PSBB Jakarta, Buah Simalakama Bertahan Hidup di Tengah COVID-19

Catatan Uni Lubis

Jakarta, IDN Times Undetected cases, atau kasus tidak terdeteksi tidak hanya menyangkut orang terjangkit virus corona. Pula soal orang yang layak menerima bantuan sosial atau tidak. 

Kita sama-sama tahu, banyak keluhan soal orang-orang yang belum menerima bansos. Dari sejumlah lurah dan RT/RW saya mendapatkan informasi bahwa data penerima bansos ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Apakah itu data yang sudah dimutakhirkan? Wallahu’alam.

Baca Juga: Ini Isi Kepgub Bantuan Sosial COVID-19 yang Diteken Anies Baswedan

Karena itu, tidak heran jika banyak warga mengadukan soal bansos ini kepada pihak yang membuka posko pengaduan. Selain bansos, ada sejumlah hal lain yang boleh jadi luput dari kesiapan pemprov di manapun, termasuk di Jakarta.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Lokataru Foundation, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Urban Poor Consortium, Rujak Center for Urban Studies dan Amrta Institute for Water Literacy membuka posko pengaduan dengan fokus pada tiga hal yaitu pemenuhan hak atas hunian layak, hak atas air dan distribusi bansos.

Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center mengatakan, posko pengaduan independen tersebut dibuka pada 18 April 2020 melalui Whatsapp di +62 857 1496 0447. Tujuan dari pengaduan ini adalah untuk mengangkat permasalahan urgent dan akut yang terjadi pada masyarakat sebagai dampak dari kebijakan maupun akibat dari pandemik COVID-19, terutama pada ancaman terhadap hak hidup secara bermartabat, termasuk diantaranya ancaman pengusiran dari rumah tinggal, ketiadaan akses air bersih hingga hak atas pangan.

“Hingga 20 April 2020, kami menerima total 47 pengaduan dari seluruh Indonesia, dengan 35 pengaduan berasal dari DKI Jakarta. Latar belakang pekerjaan pelapor adalah di sektor informal, termasuk diantaranya PKL, pengemudi ojol, Pekerja Rumah Tangga, hingga buruh harian,” demikian Elisa dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times.

Dari catatan yang dihimpun posko, ada 2 pelapor berstatus mahasiswa. Pengaduan didominasi oleh keluhan distribusi bansos (30 kasus), kontrakan (26 kasus), serta masalah cicilan hingga listrik dan akses internet untuk sekolah dari rumah.

Sejumlah pelapor kerap mengutarakan masalah berbeda dalam 1 laporan, dan sebagian besar didominasi karena kehilangan pekerjaan hingga “dirumahkan”, penurunan pendapatan, penutupan usaha, dan lain-lain.

“Dalam beberapa pengaduan, warga seakan dipaksa untuk memilih salah satu, antara memenuhi kebutuhan pangan atau kehilangan tempat tinggal. Tak jarang warga mengeluhkan bansos yang hanya berdasarkan KTP dan diskriminasi distribusi bansos yang diberikan pada penghuni non kontrakan,” demikian laporan itu.

Seorang terapis perempuan, yang berdomisili di Srengseng Sawah, DKI Jakarta dan bekerja di platform aplikasi mengeluhkan demikian: “Saya tidak memiliki penghasilan karena tidak dapat bekerja dan tidak mampu membayar kontrakan. Saya sangat memerlukan bansos tapi nama saya tidak terdaftar padahal saya ber-KTP DKI. RT saya tidak peduli dengan warga yang mengontrak. Saya sudah mengajukan permohonan memperoleh bansos dari RT setempat namun dijawab kalau bantuan terbatas dan tidak menerima data tambahan. Saya sudah mendaftar Kartu Prakerja tapi belum lolos.”

Testimoni terapis di atas adalah satu dari sekitar 18 laporan serupa dimana pelapor menghadapi ancaman pengusiran dari rumah kontrakan, ketidakmampuan membayar cicilan/tagihan listrik hingga ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makan.

Laporan lain dari seorang karyawan swasta di DKI Jakarta yang pemberian gajinya ditangguhkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, “Saya telat bayar kos karena pembayaran gaji tertunda dan selama ini saya belum pernah nunggak dalam pembayaran, namun di saat seperti ini saya malah diusir oleh pemilik kos.”

Ketidakjelasan mengenai proses mudik serta ketiadaan biaya juga turut tercatat, misalnya laporan dari pedagang ini. ”Saya tidak mampu membayar kontrakan karena sudah sebulan tidak memiliki penghasilan. Saya ingin pulang kampung namun jauh di Aceh karena di sini uang tidak ada untuk membeli makan,” katanya.

Sebagian besar dari pelapor telah berkeluarga, dimana 41 persen dari pelapor berasal dari keluarga dengan empat  anggota keluarga. Bahkan ada pelapor yang berasal dari keluarga dengan total anggota delapan orang. Kondisi di lapangan menunjukkan kerapuhan dan kerentanan masyarakat sesungguhnya yang di ambang dan bahkan sudah mengalami pengusiran serta terancam kelaparan.

Bagaimana caranya mencegah penyebaran COVID-19 dengan cara #DiRumahAja jika sebagian besar dari mereka terancam terusir dari huniannya?

Sistem jaringan pengaman sosial yang saat ini sudah dan sedang didistribusikan maupun masih dalam proses perencanaan dan pendataan sangatlah jauh dari cukup.

Contohnya Kartu Prakerja yang malah berbasis seleksi dan mengharuskan mengikuti pelatihan daring; sementara yang dibutuhkan secara cepat bagi para pekerja yang sudah dirumahkan dan kehilangan pekerjaan adalah kepastian bermukim dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya.

Konsorsium lantas menyerukan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar:

Satu, mengeluarkan moratorium penghentian pembayaran sewa dan denda kepada seluruh penghuni rusunawa yang dikelola oleh negara maupun BUMN/BUMD.

Dua, mempersiapkan mekanisme jaring pengaman yang dapat mencegah masyarakat rentan terusir dari rumah sewa, kamar kos dan sejenisnya yang dimiliki oleh partikelir, termasuk mekanisme yang memungkinkan penangguhan dan penghapusan biaya sewa/kontrakan.

Tiga, Pemerintah, dengan berkolaborasi berbagai elemen kelompok masyarakat sipil setempat, melakukan pendataan dan menerima pelaporan terhadap: a) penduduk yang terusir dari tempat tinggalnya dengan alasan apapun; b) penduduk yang tinggal di hunian tidak layak secara fisik ( <10 m2/orang dan tidak memiliki akses air dan sanitasi)

Empat, menyediakan hunian sementara bagi warga terdampak (poin 2). Pemerintah bisa bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan adaptasi bangunan-bangunan publik sebagai berikut: Gedung Olah Raga, Tempat Ibadah, dan Balai Latihan Kerja; dan memanfaatkan Panti Sosial; dan memanfaatkan unit Rusunami, Rusunawa dan fasilitas publik lainnya.

Lima, memberikan subsidi bagi komponen tempat tinggal yaitu potongan tarif air bersih dan subsidi listrik tambahan bagi pelanggan listrik 900VA non subsidi dan 1300VA yang tinggal di rusunawa dan tempat kontrakan dengan luas dibawah <9m2/orang.

Enam, memastikan tidak ada kegiatan yang mengarah pada penggusuran paksa baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah.

Tujuh, menyediakan fasilitas karantina massal bagi Orang Tanpa Gejala, Orang Dalam  Pemantauan dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) ringan, terutama bagi yang huniannya tak layak dengan cara mengadaptasi bangunan aset publik maupun bekerja sama dengan pihak ketiga. Lokasi fasilitas karantina massal sebaiknya terdesentralisasi dan tersebar di berbagai kelurahan/kecamatan demi mempermudah akses.

Delapan, mengadakan tes COVID-19 cepat akurat secara acak pada kawasan rentan serta di kelurahan yang padat penduduk. Kepadatan penduduk dan kondisi infrastruktur yang kurang layak adalah faktor yang memungkinkan akselerasi penyebaran COVID-19.

Sembilan, agar semua dukungan, fasilitas dan subsidi Pemerintah terkait pemenuhan hak atas hunian layak bagi warga rentan dan berpenghasilan rendah ini bersifat universal dan tidak hanya berdasarkan dokumen kependudukan belaka, namun memperhatikan juga domisili orang terdampak.

Baca Juga: [BREAKING] 1.229 Orang di Jakarta Dimakamkan dengan Protap COVID-19 

PSBB Jakarta, Buah Simalakama Bertahan Hidup di Tengah COVID-19Bantuan untuk warga DKI Jakarta selama PSBB (Facebook/Pemprov DKI Jakarta)

“Kami juga menekankan pentingnya akses terhadap air bersih yang layak. Penanggulangan COVID-19 paling sederhana adalah cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Sehingga Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah beserta Badan Usahanya harus menjamin, menyediakan dan menghormati hak atas air terutama bagi warga rentan,” demikian konsorsium, yang juga merekomendasikan:

Satu, agar fasilitas pengaduan yang ada perlu dihubungkan dengan pengadaan akses air bagi warga yang membutuhkan.

Dua, memberikan potongan tarif kepada kelompok pelanggan K I, K II, K III A. Bagi warga yang karena kesulitan keuangan akibat pandemik ini tidak dapat membayar biaya langganan bulanan perlu diberi kelonggaran, tidak diputus sambungannya.

Tiga, memastikan bahwa petugas yang melakukan pemeliharaan akses air portable di tempat umum perlu

dilengkapi dengan pakaian dan alat yang memadai, petugas yang menangani kebocoran maupun masalah teknis lain di lapangan perlu diperlengkapi dengan pakaian dan alat yang memadai. Untuk warga yang akses airnya masih komunal perlu diberi pemahaman lebih terhadap perlunya physical distancing.

Empat, bagi kampung dan permukiman yang sama sekali belum ada jaringan air dari Pemerintah maupun Badan Usaha perlu disediakan fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun yang memadai dengan memperhitungkan lokasi dan rasio jumlah penduduk.

Selain itu penyediaan air bersih melalui truk tangki  air perlu ditingkatkan dengan perencanaan dan pengelolaan fasilitas bekerja sama dengan masyarakat setempat.

Pengelolaan oleh masyarakat setempat diharapkan dapat menggerakkan kegiatan dan ekonomi skala kecil di kampung. Fasilitas cuci tangan tersebut sebaiknya diselenggarakan dan didukung sepanjang masa tanggap darurat.

Saat ini sejumlah masyarakat sudah dihadapkan pada pilihan sulit dan bak buah simalakama, yaitu “tahan lapar” atau “siap-siap jadi tuna wisma” atau “hidup dalam kegelapan dan tanpa air”.

Selain Elisa, keterangan tertulis ini disampaikan bersama oleh Asfinawati dari YLBHI, Arif Maulana LBH Jakarta, Haris Azhar Lokataru Foundation, Guntoro Urban Poor Consortium dan Nila Ardhianie Amrta Institute for Water Literacy.

Kepada saya Elisa mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan rekomendasi dan hasil pengaduan ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. “Surat pertama lewat prosedur ke Tata Usaha Gubernur dan via TUGPP dan asisten pribadinya,” ujar Elisa yang mengaku gemas soal fasilitas karantina massal dan tes di kampung padat yang sudah diusulkan sejak akhir Maret.

Lonjakan kasus positif COVID-19 yang di Singapura belakangan ini harusnya membuat pemprov di kota-kota besar waspada dan bereaksi cepat. Lonjakan kasus itu datang dari komunitas pekerja migran yang tinggal di rumah susun yang padat. Pemerintah negeri jiran itu bertindak cepat dengan “mengurung” kawasan itu, alias lockdown  untuk memutus mata rantai penularan virus.

Profesor madya bidang sosiologi bencana pada Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir mengatakan, untuk mengantisipasi adanya penyebaran COVID-19 di pemukiman padat penduduk, pemerintah Jakarta setidaknya harus bisa melakukan antisipasi dengan serangkaian tes.

"Pemerintah harus cari tahu, apakah kasus ini sudah masuk ke wilayah yang padat penduduk, kemudian segera mengisolasi orang-orang yang terkena," kata dia ketika dihubungi IDN Times, Senin (20/4).

Pengaduan yang diterima konsorsium sesungguhnya membuka mata kita, bahwa ada sejumlah aspek yang belum ditangani oleh pemerintah.

Kecepatan bertindak penting. Maka, ketika hari ini Presiden Joko “Jokowi’ Widodo akhirnya mengumumkan melarang mudik, saya teringat judul lagu Shania Twain, “That Don’t Impress Me Much”. Too little too late

Apalagi kemudian Menteri Koordinator Maritim dan Investasi sebagai menteri perhubungan ad interim Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa larangan mudik untuk seluruh elemen masyarakat itu berlalu efektif terhitung 24 April 2020. “Akan ada sanksi-sanksinya, tetapi penerapannya akan ditegakkan mulai 7 Mei  2020," kata Luhut sesusai rapat dengan Presiden Jokowi hari ini (21/4)

Kalau bansos dan kebutuhan mendesak lain termasuk soal duit kontrak rumah masih jadi masalah buat banyak warga, rentang waktu dari hari ini sampai 24 April, atau 7 Mei bakal memaksa mereka untuk mudik. Kali ini bukan untuk senang-senang. Tapi untuk bertahan hidup, dengan risiko besar.

Baca Juga: Sosiolog NTU: Anies Harus Tes Swab Random Warga Daerah Padat Penduduk

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya