Publisher Rights Tak Kunjung Disahkan, Lahir DSA di Eropa

Bisa jadi rujukan regulasi platform digital

Jakarta, IDN Times – Dewan Pers menggelar acara bertajuk “Dialog dan Komitmen Penggiat Pers untuk Keberlanjutan Pers di Indonesia”. Acara yang mengundang 100-an peserta,  termasuk konstituen Dewan Pers, para pemimpin redaksi media massa di Indonesia itu digelar Jumat, 15 September 2023.  Acara diadakan di tengah desakan sejumlah pihak dan organisasi pers agar Peraturan Presiden tentang “Publishers Rights”,  segera disahkan. 

Saat berpidato di puncak Hari Pers Nasional 2023, di Medan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta agar aturan ini selesai dalam waktu 30 hari. “Dalam satu bulan ini harus selesai mengenai perpres ini.  Jangan lebih dari satu bulan.  Saya akan ikut nanti dalam beberapa pembahasan mengenai ini,” ujar Jokowi saat itu.  Nyatanya, sampai hari ini perpres itu belum juga disahkan. 

Lobi berbagi pihak, baik dari yang mengatasnamakan pemimpin redaksi, maupun pihak perusahaan teknologi raksasa (selanjutnya disebut sebagai platform), menghangatkan proses pembahasan dan  finalisasi draf yang diberi judul “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas”, lebih sering disebut sebagai “Publisher Rights”.

Dalam draf yang beredar sangat terbatas, untuk mendapatkannya pun sangat sulit, dituliskan di bagian awal, menimbang :

(a)  Bahwa jurnalisme berkualitas sebagai salah satu unsur penting dalam    mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis perlu mendapat dukungan perusahaan platform digital;

(b)   Bahwa perkembangan teknologi informasi mendorong perubahan besar besar dalam praktik jurnalisme berkualitas salah satunya dengan kehadiran perusahan platform digital sehingga pemerintah perlu menata ekosistem perusahaan platform digital dalam hubungannya dengan Perusahaan pers untuk mendukung  jurnalisme berkualitas;

(c)  Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas

Draf yang saya dapatkan dan saya kutip di atas, adalah draf revisi 25 Juli 2023.  Saya menduga konsideran “menimbang” tidak berubah signifikan.  Yang alot dalam pembahasan selama ini, sepanjang yang saya tahu, berkaitan dengan Tanggung Jawab Platform Digital. Draf Perpres ini memuat juga soal Bagi Hasil antara Platform dengan Perusahaan Pers  dan soal Tuntutan Transparansi Algoritma Platform. Juga pembentukan “komite” yang akan menjalankan Perpres ini jika sudah disahkan Presiden.  

Ancaman platform

Sempat beredar informasi bahwa jika Perpres diberlakukan dan sesuai dengan draf yang beredar soal kewajiban platform, Google akan menghentikan indexing terhadap konten-konten berita di media daring di Indonesia. Google Indexing adalah proses Google menyimpan, mengorganisir dan menambahkan halaman-halaman dari website ke daftar database mereka yang disebut Google Index.  Jika Google berhenti melakukan indexing sebagai bentuk protes, pengguna tidak akan bisa melihat konten berita media daring Indonesia.

Jika ini terjadi, menurut Ketua Umum Indonesia Digital Association, Dian Gemiano, perusahaan pers yang bergantung kepada pageviews sebagai metrik kunci terdampak besar.  Dalam diskusi Twitter Space yang diselenggarakan Tempo Institute, Rabu 9 Agustus 2023, Gemi yang juga kepala pemasaran di Kelompok Kompas Gramedia, menyampaikan, 80 persen dari pembaca yang dihasilkan media daring di Indonesia berasal dari platform, terutama Google. “Dampak langsung ke iklan signifikan,” kata dia.

Estimasi kerugian finansial, menurut kalkulasi IDA, sebesar Rp1 triliun sampai Rp2 triliun pendapatan secara agregat. “Kalau ini terjadi, perusahaan melakukan efisiensi, dan paling signifikan adalah pengurangan karyawan,” kata Gemi.  Menurutnya, 7.000-an karyawan di Perusahaan media daring bisa jadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Baca Juga: Publisher Rights Berlaku, Media Online Terancam Rugi Triliunan Rupiah

Jadi, jika awalnya peraturan ini bertujuan mewujudkan keberlanjutan media (media sustainability), dampaknya malah berbalik, berpotensi mematikan perusahaan pers yang mengandalkan hidupnya dari distribusi dan iklan programatik di platform teknologi digital.

Saya juga diundang berbicara di forum Tempo di atas.  Saya sampaikan bahwa sejak awal pembahasan dan rumusan di draf Publisher Rights ini salah kaprah.  “Jurnalisme berkualitas adalah tanggung jawab perusahaan media, bukan dibebankan ke pihak lain di luar ekosistem pers, termasuk platform. Jangan mengundang pihak lain termasuk platform untuk menjadi next editor, karena platform bisa dikontrol pihak lain termasuk penguasa.”

Hari ini saya ulangi, saya sampaikan di forum Dewan Pers.  Saya dan Wahyu Dyatmika Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) diundang Dewan Pers menjadi pembicara.

Bagi saya, ini merujuk kepada hal yang selalu saya sampaikan dalam berbagai forum, sejak saya menjadi anggota Dewan Pers, periode 2003-2006, dilanjutkan periode 2010-2013.  Jurnalisme Berkualitas adalah jurnalisme yang menjalankan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999.  Ini dua aturan paling minimal yang harus dipenuhi.  Di era digital, media daring juga tunduk kepada beragam aturan termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa menjerat jurnalis dan media. Pula, belasan undang-undang lain.

Jadi, siapa yang paling bertanggungjawab jika pers tidak profesional?  Tidak menjalankan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers?  Pertama, perusahaan pers di mana jurnalis itu bekerja.  Kedua, organisasi profesi jurnalis/wartawan di mana mereka bergabung. Ketiga, Dewan Pers, yang sesuai UU Pers salah satu fungsinya adalah “Menetapkan dan Mengawasi Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik”.

Saya sering mengatakan, cara mendorong Jurnalisme Berkualitas adalah dengan ikut lomba, ikut kompetisi jurnalistik.  Proses penilaian dan hasil terukur. Juga lewat pendidikan dan pengembangan profesi jurnalis.  Dewan Pers juga melakukannya secara terstruktur dan sistematis.  Belum masif karena alokasi dana dari pembayar pajak alias bujet negara kecil.  Maka Dewan Pers perlu didukung pemangku kepentingan yang ingin pendidikan jurnalis dilakukan secara masif, bersama konstituen.

Soal tanggung jawab platform untuk membendung, mencegah, menghapus informasi bohong alias hoaks, misinformasi, itu tidak terkait dengan jurnalisme.  Karena informasi bohong bukan produk jurnalistik.

Mengapa harus mengikutsertakan kata “Jurnalisme Berkualitas” dalam regulasi yang sebenarnya ditujukan mengatur Platform Digital? Satu-satunya alasan yang mungkin bisa dipaksakan masuk logika adalah, “Kalau perusahaan pers tidak berkelanjutan karena bisnisnya tidak sehat, terlalu mengandalkan satu sumber pemasukan, yaitu dari platform dalam bentuk iklan programatik, maka perusahaan tidak bisa menggaji jurnalisnya dengan memadai, tidak bisa memberikan akses pendidikan dan pengembangan diri, jurnalisnya tidak profesional, ujungnya produknya tidak berkualitas”.

Makanya, perlu ada regulasi yang memberikan akses kepada perusahaan pers agar memberikan bagi hasil kepada pers yang notabene “memasok konten” ke platform.  Bagi hasil yang adil dan transparan.  Bagi hasil yang sifatnya Business to Business.  Baik itu secara per perusahaan, maupun sekelompok perusahaan pers dengan platform.

Sejak awal saya menganggap kalaupun dibentuk komite, atau panitia, letaknya ada di bawah Dewan Pers. Tugasnya memfasilitasi perusahaan pers yang kekuatan tawarnya masih lemah jika bernegosiasi secara sendiri-sendiri terhadap platform. Komite atau apapun, bisa dilengkapi orang yang hasil, misalnya dalam hal negosiasi bisnis dan skema bagi hasil.  Komite tidak mengambil sepeser pun dari transaksi bagi hasil yang ada.  Komite digaji oleh bujet negara.

Proses pembahasan draf juga misterius. Draf awal ditutup-tutupi dengan alasan, “nanti bocor ke platform”.  Lha, bukankah ini regulasi untuk mengatur platform? Juga regulasi yang berdampak kepada kehidupan pers.  Tapi draft regulasi tak pernah disajikan ke publik, apalagi menjalani uji publik sebagaimana yang biasanya ditempuh dalam perumusan sebuah aturan Undang-Undang, atau peraturan presiden atau bahkan peraturan menteri.  Beberapa kali saya diundang ikut kelompok diskusi terpumpun atau focus group discussion (FGD) membahas rancangan peraturan.  Kampus-kampus menjadi tempat melakukan uji publik peraturan yang berdampak kepada publik.

Tapi, ironinya, draf perpres yang mengatur kehidupan media, yang biasanya teriak-teriak menuntut transparansi proses pengambilan keputusan publik, disimpan rapat-rapat.  Mendapatkan draf bak melakukan reportasi investigasi, sembunyi-sembunyi. Dan para pemimpin perusahaan pers termasuk redaksinya, menerima saja proses yang rahasia itu.  Bahkan ada yang mendukung. Aneh.

Publisher Rights Tak Kunjung Disahkan, Lahir DSA di EropaAudiensi AMSI bersama Dewan Pers membahas kelanjutan publisher right. (Dok. AMSI).

Uni Eropa berlakukan Digital Services Act (DSA)

Di tengah ketidakjelasan apa isi Publisher Rights, datang kabar, Uni Eropa menerbitkan Peraturan bisnis digital di blok yang beranggotakan 27 negara di Eropa itu.  Aturan itu berlaku efektif 25 Agustus 2023.

Menurut situs resmi Uni Eropa (UE),  ec.europa.eu, DSA meregulasi kewajiban layanan digital, notabene platform, yang bertindak sebagai perantara dalam peran menghubungkan konsumen dengan barang, layanan dan konten. Termasuk pasar daring (online marketplace).

Tujuan besar DSA adalah mewujudkan lingkungan daring  yang lebih aman. Regulasi baru ini mewajibkan platform teknologi  menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus konten mengandung layanan barang dan informasi illegal, dan secara simultan memberikan cara bagi pengguna melaporkan jenis konten yang melanggar. Termasuk mengatur agar platform memitigasi risiko terhadap disinformasi, manipulasi dalam pemilihan umum, kekerasan siber terhadap perempuan dan anak.

DSA melarang iklan yang ditargetkan berdasarkan atas orientasi seksual, agama, etnis, sikap politik dan melarang iklan yang ditargetkan untuk anak-anak.  DSA juga mewajibkan platform lebih transparan dalam menjelaskan bagaimana algoritma mereka bekerja.

DSA menargetkan aturan tambahan ini terutama bagi “very large online platforms”, atau platform daring yang sangat besar, memaksa mereka memberikan hal kepada pengguna untuk menolak sistem rekomendasi dan pembuatan profil, membagi data kunci ke peneliti dan otoritas, bekerjasama dengan  kewajiban membuat tanggap krisis dan melakukan audit internal maupun eksternal.

Parlemen Eropa mensahkan DSA pada Juli 2022. Perusahaan platform sangat besar wajib mematuhi dan menjalankan perintah DSA, sementara yang kecil belum wajib.  Platform sangat besar harus menjalankan DSA secara efektif pada 25 Agustus 2023.

Platform mana saja yang terdampak DSA?

UE mewajibkan platform daring yang memiliki jumlah pengguna aktif  bulanan (Monthly Active Users) lebih dari 45 juta  di UE.  Ada 19 yang sudah ditetapkan wajib menjalankan DSA. Mereka adalah Alibaba AliExpress, Amazon Store, Apple App Store, Booking.com, Facebook, Google Play, Google Maps, Google Shopping, Google Search, Instagram, LinkedIn, Pinterest, Snapchats, TikTok, Twitter, Wikipedia, YouTube, Zalando, Bing.  Zalando adalah platform ritel besar di Jerman.

DSA mewajibkan setiap platform ini untuk memperbarui data jumlah pengguna mereka setidaknya setiap enam bulan.  Jika ada platform yang memiliki kurang dari 45 juta MAU sepanjang tahun, mereka akan dikeluarkan dari daftar.

Apa reaksi platform teknologi terhadap DSA?

Sejumlah Perusahaan teknologi raksasa sudah menyampaikan bagaimana mereka mematuhi DSA.  Beberapa diantaranya:

Google

Platform ini mengaku sudah patuh dengan kebijakan yang mendasari lahirnya DSA, termasuk hak bagi kreator di YouTube untuk meminta menghapus atau membatasi video yang diunggah.  Google juga mengumumkan mengembangkan Pusat Transparansi Iklan untuk memenuhi syarat DSA.

Lebih detil yang disampaikan Google lewat blogpost pada 24 Agustus 2023, sehari sebelum DSA efektif berlaku.

Sejalan dengan DSA Google mengklaim  membuat upaya signifikan untuk adaptasi program agar memenuhi persyaratan spesifik DSA. Termasuk,

  • Ekspansi tranparansi iklan.  Google akan mengembangkan Ads Transparancy Center (pusat transparansi iklan), penyimpanan data pengiklan yang bisa diakses secara gobal di semua platform, untuk memenuhi persediaan DSA yang spesifik dan menyediakan tambahan informasi dalam iklan yang ditargetkan, yang dilakukan di Uni Eropa.  Langkah ini berdasarkan kerja bertahun-tahun yang dilakukan untuk meningkatkan transparansi dalam iklan digital.
  • Meningkatkan akses data untuk peneliti:  Berdasarkan upaya untuk membantu pemahaman publik atas layanannya, Google akan meningkatkan akses data ke peneliti (dengan persyaratan khusus dan terafiliasi dengan lembaga di UE) yang ingin memahami lebih jauh tentang bagaimana kerja Google Search, YouTube, Google Maps, Google Play dan Shopping, dan melakukan riset berkaitan dengan memahami risiko sistemik konten di UE.

Platform ini juga membuat perubahan untuk menyediakan hal baru semacam keterbukaan terhadap keputusan moderasi konten, dan memberikan pengguna berbagai cara untuk menghubungi. Memperbarui pelaporan dan proses banding untuk menyediakan tipe informasi spesifik dan konteks terkait keputusan yang dibuat.

  • Memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan: Google meluncurkan Transparancy Center yang baru, di mana orang bisa lebih mudah mengakses informasi tentang kebijakan mereka dalam basis produk per produk, menemukan fitur pelaporan dan banding, menemukan Laporan Transparansi dan mempelajari lebih jauh tentang proses pengembangan kebijakan yang dilakukan.
  • Meningkatkan transparansi pelaporan: Lebih dari satu dekade lalu, Google mengaku meluncurkan Transparancy Report yang pertama di industri ini untuk menyampaikan diskusi tentang arus bebas informasi dan menunjukkan ke pengguna internet bagaimana kebijakan pemerintah berdampak kepada akses informasi. YouTube juga menerbitkan Laporan Transparansi setiap kuartal, menjelaskan bagaimana pemberlakuan Panduan Komunitas mereka.  Dalam bulan-bulan ke depan, Google janji akan meningkatkan cakupan Laporan Transparansi, menambah informasi tentang bagaimana menangani moderasi konten di semua layanan termasuk di Google Search, Google Play, Google Maps dan Shopping.
  • Menganalisa risiko dan membantu pihak lain melakukannya: Apakah risiko diseminasi konten illegal, atau risiko terhadap hak-hal fundamental, kesehatan publik dan diskursus di masyarakat, Google mengaku berkomitmen untuk  menilai risiko yang berkaitan dengan platform-platform online terbesarnya dan mesin pencarinya,  agar sejalan dengan persyaratan DSA. Google akan melaporkan hasil dari penilaian  kepada regulator di UE dan kepada auditor independen dan akan menerbitkan ringkasan untuk publik, sesudahnya.

Meta

Sebagaimana dirilis The Verge, induk perusahaan platform Facebook dan Instagram ini janji akan  ekspansi Ad Library, yang saat ini isinya adalah kumpulan iklan yang muncul di platform mereka.  Perusahaan mengklaim akan segera memajang dan mengarsipkan semua iklan dengan target pengguna di UE seraya memasukan parameter yang sebelumnya digunakan untuk iklan ditargetkan dan siapa yang memasang iklan itu.

Pada bulan Juni tahun ini, Meta merilis laporan panjang soal bagaimana algoritma mereka bekerja, baik di Facebook maupun Instagram, sebagai bagian dari lebih transparan.  Meta juga akan mulai membolehkan pengguna di UE untuk melihat konten secara kronologi di Reels, Instagram Stories, dan Search baik di Facebook maupun Instagram, tanpa menjadi subyek dari mesin personalisasi mereka.

Tiktok

Sama dengan yang dilakukan Meta, TikTok juga mengumumkan bahwa mereka membuat opsi algoritma bagi pengguna di UE.  Ketika algoritma tidak berfungsi, pengguna akan melihat video dari “baik tempat di mana mereka tinggal dan di seluruh dunia” di For You dan Live feeda, dan tidak lagi video berbasis ketertarikan personal seperti yang terjadi selama ini.

Pengguna TikTok juga akan melihat konten kronologi di “Following and Friends feeds”. TikTok membuat beberapa perubahan untuk kebijakan iklannya.  Untuk pengguna di Eropa usia 13-17 tahun, TikTok berhenti menyajikan iklan yang dipersonalisasi berdasarkan aktivitas mereka di aplikasi.

Snap

Snapchat juga akan memberikan pengguna di UE opsi untuk menolak “feed”  yang dipersonalisasi di halaman “Discover and Spotlight” nya.  Mereka juga menerbitkan laporan dalam hal bagaimana urutan “postingan” di ‘feed”  konten ini.  Perusahaan mengaku berkomitmen untuk menyediakan informasi bagi pengguna soal mengapa  postingan mereka atau akun mereka dihapus, dan memberikan mereka fitur untuk protes terhadap keputusan itu.

Snapchat juga tidak akan menyediakan iklan yang dipersonalisasi ke pengguna di Eropa yang berusia 13-17 tahun.  Mereka juga akan membuat arsip dari iklan yang ditargetkan yang ditayangkan di kawasan UE dan memberikan pengguna di UE berusia di atas 18 tahun bisa mengontrol iklan yang mereka ingin lihat.

Publisher Rights Tak Kunjung Disahkan, Lahir DSA di EropaScreenshot logo Google (google.com)

Apa yang terjadi jika platform tidak patuhi DSA?

Mereka harus membayar denda sampai 6 persen dari pendapatan global.  Menurut Komisi Eropa, Koordinator DSA dan Komisi memiliki kewenangan untuk bertindak segera jika dibutuhkan untuk menangani konten yang sangat membahayakan.  Platform yang secara terus-menerus menolak patuh akan dihentikan operasinya di kawasan UE.

Dua perusahaan, Amazon dan Zalando (Jerman) saat ini menggugat masuknya perusahaan mereka dalam daftar 19 perusahaan itu ke pengadilan. Amazon protes dengan alasan kompetitor besar mereka di Eropa tidak dimasukkan dalam daftar yang harus memenuhi DSA di awal pemberlakuan.

Begitu pun, mereka mulai memperkenalkan fitur baru yang diwajibkan DSA, seperti saluran bagi pengguna melaporkan informasi produk yang gak benar.

Zalando, ritel fesyen besar, menggugat karena mereka mengaku cuma punya 31 juta MAU, jauh di bawah batasan 45 juta MAU.

“Kita bisa memperkirakan platform akan melawan secara habis-habisan untuk mempertahankan praktik bisnis selama ini,” kata Kingslesy Hayes, kepala data dan privasi litigasi di firma hukum Keller Postman.  “Terutama ketika aturan baru menganggu inti model bisnis mereka,” tambah Hayes, sebagaimana dikutip Reuters.

UE Lakukan “Stress Test” sebelum rilis DSA

Selama beberapa bulan sebelum pemberlakuan DSA, Komisi Eropa mengatakan mereka menawari melakukan “stress test” dengan 19 platform.

Tes ini dimaksudkan menguji apakah platform dapat “detect, address and mitigate systemic risks, such as disinformation”. Bisa mendeteksi, menangani dan mitigasi risiko sistemik, seperti disinformasi.

Setidaknya ada lima platform yang berpartisipasi dalam test ini; Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan Snapchat.  Menurut juru bicara Komisi Eropa, dari uji yang dilakukan kepada mereka, banyak yang harus dilakukan platform untuk memenuhi DSA.

Sebuah riset yang dipublikasikan Eko, sebuah lembaga nirlaba, menunjukkan bahwa Facebook masih menyetujui konten iklan digital yang mengandung hal yang berbahaya. Lembaga riset ini mengungkapkan, Facebook mengajukan 13 iklan digital yang mengandung pesan berbahaya termasuk memicu kekerasan terhadap imigran, dan ada juga yang menyerukan pembunuhan terhadap anggota Parlemen Eropa.

Menurut Eko, Facebook menyetujui delapan pengajuan iklan dalam waktu 24 jam dan menolak lima di antaranya.  Peneliti menghapus iklan-iklan itu sebelum dipublikasikan, sehingga pengguna Facebook tidak sempat melihatnya.

Meta merespons riset Eko dengan mengatakan, “Laporan ini berdasarkan jumlah sampel iklan yang sangat kecil dan tidak mewakili jumlah iklan yang kami tinjau setiap harinya secara global.”

Tahun ini, Global Witness, organisasi nirlaba lainnya, mengaku Facebook, TikTok dan YouTube, di bawah Google, telah menyetujui iklan digital yang memicu kekerasan terhadap komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di Irlandia.

Menanggapi klaim itu, baik Meta maupun TikTok mengatakan bahwa saat itu ujaran kebencian tidak punya tempat di platform mereka dan mereka mengaku secara regular meninjau  dan memperbaiki prosedurnya.  Google tidak merespons permintaan tanggapan.

Sejarah lahirnya DSA

Awalnya DSA dimaksudkan untuk menangani konten ilegal di platfom. Kemudian berkembang dengan menangani masalah seperti disinformasi dan risiko lain, terutama di platfom daring berskala sangat besar.  Di tahap awal, Komisi Eropa melakukan konsultasi publik terhadap draft regulasi, dan dilakukan diantara Juli-September 2020.  Penilaian atas dampak regulasi dipublikasikan bersamaan dengan draf proposal itu pada 15 Desember 2020 dengan memaparkan bukti-bukti yang relevan.

Parlemen Eropa menugasi Christel Schaldemose, anggota dari Partai Sosial Demokrat Swedia, sebagai pelapor DSA.  Pada 20 Januari 2022, Parlemen Eropa menyetujui amandemen DSA untuk pelacakan secara gratis terhadap iklan dan pelarangan penggunaan data anak sebagai iklan yang ditargetkan, sebagaimana memperkenalkan hal bagi pengguna untuk mendapatkan kompensasi atas kerusakan. Gara-gara munculnya informasi dari orang dalam Facebook dan dengar pendapat  Frances Haugen di Parlemen Eropa, Facebook Files revelations, Parlemen Eropa juga menguatkan aturan dalam memerangi disinformasi dan konten berbahaya, seraya bersikap kian ketat terhadap syarat audit.

Majelis Uni Eropa mengadopsi pasal-pasal DSA pada 25 November 2021.  Perubahan signifikan dari negara anggota UE adalah mempercayai Komisi Eropa untuk memberlakukan regulasi baru itu, di tengah tuduhan dan keluhan bahwa Irish Data Protection Watchdog tidak efektif dalam melindungi data UE terhadap Perusahaan platform.

The Data Governance Act (DGA) secara formal disetujui Parlemen Eropa pada 6 April 2022.  Ini menjadi kerangka hukum bagi data bersama di Eropa yang akan meningkatkan berbagi data di sektor seperti keuangan, kesehtan dan lingkungan hidup.

Menyadari bahwa Rusia menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan misinformasi tentang invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, pembuat kebijakan di Eropa merasakan urgensi makin besar untuk menyelesaikan regulasi DSA agar  platform teknologi besar diatur secara transparan dan tepat.

Pada 22 April 2022, Council of The European Union dan Parlemen Eropa mencapai sepakat soal DSA di Brussel, setelah 16 tahun jam negosiasi.  Menurut The Washington Post, kesepakatan yang didapat di Brussel membuat solid dua rancangan regulasi, DSA dan Digital Markets Act (DMA),  aturan yang mengatur kompetisi.  DMA bertujuan mencegah penggunaan kekuasaaan berlebihan terhadap kompetiror yang lebih kecil dari pemegang kekuasaan pasar yang lebih besar. Tahap berikutnya, Parlemen Eropa dan Pembuat Kebijakan dari 27 negara anggota EU memberikan suara, dan uundang-undang itu disahkan secara formal pada 19 Oktober 2022.

Dari sejarah, proses perumusan, menurut saya, DSA bisa menjadi rujukan pembuatan peraturan dunia digital, yang bertujuan melindungi pengguna, termasuk dari informasi bohong, sebagaimana tujuan kedua dari Publisher Rights, sesudah bagi hasil yang adil dan transparan bagi perusahaan pers agar kehidupan pers berkelanjutan.  Prosesnya melibatkan konsultasi publik, penerbitan draf final di jurnal publik.  Karena itu, tanggapan dari platform, rata-rata siap menyesuaikan diri dengan persyaratan DSA.

Itu pun, DSA masih menuai kritik, mulai dari kekhawatiran pengaturan yang terlalu ketat yang bisa menghambat kebebasan berekspresi, dan perlindungan data pribadi.

UE dikenal sebagai blok negara yang maju dalam pembuatan regulasi digitalnya. Kita bisa belajar dari mereka.  Jika DSA berlaku efektif di UE dengan 27 negara, maka aturan ini bakal diikuti negara lain di dunia.  Dan platform harus tunduk, agar jagat maya lebih aman dan nyaman bagi semua.

Untuk saat ini yang mendesak adalah segera disetujuinya aturan yang memberikan akses bagi hasil yang adil dan transparan antara perusahaan pers dan platform. Minimal itu.

Presiden perlu segera mengesahkan Publisher Rights. Proses Pemilu sudah di depan mata. Mulai Oktober 2023 perhatian semua mengarah ke sana. Tunggu apa lagi?

Baca Juga: Molor 3 Bulan, Dewan Pers Minta Perpres Publisher Right Segera Terbit

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya