Membayangkan Rakyat Indonesia Jadi Pengungsi di Negara Lain, Akankah Kita Tetap Seegois Ini?

Tidak ada manusia waras yang mau menjadi pengungsi

Saya ingin memulai artikel ini dengan meluruskan istilah pengungsi dan hal-hal dasar yang berkaitan dengannya. Istilah tersebut disusun dengan seksama dimana ada tanggungjawab kita semua yang melekat di dalamnya.

Istilah pengungsi diatur dalam hukum internasional.

Membayangkan Rakyat Indonesia Jadi Pengungsi di Negara Lain, Akankah Kita Tetap Seegois Ini?aljazeera.com

Selama ini banyak dari kita yang menyamakan pengungsi dengan imigran gelap. Kenapa? Ya, karena di mata kita mereka sama-sama orang asing yang tidak seharusnya berada di negara ini -- entah karena tanpa dokumen resmi, masuk secara ilegal, tinggal di rumah detensi, maupun berkeliaran tanpa pekerjaan. Sederhananya sebab mereka "ngerepotin" kita.

Tidak begitu, saudara-saudara sekalian. Dalam hukum internasional yang mengatur persoalan pengungsi, Konvensi Pengungsi 1951, definisi pengungsi adalah:

Seseorang yang tidak bisa kembali ke negara asalnya sebab ada rasa takut akan dipersekusi karena alasan-alasan seperti ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam sebuah kelompok sosial, maupun pendapat politis.

Rasa takut itu yang mendorong para pengungsi untuk rela menguji nasib dengan berdesak-desakan menaiki perahu rongsok , menyeberangi laut lepas, tanpa jaminan apakah mereka bisa mencapai daratan. Namun, jangan khawatir semua orang yang beralasan takut bisa dengan mudah diberi status pengungsi.

Perkenalkan UNHCR, badan PBB yang mengurusi pengungsi.

Membayangkan Rakyat Indonesia Jadi Pengungsi di Negara Lain, Akankah Kita Tetap Seegois Ini?Reuters/Umit Bektas via qz.com

Konvensi Pengungsi 1951 melahirkan sebuah badan bernama UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi. Salah satu tugasnya adalah untuk memberi status pengungsi melalui serangkaian tes seperti pembuktian dokumen (jika ada) dan wawancara.

Lho kok "jika ada"? Jadi begini, kalau seseorang benar-benar pengungsi sesuai definisi Konvensi Pengungsi 1951, berarti ada kemungkinan dia tidak sempat membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. 

Seorang pengungsi tidak pergi ke negara lain untuk berlibur. Dokumen, celana dalam, sabun mandi, atau sikat gigi bisa saja luput ketika nyawa kita sedang dalam bahaya.

Sementara orang-orang yang belum terbukti sebagai pengungsi disebut pencari suaka. Suaka adalah jaminan agar bisa mendapat perlindungan dari negara yang menerima mereka, dalam hal ini adalah yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951.

Namun, saat ini, bila seseorang berasal dari Suriah, Afghanistan, atau Irak, besar kemungkinan mereka benar-benar pengungsi karena konflik di negara-negara tersebut.

UNHCR mendapat sokongan dana dari PBB dan donor-donor lain. Karena pengungsi di kebanyakan negara tidak diberi hak untuk bekerja oleh negara tempatnya berada, maka UNHCR yang menanggung hidup mereka. UNHCR juga bekerjasama dengan IOM.

Apa lagi itu IOM? IOM adalah singkatan dari International Organization of Migration. Sama seperti UNHCR, IOM juga (salah satunya) mengurusi pengungsi. Tapi, IOM tidak punya keistimewaan yang dimiliki UNHCR untuk menetapkan status pengungsi.

Sayangnya, jumlah pengungsi di dunia ini sangat banyak. Berdasarkan data terbaru UNHCR, ada sekitar 21,3 juta pengungsi saat ini dimana 16,1 juta diantaranya berada di bawah mandat UNHCR. Lalu, bayangkan sebuah organisasi harus mengurus orang sebanyak itu (dan terus bertambah) setiap hari selama bertahun-tahun.

Dana UNHCR itu tidak mengalir seperti mata air, saudara sebangsa dan setanah air. Ada kalanya mereka juga berkekurangan -- jangan lupa bahwa mereka juga harus menggaji staf di seluruh dunia. Ketika tidak ada cukup dana, termasuk dari pemerintah, pengungsi-pengungsi pun terlantar.

Lalu, dimana posisi Indonesia, negara dan bangsa ketimuran yang bermoral nan ramah, dalam urusan pengungsi ini?

Membayangkan Rakyat Indonesia Jadi Pengungsi di Negara Lain, Akankah Kita Tetap Seegois Ini? Reuters via chicagotribune.com

Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Artinya, Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima pengungsi dalam artian negara ini tidak punya tanggungjawab memberi paspor Indonesia kepada mereka.

Untuk alasan kenapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Anda bisa tanyakan kepada pemerintah. Biasanya sih karena alasan urusan Indonesia sudah terlalu banyak, jadi tidak perlu ditambahi oleh pengungsi.

Baru-baru ini pemerintah Batam mulai resah dengan kehadiran pengungsi di wilayahnya yang berkeliaran di beberapa fasilitas umum dan membuatnya kotor. Lalu, dilansir dari Tempo dan Viva News, ada sepuluh pengungsi asal Afghanistan dan Pakistan yang menjadi gigolo, kemudian ditangkap polisi setempat.

Dikutip dari The Jakarta Post, pemerintah Batam pun meminta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk memindahkan pengungsi dari Batam. Menurut pemerintah Batam, pengungsi-pengungsi itu melahirkan masalah sosial yang berbahaya.

Alasan berikutnya adalah pemerintah daerah ingin reputasi Batam sebagai kota tujuan investasi tetap terjaga. Dengan kata lain, pengungsi dilarang tinggal disana karena mereka memperburuk citra Batam.

Kantor Imigrasi Batam mencatat ada 362 orang di wilayahnya. Mereka berasal dari Sudan, Somalia, Afghanistan, Irak, dan Pakistan. Sejatinya mereka diurus oleh IOM. Namun, menurut Kepala Kantor Imigrasi Batam, Agus Wijaya, sejak 1 Juni 2016 IOM mengaku sudah kehabisan dana.

Pemerintah Indonesia sendiri sempat mengeluarkan bantuan dana untuk pengungsi Rohingya pada tahun 2015. Meski patut dicurigai ini adalah usaha untuk menyelamatkan muka pemerintah setelah mendapat tekanan internasional sebab sempat menolak pengungsi-pengungsi Rohingya dengan mengembalikan mereka ke tengah laut.

Sekarang, bayangkan kita, orang Indonesia, menjadi pengungsi di negara lain.

Membayangkan Rakyat Indonesia Jadi Pengungsi di Negara Lain, Akankah Kita Tetap Seegois Ini?Andrew McConnell/Panos via newyorker.com

Suatu saat Indonesia diinvasi oleh negara lain (seperti pasukan koalisi Amerika Serikat yang menginvasi Irak dan Afghanistan), atau pemerintah kita sendiri menyatakan perang terhadap rakyat (layaknya di Suriah), atau kita didiskriminasi secara sistematis karena latar belakang agama dan suku (seperti dialami pengungsi Rohingya).

Hal paling masuk akal bagi mayoritas orang adalah menjadi pengungsi entah bagaimana caranya demi menghindari hilangnya nyawa diri sendiri maupun keluarga. Dimana negara terdekat dari Indonesia? Malaysia, Singapura, atau Thailand bisa jadi pilihan -- kalau kita beruntung bisa memilih.

Kalau tidak beruntung, mungkin kita harus mengarungi laut (karena tidak mungkin melarikan diri dengan naik pesawat terbang) menuju Australia atau Selandia Baru. Warga Sulawesi bisa ke Filipina, sedangkan yang ada di Indonesia bagian timur mungkin akan pilih ke Papua Nugini. Sekali lagi, ini jika skenario berjalan lancar.

Kita bisa saja mengalami masalah di tengah jalan yang timbul dari dokumen-dokumen penting seperti passport. Situasinya bisa: a) buru-buru menyelamatkan diri sehingga ketinggalan passport; b) passport sudah kedaluwarsa; atau c) tidak pernah punya passport

Kemudian, kalau kita beruntung, kita akan ditampung di penampungan pengungsi yang layak. Kalau apes, kita harus terima ditempatkan di rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dengan ratusan bahkan ribuan pengungsi lain. 

Bisa juga kita harus rela berkeliaran di jalan karena tidak ada yang menampung dan UNHCR kelawahan sebab dana kurang atau jumlah pengungsi Indonesia yang membludak. Opsi terakhir, kalaupun ada, adalah mengandalkan kemurahan hati warga setempat.

Tapi, tunggu dulu. Coba ingat baik-baik bagaimana kita memperlakukan pengungsi di negara kita. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi pada kita. Warga Kuala Lumpur, misalnya, meminta pemerintah membuang kita jauh-jauh karena kita merusak citra mereka sebagai kota modern.

Sebabnya adalah bentuk lusuh kita karena tidak mandi berhari-hari meski kita sejatinya berprofesi sebagai dokter, pengacara, atau ustad sekalipun. Ingat, seperti Indonesia, Malaysia juga tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.

Maka, coba sekali lagi kita renungkan apakah kita benar-benar siap jika situasi seperti itu terjadi pada kita suatu hari nanti? Akankah kita tetap seegois ini? Sadarkah kita bahwa tidak ada satu manusia waras di dunia ini yang dengan sukarela menginginkan hidup sebagai pengungsi?
 

Topik:

Berita Terkini Lainnya