Kenapa Banyak Pesawat Tidak Mau Melintasi Pegunungan Himalaya?

Di daerah lain, pesawat masih bisa melintasi area pegunungan, terutama jika ketinggiannya tidak terlalu menghujam langit. Akan tetapi, kalau kita melihat peta jalur penerbangan internasional, dipastikan kalau kita tak akan melihat satupun pesawat yang terbang melewati area Pegunungan Himalaya, terutama daerah dekat Tibet.
Memang, jika melihat banyak gunung di sana, Pegunungan Himalaya memiliki banyak puncak yang memiliki ketinggian sekitar 7.300 meter di atas permukaan laut. Bahkan, di sana kita juga bisa melihat puncak tertinggi dunia, yakni Gunung Everest, yang mendulang setinggi 8.849 meter di atas permukaan laut, dilansir Britannica.
Meskipun demikian, sebenarnya rata-rata ketinggian pesawat, khususnya pesawat komersial, masih lebih tinggi ketimbang rata-rata tinggi Pegunungan Himalaya. Dilansir California Aeronautical University, pesawat penumpang umumnya terbang pada ketinggian 9.448—12.801 meter di atas permukaan laut. Dari angka tersebut, sebenarnya pesawat memang mampu untuk terbang di atas Pegunungan Himalaya, terutama jika ingin memangkas jarak dari beberapa rute penerbangan.
Namun, kenapa wilayah Pegunungan Himalaya selalu dihindari pesawat? Jawaban untuk pertanyaan tersebut akan diungkap dalam beberapa poin di bawah ini. Jadi, kalau penasaran, langsung gulir layarmu ke bawah, ya!
1. Ada beberapa kondisi yang harus dipahami saat pesawat terbang di daerah pegunungan

Sebelum masuk ke topik pesawat yang menghindari Pegunungan Himalaya, penting untuk mengetahui karakteristik dari penerbangan yang melintasi wilayah pegunungan. Dengan demikian, kita jadi bisa membayangkan situasi yang menyebabkan pilot pesawat "ogah" melintasi gugusan gunung-gunung tertinggi di dunia tersebut. Salah satu faktor yang memengaruhi penerbangan di atas pegunungan adalah cuaca.
Dilansir Federal Aviation Administration Safety Team, kecepatan angin ideal untuk terbang di atas pegunungan tidak boleh melebihi 25 knot (sekitar 46 km per jam). Jika angin berembus lebih cepat dari angka tersebut, maka turbulensi arus naik maupun turun akan melewati batas aman yang bisa dilalui pesawat.
Selain itu, agar penerbangan berlangsung dengan aman, jarak pandang ideal bagi pilot minimal harus menjangkau angka 16 km. Kontur pegunungan turut jadi perhatian karena medan yang sulit biasanya akan dihindari pesawat.
Ditambah lagi, sebelum melakukan penerbangan, pilot beserta petugas air traffic controller (ATC) harus memetakan dulu cuaca yang ada di jalur pegunungan yang akan dilalui. Jika cuaca sedang tidak mendukung, pesawat tidak boleh memaksakan untuk terbang di atasnya. Informasi soal cuaca di daerah pegunungan sangat penting untuk selalu diperbaharui setiap pesawat berencana melintasinya karena pada dasarnya cuaca di sana sangat tidak menentu serta dapat berubah dengan cepat.
Dari banyak hal yang harus diperhatikan pilot maupun petugas ATC tersebut, membuat pesawat melintasi pegunungan jelas bukan perkara mudah. Sekalipun memungkinkan, ada cukup banyak check list yang harus diperhatikan. Nah, kembali pada persoalan pesawat yang tidak mau melintasi Pegunungan Himalaya, alasannya bisa dibilang tak jauh dari penjelasan di atas.
2. Berbagai masalah teknis membuat pesawat tidak dianjurkan melintasi Pegunungan Himalaya

Ketinggian rata-rata Pegunungan Himalaya yang menjulang sekitar 6.000—7.000 meter di atas permukaan laut jadi masalah utama yang membuat banyak maskapai menghindari rute ini. Meski rata-rata ketinggian terbang pesawat modern mampu melebihi ketinggian Pegunungan Himalaya, sebenarnya tetap butuh jarak aman dengan kontur pegunungan.
Pesawat yang melintasi Pegunungan Himalaya harus terbang di ketinggian lebih dari dari angka rata-rata penerbangan normal. Kalau sudah begitu, masalah ketersediaan oksigen bagi seluruh penumpang dan pilot menjadi sesuatu yang harus diperhatikan.
Dilansir Aero Corner, untuk melintasi Pegunungan Himalaya, pesawat setidaknya harus terbang hingga ketinggian stratosfer (10—80 km di atas permukaan laut). Pada ketinggian itu, ketersediaan oksigen di dalam kabin menjadi lebih terbatas yang jelas dapat membahayakan seluruh orang di dalamnya jika berada pada kondisi ini untuk waktu yang panjang.
Jika dalam kondisi darurat, pesawat memang dilengkapi oleh masker oksigen. Namun, penggunaannya sangat terbatas sehingga hal tersebut tidak bisa jadi solusi. Untuk mengembalikan lagi suplai oksigen di dalam kabin, pesawat harus turun sekitar 10 ribu kaki atau sekitar 3 km dalam kurun waktu yang cepat. Hal tersebut mustahil dilakukan di Pegunungan Himalaya yang memiliki kontur tak terduga dan mungkin saja menabrak gunung di sekitar.
Kadar oksigen rendah secara langsung juga membuat turbulensi menjadi lebih kuat dan angin berhembus lebih kencang pada ketinggian tersebut. Berbeda dengan keadaan cuaca yang masih bisa dicitrakan dengan beberapa cara, turbulensi di udara terbilang sukar dideteksi sehingga dapat membahayakan penerbangan. Apalagi, untuk melewati Pegunungan Himalaya, pesawat harus menempuh jarak ratusan kilometer.
Masalah lain yang bisa mengganggu penerbangan pesawat di atas Pegunungan Himalaya adalah bahan bakar yang membeku. Dilansir Simple Flying, semakin tinggi kita terbang, semakin rendah suhu udara sekitar. Jika pesawat terbang pada ketinggian aman untuk melintasi Pegunungan Himalaya, suhu di udara dapat mencapai lebih dari -47 derajat Celcius. Padahal, bahan bakar pesawat umumnya akan membeku pada suhu tersebut.
Masalah terakhir yang membuat banyak maskapai pesawat ogah membuka rute melewati Pegunungan Himalaya adalah ketersediaan bandara. IFL Science melansir, sangat sedikit tempat pendaratan darurat di Pegunungan Himalaya. Minimnya lokasi pendaratan darurat jelas akan dihindari karena hal ini berimbas pada masalah keselamatan jika terjadi kondisi darurat saat penerbangan berlangsung.
Apalagi, bandara-bandara yang beroperasi di Pegunungan Himalaya hanya ada dua. Pertama, Bandara Lhasa Gonggar dengan landasan sepanjang 4 ribu meter. Kedua, Bandara Internasional Kathmandu Tribhuvan dengan landasan pacu sepanjang 3.350 meter.
3. Ternyata ada juga faktor politik yang membuat pesawat tidak boleh melintasi Pegunungan Himalaya

Selain masalah teknis, ternyata ada juga faktor politik yang membuat pesawat tidak boleh melintasi Himalaya. Aero Corner melaporkan bahwa konflik perbatasan antara China dan India di Pegunungan Himalaya jelas jadi satu hal paling mengkhawatirkan karena di tempat ini pula banyak aset militer dari kedua negara. Jika lewat pada waktu dan kondisi yang kurang tepat, pesawat komersial bisa saja jadi target dari perangkat militer dua negara tersebut.
Walaupun demikian, sebenarnya bukan berarti tidak ada satu pun pesawat yang melintasi Pegunungan Himalaya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, masih ada dua bandara yang beroperasi di sana yang jadi tanda kalau memang ada penerbangan yang menuju Pegunungan Himalaya. Akan tetapi, umumnya jenis maskapai yang mau terbang melintasi Pegunungan Himalaya itu hanya bersifat regional, bukan internasional.
Jadi, itu dia sederet masalah yang harus dilalui pesawat jika ingin melintasi Pegunungan Himalaya. Ketimbang mengambil resiko yang mempertaruhkan nyawa seluruh penumpang, mayoritas maskapai penerbangan memang lebih memilih rute yang memutari Pegunungan Himalaya. Nah, kalau kamu sendiri, seandainya mendapat kesempatan naik pesawat yang melewati Pegunungan Himalaya, apakah berani untuk mengambilnya?