yang Terpendam di KolombiaHotel kecil di kompleks Pusat Kebudayaan Internasional Subud di Kecamatan Tebaida, Kota Armenia, Provinsi Quindio, Kolombia (Dok. KBRI Bogota)

Presiden Subud Kolombia (2019), Arzad Medina, menyampaikan bahwa masyarakat Subud Kolombia memiliki tiga jalur kegiatan, yaitu pertama mendorong kewirausahaan para anggota agar mereka dapat mandiri secara ekonomi. Saya melihat sendiri mereka ada yang membuat mebel, menanam kopi dan pepaya, membuat kerajinan tangan dan lain, lain. Jalur kedua adalah kegiatan sosial, melalui Yayasan Amanecer, mereka memelihara sekitar 300 anak terlantar di sekitar kompleks dengan memberikan program ‘After School’ secara cuma-cuma. Dan jalur ketiga adalah kegiatan budaya dengan mengadakan latihan Subud secara rutin dua kali seminggu.  

Dari kenyataan di atas, keberadaan masyarakat Subud Kolombia, dan juga masyarakat Subud yang ada di 80 negara lebih, dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari soft diplomacy kita untuk meningkatkan jumlah friends of Indonesia karena mereka benar-benar mencintai Indonesia. Memberikan pelatihan bahasa secara online, menyampaikan menu makanan nusantara saat mereka merayakan hari ulang tahun pendiri Subud, membantu menggalang dana untuk kegiatan sosial mereka adalah tindakan kecil tetapi sangat bermanfaat bagi masyarakat Subud setempat.

Diharapkan di hari depan, pemangku kepentingan di Indonesia dapat memberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar dan konkret agar masyarakat Subud generasi kedua, khususnya yang berada di Kolombia, semakin bergairah memiliki koneksi budaya dengan Indonesia. 

Penulis adalah Duta Besar Republik Indonesia di Bogota, tulisan di atas adalah pendapat pribadi.

Baca Juga: Kontribusi Indonesia pada Perdamaian di Kolombia

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya